PART 7 : Broken Proposal



A N D A L U S I A
By Fissilmi Hamida

Part sebelumnya :

Novel Andalusia Part 1
Novel Andalusia Part 2
Novel Andalusia Part 3
Novel Andalusia Part 4
Novel Andalusia Part 5
Novel Andalusia Part 6


PART 7 : BROKEN PROPOSAL

Adakalanya hati seketika gelisah, namun kita tak mampu memahami kenapa ia bergumul resah. Rasa tak berarah, tak jelas ke mana ia hendak melangkah.

Bak terpasung bingung, Nathaniel kini hanya bisa mematung. Linglung, mencoba memahami jawaban atas gelisah hati yang tak berujung.

Andalusia. La Alhamra Andalusia.

Nama itu rupanya menghiasi rongga demi rongga hatinya. Hanya saja, Nathaniel tak menyadarinya. Pun, ia tak jelas ingat kapan semua itu bermula.

Seringkali ia dihinggapi tanya tentang kenapa ia begitu peduli pada Andalusia. Ia tak pernah mampu menemukan jawaban. Namun satu yang pasti, acapkali ia mendengar atau melihat gadis muda itu tak baik-baik saja, hatinya selalu gelisah tak karuan.

Apalagi saat ini, setelah ia dengar Andalusia dan Dean telah bersepakat untuk saling menggenggam jemari. Nyeri menyapa hati. Lagi-lagi Nathaniel bingung menerjemahkan perasaannya sendiri.

Pantaskah rasa yang tengah hinggap itu ia sebut sebagai lara?
Namun bukankah lara dalam hal ini hanya berlaku jika dalam hati tersusup rasa cinta?

Pantaskah jika ia sebut ini cemburu?
Namun bukankah cemburu hanya berlaku pada hati yang memiliki cinta menggebu?

Mentari mulai beranjak ke peraduan hingga tak ada lagi kehangatan. Nathaniel bangkit, tak lagi merebahkan badan.

Andalusia, apa aku mencintaimu?

Nathaniel berjalan lesu. Bayang wajah Andalusia dan Helena kini berlomba menyusupi kalbu.

************

Velocity Village, sebuah hunian yang terletak di Solly Street, Sheffield, sekitar 0.7 mill dari The University of Sheffield. Hanya sekitar 20 menit berjalan kaki.

Sudah dua tahun Nathaniel tinggal di hunian ini, di sebuah apartemen dua kamar di lantai lima, dengan balkon berdinding kaca yang selalu ia gunakan untuk menyendiri kala gelisah menghampiri.

"Ada apa? Kau tampak tak baik-baik saja."

Helena melingkarkan tangan ke pinggang Nathaniel. Menyadari bahwa sang kekasih tak baik-baik saja, Helena juga turut bungkam tak bersuara. Ia mengeratkan pelukan, berharap rengkuhan hangatnya mampu menyalurkan kekuatan.

Lima menit berselang, Nathaniel membalikkan badan. Kini ditatapnya Helena yang tengah menunggu jawaban atas pertanyaan yang tadi ia ajukan.

Dikecupnya sejenak kening Helena sebelum keduanya masuk dan mendudukkan diri di sofa.

"Ada apa?" Helena kembali bertanya.

Nathaniel menatap Helena yang selama dua hari ini memang berkunjung ke Sheffield untuk menghabiskan waktu bersamanya.

"Kau benar-benar tak baik-baik saja. Bahkan saat tadi kita bercinta, kau tak bersemangat seperti biasanya," imbuh Helena lagi.

Nathaniel dan Helena, keduanya kini saling menautkan jemari.

"Dean akan menikahi Andalusia," jawab Nathaniel. Sebuah jawaban yang sukses membuat mulut Helena menganga.

"Dean dan Andalusia? Bagaimana bisa?" Helena seolah tak percaya.

Ya, Nathaniel memang tak menceritakan perkembangan hubungan Dean dan Andalusia pada Helena. Sengaja.

Jika membayangkan kedekatan keduanya saja mampu memantik rasa nyeri dalam dada, bagaimana ia sanggup untuk menceritakannya?

Nathaniel kini menyandarkan punggung ke sandaran sofa. Hatinya bergejolak. Karena Andalusia, juga karena Helena. Melihat perhatian Helena seperti ini, ada rasa bersalah yang kian membuat dadanya nyeri.

"Iya. Hubungan mereka membaik setelah Dean klarifikasi. Mereka lalu semakin dekat dan hati mereka saling tertambat," jelas Nathaniel.

Ia lalu bangkit menuju meja makan di sebelah kanan. Diambilnya segelas minuman, dan diteguknya seluruh isinya hingga tak bersisa.

Helena memicingkan mata, seolah mampu menangkap keganjilan pada sikap kekasihnya.

"Lalu apa masalahnya? Bukankah itu berita bagus? Kenapa hal itu membuatmu terganggu?" tanya Helena. Ia lalu beringsut, menyusul Nathaniel yang kemudian duduk di kursi meja makan.

Senyap. Sunyi mendadak hinggap.

"Nat!" Helena mulai kesal.

Mendengar sentakan Helena, alih-alih menjawabnya, Nathaniel justru bangkit, berjalan ke kamar, dan menghempaskan tubuh letihnya di peraduan.

Helena tergopoh, menyusul dengan perasaan tak tenang.

"Jangan bilang kau ...."

"Aku hanya khawatir Dean menjadikannya pelarian semata!"

Nathaniel buru-buru memotong kalimat Helena. Ia seolah tahu Helena akan berkata apa. Ia yakin jika Helena tadi akan bertanya apa ia menyukai Andalusia. Karenanya, Nathaniel buru-buru memotongnya.

Helena menghela napas, lalu ikut merebahkan diri di samping Nathaniel yang memang sedari tadi bertelanjang dada.

Kini mata Nathaniel menatap langit-langit kamar. Nanar. Seiring dengan rasa tak terjemahkan yang kian menguar.

Maafkan aku Helena.
Entah, aku sendiri tak tahu pada apa yang kurasa.
Mungkin benar jika hubungan kita ini bukanlah cinta, melainkan semu semata.

"Kau takut Andalusia dijadikan pelarian semata karena kemiripannya dengan Aluna?" tanya Helena, menyentak Nathaniel yang kembali tak bersuara.

Nathaniel terhenyak. Ia asal saja saat memotong kalimat Helena dengan mengatakan bahwania takut Andalusia dijadikan pelarian, agar Helena tak curiga pada yang tengah ia rasakan. Tapi yang dikatakan Helena baru saja, benar-benar membuat degub jantungnya berkejaran tak seirama.

Kenapa aku tak menyadarinya?

Nathaniel bangkit dari peraduan, lalu duduk di sisi ranjang. Helena merengkuhnya dari belakang, dengan jemari menari di dada bidang Nathaniel yang sedari tadi tak tertutupi sehelai benang.

Benar.

Bagaimana jika ternyata Andalusia hanya pelarian? Pengalihan atas segala perih yang Dean rasakan?

Andalusia mirip Aluna. Gerak geriknya pun sama. Bukan tak mungkin Dean ingin menikahi Andalusia karena ia merasa tengah bersama Aluna.

"Nat? Kau benar-benar bersikap aneh!" gerutu Helena, sembari melepaskan pelukan dan perlahan memukul punggung kukuh yang membelakanginya.

"Maaf, Sayang. Aku benar-benar sedang tidak fokus," jawab Nathaniel setelah ia membalikkan badan. Kini ia dan Helena duduk berhadapan.

Helena masih terdiam hingga Nathaniel pun merengkuhnya dalam pelukan. Membelainya, seolah penuh cinta, meski hati mengingkarinya.

"Aku harus bagaimana, Helena? Kau tahu. Gadis itu telah banyak menderita. Bagaimana jika menikah dengan Dean justru akan membuatnya semakin terperangkap kepedihan?"

Nathaniel menyandarkan dagu di kepala Helena. Sementara kedua matanya menatap dinding dengan riuh dalam hati yang kian gemerincing. Nyaring.

"Kau temui saja Andalusia. Pastikan jika ia telah benar-benar yakin dengan keputusannya," saran Helena.

Keduanya kini tak lagi berpelukan, namun saling bertatapan.

"Sekarang belum terlalu malam. Pergilah. Temui Andalusia," ucap Helena lagi, hingga riuh di hati Nathaniel kian menjadi.

Helena, maafkan aku.

Nathaniel mendadak pilu.

"Hi, Sayang. Listen to me." Helena memegangi kedua pipi Nathaniel yang tiba-tiba saja tertunduk lesu.

"Jika kau memang ingin membantu gadis malang itu, pergi dan temui ia segera. Jika akhirnya ia tetap ingin bersama Dean, setidaknya kau tidak akan merasa bersalah karena kau telah mengingatkan."

Helena, begitu bijak. Rasa bersalah Nathaniel kian menyalak.

Helena, my dear. Maafkan aku.
Awalnya memang aku hanya berniat membantu. Namun rupanya hatiku terlibat sejauh itu.
Awalnya kukira hanya sebatas perhatian pada seorang teman.
Rupanya aku terlalu dalam terbawa perasaan.

Entahlah, Helena.
Seolah tak rela jika kulihat gadis itu kesakitan. Seolah hatiku turut teriris jika melihatnya menangis.
Helena, maafkan aku yang telah begitu egois.

Nathaniel bersenandika, dengan tetap menatap Helena.

"Hey, pergilah. Yakinkan Andalusia secepatnya," ucap Helena. Nathaniel diam saja. Ia justru bergerak, kembali memeluk Helena.

"Kau ini. Sikapmu aneh sekali," imbuhnya lagi.

"Biarkan Helena. Biarkan aku merasakan kehangatanmu lebih lama sebelum aku menemui Andalusia," jelas Nathaniel.

Lima menit lamanya Nathaniel bergeming memeluk Helena, sembari berusaha menekan ricuh dalam dada yang kian menggema.

??????

[Aku di gedung The Diamond. Mengerjakan disertasiku. Datanglah jika ingin bertemu.]

Nathaniel membaca pesan balasan Andalusia sembari merapikan sweater hangatnya.

The Diamond, study space di Leavygreave Road, milik The University of Sheffield yang buka selama 24 jam. Nathaniel bersegera ke sana, menyusuri jalanan Solly Street dengan sedikit tergesa.

Apa yang harus kukatakan padamu?
Haruskah aku jujur jika aku cemburu?

Hati Nathaniel terus meracau. Bahkan hingga ia memasuki pertigaan di ujung Solly Street untuk masuk ke Siddall Street, riuh di dadanya kian menjerit.

Serasa tak yakin, namun ia ingin. Serasa malu, namun ia mau.

Broad Lane telah terlewati. Di Brook Hiil kedua kaki Nathaniel kini. Itu berarti, gedung The Diamond tempat Andalusia berada hanya tinggal beberapa jengkal lagi.

Ia kembali meragu atas keputusannya untuk bertemu.

"Argh!"

Nathaniel memukul kepalanya. Ya, perkara cinta memang absurd adanya, hingga seorang profesor muda pun bisa mendadak tak jelas sikap dan suana hatinya kala berurusan dengan cinta.

Nathaniel mematung di depan pintu masuk gedung The Diamond. Ia melangkah maju, lalu mundur lagi. Begitu terus, berkali-kali, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berbalik arah, menuju pelataran Gereja St.George yang berada tepat di seberang gedung The Diamond. Berhadapan.

Mendudukkan diri di sebuah kursi permanen di sisi kanan pelataran gereja, Nathaniel lalu mengirimkan pesan pada Andalusia. Memintanya keluar, agar percakapan keduanya bisa lebih leluasa.

Sementara di dalam sana, Andalusia memicingkan mata. Rasanya aneh saja. Namun kemudian ia keluar, dan segera menghampiri Nathaniel yang tengah termenung sendirian.

"Nathaniel? Hey, you ok?" sapa Andalusia, sembari merapatkan mantel tipis yang membalut tubuhnya.

"Kenapa tak bicara di dalam saja?" tanya Andalusia, setelah mendudukkan diri di sebelah sang profesor muda.

"Karena percakapan ini rahasia. Aku tak mau ada orang lain yang mendengarnya," jawab Nathaniel. Ia mencoba tersenyum, meski gejolak di hatinya terus berdentum.

Andalusia tertawa mendengarnya. Lepas, bebas.

Nathaniel menikmatinya. Wajah berbingkai hijab merah muda itu sungguh berbeda dengan wajah yang ia lihat beberapa bulan silam. Tak ada lagi gundah. Wajah indah itu kini bak bunga merekah. Cerah. Semringah

Hey, gadis muda.
Bisakah kulihat ekspresi bahagiamu ini selamanya?
Mungkinkah aku jadi penjagamu agar lukisan bahagia di wajahmu itu tak lekang oleh waktu?

"Nat? Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Andalusia. Nathaniel diam saja. Terus menatap gadis muda di hadapannya.

"Ada yang salah dengan hijabku? Hijabku tak rapi ya?"

Andalusia salah tingkah dan berusaha merapikan hijabnya. Melihatnya, Nathaniel benar-benar tertawa, sejenak terlupa pada gelisah di hatinya.

"Kau ... tampak bahagia." Nathaniel buka suara.

Kini giliran Andalusia yang menatap sang profesor muda.

Sosok ini, Andalusia tak menyangka jika ialah yang selalu ada untuk merengkuhnya dari segala lara. Bermula saat ia menangis tersedu di Weston Park hari itu, Nathaniel selalu ada, mendampingi hari-hari terendahnya.

"Bahagiaku tak akan pernah ada jika tanpa andilmu, Nat. Entah bagaimana aku harus membalasnya," ucap Andalusia, tanpa mengalihkan pandangan dari sosok tegap di sebelahnya.

Bisakah kau membalasnya dengan cinta?

Nathaniel menjawab dalam senyap.

"Apa kau benar-benar bahagia? Apa kau benar-benar yakin pada keputusanmu untuk bersamanya?"

Lekat, Nathaniel menatap Andalusia. Andalusia pun membalasnya. Entah, ia merasa tatapan Nathaniel kali ini berbeda. Seperti ... ada lara tersembunyi di sana.

Sejenak, Andalusia terbawa suasana. Ditatap seperti itu, tiba-tiba saja ada genderang yang menggebu. Beruntung, ia segera sadar dan buru-buru mengalihkan pandangan.

"Tentu saja aku bahagia, Nat. Tak usah kau tanya."

Lalu hening. Dalam diam, keduanya sama-sama bergeming.

"Andalusia, berjanjilah jika kau akan terus bahagia."

Nathaniel beranjak, sambil mengucapkan sebaris kalimat yang membuat Andalusia terhenyak.

Ditatapnya kini punggung Nathaniel yang mulai menjauh. Namun saat ia hendak melangkah menyeberangi jalanan Broad Lane, Andalusia memanggilnya. Berkali-kali, namun Nathaniel seolah tak peduli.

Maafkan aku, Andalusia.
Aku tak sanggup untuk jujur padamu.

"Nathaniel!" teriak Andalusia lagi.

Andalusia, jangan panggil aku lagi.
Bahagialah kau dengan lelaki yang kau ingini.

"Nathaniel!"

Suara Andalusia terdengar kian dekat. Nathaniel kian tercekat.

Jangan susul aku.
Tetaplah kau di tempatmu.

"Nathaniel! What's so wrong with you!"

Tepat di sebelah gedung Broad Lane Court di Siddall Street, Nathaniel menghentikan langkah. Ia berbalik arah. Andalusia sudah berada di sana, hanya beberapa langkah saja darinya.

"What's so wrong with you? You told me to meet you and you just walk away with no words like this? What's so wrong with you!"

[Kau ini kenapa? Kau memintaku untuk bertemu, dan kau berlalu begitu saja tanpa kata. Kau ini kenapa?]

Wajah Andalusia memerah. Ia jelas marah.

Lagi. Sunyi menyapa kembali.

Nathaniel dan Andalusia. Saling berhadapan, tanpa ada kata terucapkan.

"Nat, kau kenapa? Apa semua baik-baik saja?"

Andalusia melunak. Didekatinya Nathaniel yang tengah menghela napas dengan kepala mendongak.

"Nat, jangan begini. Beritahu aku jika ada yang mengganggu pikiranmu."

Nathaniel tak lagi mendongakkan kepala. Ia kini kembali menatap Andalusia. Mata indahnya tampak penuh harap, berharap jawaban yang akan ia terima bukanlah sekadar senyap.

"Nat, selama ini kau selalu ada untuk mendengar keluh kesahku. Kini giliranku yang jadi pendengar untuk masalahmu,"

Angin berembus perlahan, membelai dua insan yang tengah saling berhadapan.

Nathaniel menghela napas cukup panjang sebelum ia mulai bicara.

"Maafkan aku, Andalusia. Aku hanya takut jika Dean menjadikanmu pelarian semata. Kau mengerti maksudku, kan?"

Andalusia menundukkan kepala. Sejujurnya, telah lama hatinya dihinggapi perasaan serupa. Namun bunga-bunga indah yang tercipta kala Dean menyatakan cinta, benar-benar mengalahkan logika.

Saat lelaki yang kau cintai sejak lama menyatakan cinta, bukankah tentu kau bahagia?

Itu yang Andalusia rasa. Logikanya tak bekerja sempurna.

"Lima tahun lamanya Dean terluka karena Aluna. Ia selalu bilang padaku jika ia masih mencintai Aluna. Kau pikir secepat ini rasa cintanya pada Aluna hilang? Apalagi mereka dulu hampir menikah," ucap Nathaniel lagi.

Andalusia mendesah. Hatinya mendadak gelisah.

"Hentikan, Nat. Jangan kau teruskan. Aku sudah memutuskan," pinta Andalusia. Nathaniel tak mengacuhkannya.

"Andai kau tak mirip Aluna, mungkin akan lain ceritanya. Tapi kau mirip Aluna. Sangat mirip. Tidakkah kau merasa aneh?"

Andalusia memejamkan mata. Serasa tak sanggup mendengar kalimat lelaki di hadapannya.

"Nat, kumohon. Sudahi, janga diteruskan lagi. Aku sudah yakin dengan ini."

Lagi, Nathaniel tak peduli.

"Andalusia, tolong pikirkan lagi. Bagaimana jika ini bukan murni karena cinta, melainkan karena saat bersamamu, Dean merasa tengah bersama Aluna? Bagaimana jika ...."

"Stop, Nathaniel, stop! Stop! Stop!" Andalusia meninggi, hingga kalimat Nathaniel seketika terhenti.

Senyap mengampiri. Airmata Andalusia mulai membasahi pipi. Nathaniel memalingkan wajah. Tak sanggup melihat bulir bening Andalusia meruah.

Ia membisu, bersenandika dalam kalbu.

Andalusia, maafkan aku.
Aku sungguh tak tahu.
Entah ini karena tulus peduliku padamu, atau karena keegoisanku yang diam-diam mengharapkanmu.
Entah ini karena aku tak mau kau kembali ke jurang kesedihan, aku karena aku tak sanggup melihatmu bersama Dean. Aku sungguh tak bisa menejermahkan.

"Maaf, Nat. Maafkan aku."

Lirih Andalusia bersuara. Nathaniel menoleh, tak lagi memalingkan wajahnya. Ditatapnya lekat Andalusia yang semakin tak berjarak dengannya.

"Aku tahu kau sekhawatir itu padaku. Kau takut aku kembali terpenjara hari-hari pilu. Tapi Dean adalah sahabatmu. Percayalah padanya. Ia tak akan menyakitiku."

Nathaniel masih membisu, sibuk menata genderang pilu yang kian bertalu.

"Percayalah, Nat. Aku akan baik-baik saja."

Nathaniel kembali menyusuri tiap lekuk wajah Andalusia. Benar, ada bahagia di sana. Kilat matanya bak bercahaya.

Benar. Rupanya kau sebahagia ini.
Maka apa yang bisa kulakukan selain melepasmu bersama lelaki yang selama ini menemanimu dalam mimpi?

"Nat? Jangan diam saja. Beri aku sepatah atau dua patah kata," pinta Andalusia.

Nathaniel kini tersenyum. Terpaksa, namun Andalusia tak mengetahuinya. Ia kira Nathaniel tersenyum tulus padanya.

"Baiklah gadis muda. Aku percaya," ucapnya, hingga berbinar Andalusia mendengarnya.

Jelang tengah malam. Dingin mulai menusuk tulang. Ya, musim panas di Inggris memang seperti ini. Labil sekali.

Nathaniel dan Andalusia, keduanya kini duduk berdampingan di tembok pembatas parkiran di depan Portobello House, sebuah bangunan yang terletak di seberang Broad Lane Court.

"Kau masih mau kan jadi supervisor-ku jika aku melanjutkan S3 di sini nanti?" tanya Andalusia, mencairkan kebekuan yang tadi sempat sejenak tercipta.

"Hmm ... tergantung," jawab Nathaniel. Andalusia mencebik karenanya.

"Jika aku tertarik pada proposal risetmu, maka kupastikan kau akan jadi mahasiswa bimbinganku," imbuhnya lagi.

Andalusia menegakkan badan.

"Fine. Lihat saja. Kau pasti akan terpukau dengan proposal risetku untuk melamar posisi S3 nanti," Andalusia menjawab tantangan Nathaniel dengan percaya diri.

"Jangan terlalu percaya diri. Sangat jarang ada proposal yang bisa membuatku jatuh hati," goda Nathaniel.

Andalusia tertawa. Enyah sudah kebekuan di antara keduanya, meski dalam dada, Nathaniel tetap merasakan hal berbeda.

"Jadi, kapan kau dan Dean akan ke Spanyol?" tanya Nathaniel, sebelum mereka berdua melangkah ke lain arah.

"Setelah pengumuman kelulusan. Sembari menunggu wisuda tiba, aku akan mengajak Dean ke sana," jelas Andalusia, kembali memantik api lara dalam dada Nathaniel.

Maka setelahnya, melangkahlah Nathaniel menyusuri Solly Street dengan kicau parau hati yang terus menjerit.

Sungguh.

Ia semakin tak paham dengan apa yang ia rasakan. Bak senja yang tak mampu menerjemahkan gulita yang menjelma. Satu yang pasti, ia merasa kecewa. Begitu kecewa hingga ia melampiaskannya dengan mengajak Helena bercinta. Tanpa jeda, hingga pagi tiba.

Helena bahagia, sebab ia kira Nathaniel benar-benar dimabuk cinta karenanya. Ia tak sadar jika Nathaniel hanya menjadikannya pelampiasan rasa kecewa.

*********************

Padang hijau itu tampak begitu lengang, membuat gemericik air begitu jelas terdengar. Ilalang bergoyang-goyang, bunga-bunga di tepian bermekaran. Ikan-ikan beraneka warna yang menyembul dari sungai kecil tampak menari-nari menampakkan kemolekan. Kupu-kupu pun tak mau kalah, memamerkan keindahan sayap mereka sembari mengitari indahnya pesona bunga.

Sempurna!

Sebentar kemudian, jingga menyapa senja, menguraikan warna yang ada menjadi berbagai warna yang kemudian bersatu padu membentuk sebuah lukisan raksasa. Perpaduan warna merah, jingga, kuning, hijau, biru dan ungu. Pelangi senja.

Dean membimbing Andalusia, menuntunnya untuk duduk bersamanya di tepian sungai di tengah padang hijau itu. Pelan, diraihnya jemari kanan Andalusia yang sudah berhiaskan henna. Cantik sekali, secantik si pemilik jemari yang tengah direngkuhnya. Diciumnya jemari itu berkali-kali.

"Aku mencintaimu, bidadari hatiku."

Dean hendak kembali merengkuh jemari itu, tapi Andalusia menepisnya. Pun, sedari tadi ia hanya diam seribu bahasa.

"Kenapa, Sayang?" tanya Dean, mulai menangkap hal tak wajar yang terlukis di wajah ayu kekasihnya.

Andalusia tak menjawab pertanyaan Dean. Ia justru kemudian ia berlari menjauh. Kemudian bersimpuh.

"Andalusia?"

Masih tidak ada jawaban. Tapi kemudian sebait isakan mulai terdengar dan lambat laun benar-benar menjadi tangisan.

Tak tega melihat belahan jiwanya terluka, Dean menggerakkan jemari, berusaha menghapus butiran-butiran bening yang menganak sungai di kedua pipi putih kekasih hatinya.

"Bicaralah. Katakan padaku tentang gundah yang kau rasa. Bicaralah, Sayang."

Dean masih mencoba untuk mencari sebuah jawaban. Lagi-lagi Andalusia terdiam. Tapi sejurus kemudian, tiba-tiba saja Andalusia menjatuhkan diri di pelukan Dean. Bahkan, ia mengeratkan pelukan, seolah tidak ingin lepas dari tubuh sang pangeran.

Tiba-tiba jingga menghilang, berganti hitam kelam yang datang. Andalusia semakin membenamkan kepala, tanda ia merasakan ketakutan yang luar biasa.

Sesosok tubuh muncul dari balik hitam, menarik paksa Andalusia dari pelukan Dean. Dean berusaha mempertahankannya, tapi tarikan sosok itu begitu kuat. Ia dan Andalusia tak lagi saling tertambat.

"Jika kau benar-benar mencintaiku, kau tak boleh bersama lelaki ini," kata sosok itu, sosok berpakaian serba hitam yang mulai jelas terlihat oleh Dean.

"Aku mencintaimu, Ibu. tapi aku juga mencintainya. Aku tak bisa memilih di antara kalian berdua," ucap Andalusia.

“Tolong, lepaskan dirinya. Jangan ambil Andalusia dariku. Aku sungguh tak bisa hidup tanpanya." Dean mulai menghiba.

Sosok itu tersenyum. Sinis, namun sorot matanya menunjukkan jika ada sisi hatinya yang teriris.

"Setelah apa yang sudah kau ambil dariku, sekarang kau ingin mengambil Andalusia? Benar-benar serakah!" bentaknya.

Dean terhenyak.

"Aku tak pernah mengambil apa pun darimu!" sanggah Dean.

"Ibu, tolong biarkan aku bersamanya. Aku juga tidak akan bisa hidup tanpanya." Andalusia terus meminta sembari terus meronta.

Sosok itu sejenak menengadahkah kepala, lalu sejurus kemudian menatap lekat Andalusia.

"Baiklah. Kubiarkan kau bersamanya. Silahkan. Silahkan kau berbahagia bersamanya. Tapi sekarang juga, kau akan menyaksikanku meregang nyawa. Biarlah aku mati daripada harus melihatmu bersatu dengannya!"

Sosok itu melepaskan Andalusia. Tapi kemudian sosok itu mengeluarkan sebilah pisau, lalu bersiap menghujamkan pisau itu ke dalam jantungnya sendiri.

Andalusia histeris. Ia menjerit sambil menangis.

"Baiklah, aku janji tidak akan bersatu dengannya. Tapi kumohon, jangan lakukan ini, Ibu. Aku tak akan sanggup melihat Ibu mati. Aku tak sanggup. Tolong hentikan ini."

Andalusia merengkuh sosok itu.

Perlahan, pisau itu jatuh, dan sosok itu juga jatuh bersimpuh. Andalusia lalu membimbing sosok itu untuk berdiri, dan kemudian membawanya pergi.

"Mari kita pulang, Ibu," ajaknya.

"Andalusia, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendiri!

Sekuat tenaga Dean mengejar Andalusia, berusaha meraih dan menahannya. Tapi cahaya yang membawa Andalusia sudah terlalu tinggi untuk diraih.

Sebelum cahaya putih itu menghilang sempurna, sempat ia dengar Andalusia mengatakan sesuatu padanya.

"Maafkan aku, Sayang. Aku harus pergi."

Kemudian cahaya itu hilang, tak bersisa. Tinggallah kini Dean sendirian di tengah padang, meratapi kepergian kekasih tersayang.

***********************

Dean terhenyak.

"Mimpi yang sama," gumamnya.

Peluh bercucuran di mana-mana. Sudah tiga kali ia memimpikan hal yang sama, tentang sosok hitam yang membawa Andalusia pergi meninggalkannya.

Kali ini hatinya benar-benar tak tenang, meski pada akhirnya ia sedikit lega, sebab Andalusia masih duduk di sebelahnya, di kursi pesawat yang membawa mereka dari Manchester ke Madrid. Andalusia tampak pulas, dengan wajah sedikit letih yang terlihat jelas.

Dean termenung.

Mimpi tadi ... ah, rasanya semakin tak siap saja ia bertemu ibu Andalusia untuk menyampaikan langsung keinginannya. Rencananya, ia akan menikahi Andalusia selepas Andalusia wisuda S-2. Dua bulan lagi. Ya, hanya tinggal dua bulan lagi.

"Dean, kau baik-baik saja?" tanya Andalusia, begitu mereka sudah menaiki mobil jemputan yang membawa mereka dari bandara Madrid-Barajas Adolfo Suárez ke tempat tinggal Andalusia di daerah Recoletos. Tak jauh, hanya sekitar 30 menit saja.

Dean mendesah.

"Entahlah. Rasanya aku terlalu grogi untuk bertemu ibumu," jawabnya. Andalusia tertawa.

"Tenang saja. Ibuku baik. Ia pasti akan menyambutmu dengan baik pula. Kau akan menyukainya," kata Andalusia.

Sepanjang jalan, Andalusia terus bicara. Sengaja, untuk membuat Dean teralihkan dari rasa groginya.

Bak pemandu wisata, ia jelaskan pada Dean tempat-tempat yang mereka lewati, mulai dari Plenilunio Shopping Mall, hingga Casita del Pescador, sebuah pondok kecil kecil yang terletak di sisi kiri jalan, lengkap dengan danau buatan dan akses jalan. Kabarnya, pondok kecil ini dahulu dibangun oleh Raja Ferdinand VII sebagai bagian dari taman pribadinya.

Tak jauh dari Casita del Pescador, masih di area Calle de Alcala, Andalusia menunjuk sebuah patung yang berdiri gagah. Estatua de Espartero, patung dari salah satu politisi Spanyol yang tiga kali menjabat sebagai Perdana Menteri Spanyol, Baldomero Esparteo. Dean menyimak dengan saksama. Ia juga berusaha mengalihkan diri dari rasa gundahnya.

Setelah melewati hotel Antonina Monasterio Martinez, mobil yang membawa Dean dan Andalusia belok kanan, memasuki area Calle de Claudio Coello. Itu berarti, apartemen tempat tinggal Andalusia sudah dekat sekali.

Degub jantung Dean kian menjadi-jadi. Entah, ia sendiri tak tahu kenapa ia segrogi ini.

Mungkinkah karena ini pertemuan pertama? Atau karena terpengaruh mimpinya? Entahlah. Sebab ia merasa biasa saja saat dulu hendak bertemu orang tua Aluna.

Dean hampir saja tak bisa bernapas saat pintu rumah ibu Andalusia terbuka. Ia bingung harus bagaimana sehingga hanya sapaan, "hai" yang keluar dari bibirnya.

Sementara Alameda, ibu Andalusia mendadak membatu. Ia tak menyangka jika yang akan dibawa putrinya adalah lelaki itu. Ya, lelaki yang sejujurnya ia tahu, sebab ia berhubungan dengan kisah yang ia simpan dari masa lalu.

"Dean Edward Beazley?" tanyanya, memastikan. Dean dan Andalusia saling pandang.

"See. Ibu bahkan sudah mengenalmu!" sorak Andalusia. Mendengarnya, kian gemuruh genderang di hati sang ibu.

Ya. Andalusia memang tak pernah memberitahu jika lelaki yang akan dibawanya adalah Dean. Ia hanya bilang jika akan datang dengan sebuah kejutan, dengan seorang lelaki yang akan melakukan pinangan.

"Masuklah. Kalian pasti lelah," ucap ibu Andalusia. Ia berusaha untuk tersenyum, namun tak bisa. Dean bisa merasakannya. Seolah ada aura yang tak biasa. Entah apa.

"Ini tidak mungkin. Ini tidak mungkin."

Ibu Andalusia bergumam perlahan, sambil berjalan sedikit tergesa menuju ke belakang, lalu melengang masuk kamar.

Andalusia dan Dean kembali saling pandang.

"Sebentar ya. Aku susul Ibu dulu," pamit Andalusia. Dean mengangguk perlahan dengan perasaan kian tak tenang.

"Bu...?"

"Tinggalkan lelaki itu, Andalusia," kata sang ibu, begitu Andalusia membuka pintu kamar.

"Ma... maksud Ibu?"

Andalusia semakin tak mengerti akan sikap ibunya.

"Tinggalkan laki-laki itu!" kini suara sang ibu terdengar lebih keras. Kedua mata Andalusia mulai memanas.

Sang ibu kemudian keluar kamar, menuju sebuah meja di ruang seberang. Ia buka lacinya. Jemarinya sibuk mencari-cari sesuatu di sana.

Dengan kebingungan yang masih menggelayuti kepala, Andalusia mengikuti pergerakan sang ibu. Sementara Dean hanya bisa diam dengan terus bertanya-tanya. Ia bisa mendengar Andalusia dan ibunya berbicara, tapi ia sama sekali tidak paham bahasa Spanyol yang digunakan keduanya.

"Bu ..., ada apa?"

"Tinggalkan ia, Andalusia. Tinggalkan!" Bentakan sang ibu terdengar kian keras. Dean mulai menangkap sesuatu yang tidak beres.

"Tapi kenapa, Bu? Masalahnya apa? Ada apa?" Andalusia terus bertanya. Sang ibu kian gusar karenanya.

“Nunca te dejaré casarte con él. Siempre! Sampai mati pun Ibu tak akan membiarkanmu menikah dengannya. Selamanya!"

Andalusia menganga. Tak percaya pada apa yang didengarnya.

Perempuan yang wajahnya sudah mulai keriput itu kini tampak sangat marah. Sepertinya memang ada yang ia sembunyikan. Tapi apa?

"Pero por qué? El es un buen chico. Dean lelaki yang baik. Apa masalahnya?"

Andalusia masih terus bersikeras hingga sang ibu kini menatap Andalusia dengan tatapan yang teramat tajam. Ia mendekati Andalusia dan memegang erat kedua bahunya.

"Este chico? Es el hijo del abogado que hizo morir a tu padre en la cárcel! Lelaki yang kau bawa itu ... ia... ia anak dari pengacara yang membuat ayahmu meninggal di penjara!"

Airmata sang ibu luruh tiba-tiba.

Dean ... anak pengacara itu?
Dean Edward Beazley.
Kim Edward Beazley.
Kenapa aku tak menyadarinya?

Andalusia lemas seketika.

B E R S A M B U N G

**************

Apa yang terjadi?
Ayah Dean adalah pengacara yang membuat ayah Andalusia dipenjara sampai mati?
Ada apa ini?
Ada kisah apa di masa lalu mereka?
Jika kau jadi Andalusia, kau akan bagaimana?

PART 8 : Please Come Back To Me

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram