PART 5 : I'm Sorry Andalusia


A N D A L U S I A
By Fissilmi Hamida

Part sebelumnya :
Novel Andalusia Part 1
Novel Andalusia Part 2
Novel Andalusia Part 3
Novel Andalusia Part 4



PART 5 : I AM SORRY, ANDALUSIA.

Rama Candidasa Resort & Spa, Karangasem, Bali, lima tahun silam.

[Bersabarlah sejenak, Cinta. Esok kita akan berada di kamar yang sama. Sebagai suami istri tentunya]

Aluna tersenyum setelah menekan tombol send di aplikasi Whatsapp di ponselnya. Hatinya sungguh berbunga. Tak sabar rasanya menanti hari esok tiba, hari di mana ia akan menjadi nyonya Dean Edward Beazley, lelaki bermata biru yang membuat hatinya tertawan sejak mereka masih menuntut ilmu di Skotlandia, bertahun-tahun silam.

[Ah, kenapa waktu berjalan begitu lama? Tak bisakah akad nikah kita majukan sekarang saja?]

Aluna tertawa membaca balasan yang diterimanya.

Sebuah gaun putih dengan garis leher model decolette (garis leher berbentuk rata sampai bahu dengan dada bagian tengah agak rendah) yang terbuat dari kombinasi kaun sutera organza, renda Prancis dan tulle dengan bintik halus berbentuk taburan bunga, tergantung di dinding di sisi ranjang.

Aluna lalu beringsut, mengambil dan meletakan gaun itu di pangkuannya.

Ah, Sayang.
Aku pun berharap sama.
Inginku segera kita tak berjeda.

Ia bersenandika, sembari membelai gaun indah yang esok akan dikenakannya.

Ya. Ia dan Dean memang sudah berada di hotel yang sama untuk akad nikah dan resepsi mereka esok hari. Dekorasi pun sudah mulai disiapkan. Menghadap langsung ke pantai, dominasi warna serba putih membuat dekorasi itu kian tampak menawan. Konsep elegance in white, sesuai yag keduanya inginkan.

Aluna beringsut. Gaun putih itu hati-hati ia letakkan di atas ranjang. Sementara dirinya berjalan, menuju jendela kamar yang menghadap langsung ke arah pantai. Aluna sejenak memejamkan mata. Deru ombak membuat hatinya kian dipenuhi sorak sorai cinta.

Angannya selama beberapa saat berkelana, menyusuri lembar-demi lembar kisah yang ia tulis bersama Dean hingga akhirnya sebentar lagi akan berujung di pelaminan. Sukmanya menggelinjang, bak terbang ke awang-awang. Ia baru tersadar ketika ada suara ketukan di pintu kamar.

"Aluna, apa tidak sebaiknya kamu di sini saja?" ucap sang Ibu begitu Aluna membuka pintu kamar.

"Hanya sebentar saja, Ibu. Laura adalah sahabat terdekatku saat kami masih di Skotlandia. Aku ingin memberikan kejutan untuknya," jelas Aluna.

Sang Ibu tampak ragu. Ada desir tak nyaman merasuki kalbu. Melihatnya, Aluna kemudian memegang jemari ibunya dan berusaha meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja.

"Laura tidak tahu jika aku akan menikah besok, Ibu. Ia kira aku hanya berlibur saja. Aku ingin memberi kejutan dengan memberitahunya langsung jika besok aku akan menikah," imbuh Aluna demi melihat sang ibu diam seribu bahasa.

"Lagipula, Laura menginap dekat sini, Bu. Hanya sebentar berjalan kaki. Anggap saja aku cari angin segar, agar rasa grogiku untuk akad nikah esok hari bisa sedikit berkurang."

Aluna semakin erat menggenggam jemari sang ibu, sesosok wanita dengan pesona keanggunan yang tak pernah lekang oleh waktu.

"Kamu sudah beritahu calon suamimu?" tanyanya. Aluna menggelengkan kepala.

"Tidak, Bu. Dean pasti tak mengizinkan. Toh aku hanya akan pergi sebentar saja. Aku janji akan segera kembali."

Ibu Aluna menghela napas.

Dipandanginya wajah Aluna, putri semata wayangnya. Entah. Ada rasa tak terjemahkan yang tiba-tiba saja menguar, meski pada akhirnya ia mengizinkan Aluna untuk pergi sejenak keluar.

"Candi Beach Resort and Spa."

Aluna mengeja nama hotel tempat Laura, sahabatnya menginap. Dibukanya Google Map untuk memastikan jaraknya sekali lagi. Benar. Hanya sekitar 20 menit berjalan kaki. Ya, ia memang berniat untuk berjalan kaki, menikmati suasana malam pulau Bali agar tenang rasa hati. Hanya dalam hitungan jam ia akan berubah status menjadi seorang istri. Siapa yang tak deg-deg-an karena ini?

Aluna menyusuri jalan raya Sengkidu dengan buncah bahagia merasuki kalbu.

Hey, semesta.
Tak turutkah kau berbahagia atas apa yang sedang kurasa?

Aluna terus berjalan, dengan senyum yang tak pernah pudar berpendar.

Beberapa meter setelah melewati Warung Nyoman Sulastri, Aluna belok kiri, masuk ke pertigaan jalan Mendira yang akan menuntunnya untuk menuju hotel yang Laura tempati.

Setelah melewati sebuah toko kosmetik di sisi sebelah kanan, Aluna terus berjalan meski kini di kiri kanannya tak ada lagi bangunan. Hanya pepohonan.

Sebuah Fortuner hitam tiba-tiba melintas perlahan dari arah berlawanan.

"Hola, bella dama. Hai, cantik, kau sendirian?" sapa seseorang dari dalam Fortuner itu dengan bahasa Spanyol.

Aluna menoleh sekilas, lalu kembali berjalan tanpa sepatah kata pun membalas. Namun beberapa saat kemudian, mata Aluna memanas, kala secepat kilat ada lengan-lengan kukuh yang membekap dan menariknya dengan begitu beringas. Dan hey. Napas para pemilik lengan kukuh itu jelas bau minuman keras!

Aluna berusaha meronta, napasnya tersengal tak seirama, namun apalah ia dibanding lengan-lengan kukuh yang kini menguasai tubuhnya. Ingin berteriak pun ia tak bisa.

Kini berpindah. Aluna yang tadi berjalan, kini sudah berada di dalam mobil Fortuner hitam yang mulai melaju cukup kencang.

Napas Aluna kian tersengal. Lima lelaki, dua lokal dan tiga asing, menatapnya dengan tatapan disertai kalimat-kalimat penuh napsu nakal.

Satu lelaki memangku Aluna sambil membekap mulutnya. Satu lelaki memegang erat lengan kanannya, satu lelaki memegang lengan kiri hingga Aluna bak tak bisa bergerak lagi. Kini Aluna menggunakan kedua kakinya untuk menendang-nendang, mencoba untuk terus melakukan perlawanan. Melihatnya, satu lelaki yang duduk di depan segera berpindah dan memegang kedua kaki Aluna.

Mobil terus melaju, lalu berhenti di sebuah tempat sangat sepi. Ya, di sanalah mimpi terburuk Aluna terjadi. Tak butuh waktu lama bagi mereka membuat Aluna tak lagi berbusana, lalu satu persatu bergantian menyalurkan hasrat bejat mereka.

Terbayang wajah Dean saat lelaki pertama berhasil memecahkan kotak kaca kesuciannya, hadiah terindah yang selama ini ia jaga hanya untuk dipecahkan oleh lelaki yang telah sah menjadi suaminya. Terbayang wajah kedua orang tuanya, terbayang dekorasi serba putih yang menunggunya, terbayang gaun putih berlapis kain tulle dengan taburan bunga yang akan ia pakai untuk pernikahannya ....

Aluna bersimbah airmata dan terus beusaha meronta. Ia hancur, sehancur-hancurnya.

Lima jam kemudian, Aluna yang sudah mereka hancurkan, mereka tinggalkan begitu saja di balik semak belukar di pinggir jalan dalam keadaan pingsan, dengan konsisi tubuh memprihatinkan. Biru lebam di mana mana, juga tanpa sehelai benang pun menutupinya. Hingga kemudian, Alfarez yang sedang jogging - saat itu memang Alfarez sedang berlibur di Bali- menemukan dan menolongnya.

"Ya Allah!"

Alfarez segera melepas jaketnya untuk menutupi tubuh Aluna. Nekat, ia menyetop sebuah mobil yang tengah melintas untuk memberinya tumpangan. Beruntung, si pemilik mobil setuju dan Aluna langsung dibawa ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan.

Begitulah.

Alfarez yang bukan siapa-siapa, menjelma menjadi pahlawan bagi Aluna. Bahkan, saat Aluna ingin bersembunyi dari ingar bingar dunia, Alfarez membantunya. Ia sembunyikan Aluna sesuai inginnya, ia turuti keinginan Aluna yang tak ingin keluarganya tahu tentangnya. Ya, lima tahun lamanya, Alfarez memang selalu ada untuk Aluna, mendampinginya untuk sembuh seperti sedia kala.

Mudahkah perjalanannya? Tentu saja tidak.

Aluna mengalami depresi. Ia terus menyalahkan dirinya sendiri, berandai-andai jika malam itu ia tak nekat untuk pergi. Ya, depresi berkepanjangan yang membuat Aluna sempat beberapa kali mencoba untuk bunuh diri. Dua kali ia sempat menyayat nadi, namun beruntung, jiwanya masih kembali, tak terbang ke alam abadi.

Bukan hanya depresi, Aluna juga mengalami RTS atau Rape Trauma Syndrome yang membuatnya ketakutan sendiri dan memilih untuk mengisolasi diri.

Alfarez tak main-main dalam menolong Aluna. Bahkan, keluarganya turut serta. Ibu Alfarez rela datang dari Wellington, New Zealand ke Surabaya demi membantunya merawat dan mendampingi Aluna.

Begitulah, hingga benih cinta pun tumbuh di hati Alfarez, si dokter tampan berjiwa pahlawan.

Selain karena cinta, juga karena ia sangat paham keadaan Aluna. Seperti kejadian di malam pengantinnya ini. Alfarez sungguh bisa memaklumi kenapa Aluna bersikap seperti ini lagi.

Alfarez menghela napas panjang. Kini ia dan Aluna sudah berada di atas ranjang. Aluna pun sudah berganti pakaian. Alfarez memeluk dan menyelimutinya yang tampak kedinginan.

Ditatapnya iba wajah sayu Aluna. Ia mengeratkan rengkuhannya, membiarkan Aluna merasa nyaman bersandar di dada bidangnya.

"Tenanglah, Sayang. Ada aku di sini. Tak ada yang perlu kau takutkan lagi," bisiknya, meski mungkin Aluna tak mendengarnya karena kedua mata Aluna telah terpejam sempurna, meski badannya masih bergetar dan isakannya masih sesekali terdengar.

Ya, sejak lima tahun lalu, rengkuhan Alfarez memang selalu bisa menenangkan Aluna acapkali ia histeris tiba-tiba.

Alfarez menatap langit-langit kamar. Kejadian enam bulan silam kembali berpendar.

Enam bulan lalu, Alfarez menyatakan niat untuk menikahi Aluna. Tak disangka, Aluna menyetujuinya. Bahkan, Aluna mengatakan jika ini saatnya ia menemui keluarganya yang sudah pasti selama bertahun-tahun ini putus asa mencarinya.

Alfarez ingat betul jika ia turut menitikkan airmata demi menyaksikan kembali pertemuan Aluna dengan keluarganya, seolah ia turut bisa merasakan apa yang Aluna rasa. Sayang, ada satu hal yang Alfarez tak tahu tentang Aluna, tentang satu nama yang masih tersimpan di lubuk terdalam hati Aluna; Dean Edward Beazley, sahabatnya, sekaligus lelaki yang lima tahun lalu seharusnya menjadi suami Aluna.

Ya. Alfarez memang tak tahu tentang hal itu. Sebab Aluna juga melarang keluarganya untuk memberi tahu.

Biarlah. Biarlah ia sendiri yang menyimpan lembar pilu kisah masa lalu itu. Biarlah ia sendiri yang tahu bagaimana rasanya hati yang masih mencinta, namun tak berani memberitahukan kejadian sebenarnya pada ia yang dicinta. Begitu pikir Aluna. Berkorban rasa, menyimpan sendiri segala derita, agar ia yang dicinta bisa mendapatkan yang lebih baik darinya.

Alfarez menguap. Ia lalu turut memejamkan mata dengan tetap memeluk Aluna, dengan genderang rasa yang bergemuruh dalam dada. Rasa sakit yang ia turut rasakan demi melihat keadaan Aluna, juga rasa yang timbul akibat hasrat kelelakiannya yang sempat memuncak tadi tak sempat bermuara.

Bagaimanapun, Alfarez hanya lelaki biasa, kan?

*******************

Manchester Airport, Ringway, Manchester.

"Seharusnya aku menghajarmu atas apa yang sudah kau lakukan pada gadis itu!" bentak Nathaniel, begitu melihat Dean muncul di pintu kedatangan.

Dean yang dibentak hanya bisa terdiam pasrah. Ia sungguh lelah.

"Sebagai sahabatmu, aku benar-benar merasa malu, Dean. Malu!" Nathaniel terus meluapkan amarah. Dean tetap bergeming pasrah.

"Nat, bisakah bentakan-bentakanmu kau tunda dulu? Paling tidak, sampai kita tiba di parkiran. Di mobil nanti, kau bisa memarahiku habis-habisan," pinta Dean. Nathaniel hanya membalas dengan sebuah dengusan.

Keduanya lalu saling diam hingga mereka tiba di parkiran bandara. Dean memang sengaja meminta Nathaniel untuk menjemputnya di bandara Manchester. Nathaniel sebetulnya tak mau karena ia teramat kecewa pada Dean, namun perkataan bijak Helena semalam tadi berhasil meyakinkannya.

"Justru ini kesempatanmu, Sayang. Kau bicaralah pada Dean. Pastikan agar ia tak semakin membuat Andalusia menderita setelah ia tahu bahwa Aluna menikahi sahabatnya sendiri," begitu saran Helena. Saat itu Nathaniel hanya diam saja. Ia masih berusaha mencerna.

"Kau ingin membantu Andalusia, kan? Kau tak ingin Andalusia semakin menderita, kan?" tanya Helena. Nathaniel menganggukkan kepala.

"Dengarkan aku."

Helena beringsut, lalu duduk di pangkuan Nathaniel yang tengah termangu di sisi ranjang.

"Lagi pula, kau bisa meminta Dean untuk melakukan klarifikasi agar bullying yang dilakukan fans Dean pada Andalusia bisa berhenti. Kau tak ingin Andalusia menderita lebih lama lagi, kan?" Begitu kata Helena.

Maka di sinilah Nathaniel kini, bersama Dean, dengan emosi yang sejujurnya tak tertahankan.

Beberapa saat kemudian, sampailah mereka berdua di parkiran. Dean baru saja akan membuka pintu mobil bagian depan saat Nathaniel menghalaunya.

"Kau duduklah di belakang. Jika kau duduk di sebelahku, semakin memuncak saja nanti emosiku!" sentak Nathaniel.

"Baiklah."

Hanya itu yang Dean ucapkan, tanpa sedikit pun melontarkan pembelaan. Ia sadar. Yang ia lakukan pada Andalusia, gadis tak bersalah itu, memang tak termaafkan.

Mobil melaju, menyusuri jalur M56 untuk menuju ke kota Sheffield. Dean dan Nathaniel, keduanya terdiam. Bahkan sampai di jalur M60, keduanya masih saling bungkam. Barulah saat mobil memasuki jalur M60 area Manchester Outer Ringroad, Dean mulai bersuara, mencoba memecah kebekuan di antara mereka.

"Bagaimana ... keadaan Andalusia?" tanyanya. Nathaniel menoleh sejenak sebelum menjawab.

"Jangan bertanya. Kau sudah tahu jawabannya. Aku sudah menceritakannya!" jawab Nathaniel. Emosinya rupanya tak kunjung turun.

Dean tertegun.

"Beri aku waktu, Nat. Aku pasti akan klarifikasi agar nama Andalusia bersih lagi. Tapi bukan sekarang. Setelah aku bertemu Aluna, aku butuh waktu untuk ...."

"Ciiit!"

Mobil Nathaniel berdecit. Perkataan Dean membuat emosi Nathaniel kian memuncak sehingga ia mengerem mobilnya dengan mendadak.

"Egois kau, Dean! Kau hanya memikirkan dirimu tanpa sedikit pun memikirkan gadis tak bersalah itu!" bentaknya.

Dean memejamkan mata. Tak menyangka akan demikian reaksi sahabatnya. Ia sendiri pun sesungguhnya bingung harus bagaimana. Di satu sisi, ia merasa bersalah pada Andalusia. Tapi di sisi lain, ia tak bisa menafikkan fakta bahwa miripnya wajah Andalusia dan Aluna membuat luka hatinya kian menganga. Apalagi, setelah ia menyaksikan sendiri pernikahan Alfarez dan Aluna. Tentu saja ia butuh waktu agar bisa bersikap biasa saja pada sosok yang secara fisik begitu mirip dengan sosok yang menggoreskan luka mendalam di dadanya.

"Bukan begitu maksudku, Nat. Tapi ...."

"Turun kau, Dean! Menyesal aku menuruti saran Helena untuk menjemputmu! Turun!" teriak Nathaniel.

"Hey, Nat. Kau ini kenapa, huh?"

Dean pada akhirnya juga turut berteriak demi melihat Nathaniel mendadak keluar dari mobil dan mengeluarkan koper miliknya dari bagasi mobil.

"Turun kau, Dean. Tak sudi aku memberi tumpangan pada seseorang yang bahkan tak layak untuk disebut sebagai seorang lekaki!"

Nathaniel kian kalap. Ia menarik paksa Dean untuk keluar dari mobilnya.

"Nat, hey, come on! What's wrong with you!"

Dean melepaskan tangannya dari cengkeraman Nathaniel. Kini keduanya sudah berada di luar mobil.

"Ingat, Dean. Jika kau membuat Andalusia tersakiti lagi, aku akan benar-benar menghajarmu dengan tanganku sendiri!"

Nathaniel memberikan ancaman sembari mencengkeram kerah Dean, sebelum ia kembali masuk mobil dan meninggalkan Dean di pinggir jalan.

"Argh!"

Melajukan mobilnya kembali, nyatanya Nathaniel semakin tak bisa memahami dirinya sendiri.

Kenapa aku bisa seemosi ini pada Dean demi Andalusia?
Kenapa seolah aku turut bisa merasakan luka hatinya?
Meninggalkan Dean di jalan? Apa aku berlebihan?

Nathaniel terus menyetir dengan jemari kiri memijat kening. Tiba-tiba saja ia merasa pusing. Sesaat kemudian, ponselnya berdering. Nyaring.

Segera, Nathaniel memelankan laju mobilnya demi melihat nama teman serumah Andalusia terpampang di layar ponselnya.

"Ya?"

"Profesor Nathaniel, Andalusia ...."

"Ada apa dengan Andalusia?" Nathaniel gusar. Hatinya mendadak tak tenang.

"Andalusia ... didorong oleh beberapa orang saat akan menyeberang. Ia ... hampir tertabrak mobil yang melaju kencang ...." Suara yang meneleponnya tampak menangis tertahan.

"Di mana Andalusia sekarang?" tanya Nathaniel. Degub jantungnya kian berkejaran tak beraturan.

"Andalusia ketakutan. Ia mengunci diri di dalam kamar. Tadi ia menangis kencang, tapi sekarang tangisannya tak terdengar. Saya takut Andalusia kenapa-kenapa."

Lalu terdengar suara isakan. Napas Nathaniel pun mendadak tersengal.

"Tetaplah di sana. Tolong jaga Andalusia. Aku akan segera ke sana," begitu ucap Nathaniel yang langsung menambah kecepatan laju mobilnya.

Ia mendesah.

Semua ini gara-gara kau, Dean.
Jika sampai terjadi sesuatu pada Andalusia, kau tak akan pernah kumaafkan!

Benar.

Sesampainya di Bradley Street, di rumah Andalusia, Nathaniel disambut oleh teman-teman serumah Andalusia yang tampak gelisah menunggunya.

'Profesor kenapa begitu lama?" tanya salah satunya.

"Maafkan aku. Aku dari Manchester tadi dan langsung ke sini. Bagaimana Andalusia?" tanya Nathaniel setelah menyeruput segelas teh hangat yang disajikan untuknya hingga tak bersisa.

"Masih mengunci diri di kamar. Dari tadi ia belum mau keluar. Suaranya juga tidak terdengar," jelas yang lain.

Tanpa babibu, Nathaniel melempar ransel ke sofa dan langsung naik ke lantai dua, tempat kamar Andalusia berada. Yang lain mengekor di belakangnya.

"Andalusia, are you there?"

Tak ada suara, tak peduli betapa keras Nathaniel mengetuk pintu kamar Andalusia.

"Andalusia, it's me, Nathaniel. Bukalah," pinta Nathaniel. Masih tak ada suara.

"Andalusia, please. Aku di sini. Kau tak perlu merasa takut lagi." Nathaniel terus mencoba, namun lagi-lagi, hanya jawaban sunyi yang diterimanya.

Kini ia dan tiga teman serumah Andalusia saling pandang. Meski tak ada kalimat terucapkan, namun anggukan serentak mereka menjadi pertanda bahwa mereka sepakat untuk melakukan sebuah tindakan. Mendobrak pintu kamar Andalusia.

"Jangan khawatir. Nanti aku akan menelepon landlord (pemilik rumah) kalian soal ini. Ia pasti mengerti. Jika ia minta ganti rugi, aku yang akan membayarnya," ucap Nathaniel sembari bersiap.

Nathaniel menyingsingkan lengan sweater-nya. Sejurus kemudian, ia melakukan dobrakan pertama menggunakan kekuatan yang tertumpu di punggung sebelah kanan. Pada dobrakan ketiga, pintu itu berhasil terbuka.

Andalusia di sana, meringkuk ketakutan di sudut kamar. Napasnya tersengal. Bibirnya yang membiru tampak bergetar. Tatapan matanya hampa. Tak ada suara meski air mata terus menerus mengaliri wajah pucatnya.

"Andalusia ...."

Melihat keadaan Andalusia, Nathaniel langsung menghambur ke arahnya. Ia memosisikan diri di sebelah Andalusia, lalu merengkuhnya, menyandarkan kepala Andalusia di dadanya. Sayang, Andalusia masih bergeming. Bak orang linglung yang terpasung bingung.

"Menangislah, Andalusia. Tak apa. Tumpahkan semuanya. Aku di sini. Jangan takut lagi."

Maka menangislah Andalusia, keluarlah semua beban hatinya. Tangisnya kian kentara, menyayat siapa saja yang mendengarnya, hingga ketiga teman serumahnya turut berlinang air mata.

"Demi Tuhan. Aku tak sanggup melihat ini," ucap salah satu teman Andalusia dengan kalung salib menjuntai di dadanya. Ia lalu membalikkan badan, tak kuat rasanya melihat Andalusia yang tengah menangis pilu di pelukan Nathaniel.

"Aku benci Dean. Rupanya ia hanya lelaki pengecut tak berperasaan!" tambah yang lainnya.

"Benar. Andai Dean mau klarifikasi, Andalusia tak akan semenderita ini," imbuh yang lain.

Ia pun sama. Membalikkan badan, lalu mendudukkan diri di lantai depan kamar Andalusia.

Ketiganya lalu berpelukan, turut menangis merasakan luka hati Andalusia.

Sementara Nathaniel, ia terus menguatkan rengkuhan. Ia biarkan Andalusia terus membasahi dadanya dengan airmata tumpahan perasaan.

Dalam hati, susah payah Nathaniel mencoba meredam kekesalannya pada Dean. Apalagi setelah jemari kirinya berhasil meraih ponsel Andalusia yang tampak menyala.

Ada video saat Andalusia didorong tadi di Twitter, dengan caption yang membuat kekesalan Nathaniel kian menjadi-jadi. Ya, video yang membuat Andalusia ketakutan setengah mati hingga keadaannya seperti sekarang ini.

"Gagal. Namun lain kali akan kudorong gadis kurang ajar ini lagi, sampai ia benar-benar tertabrak mobil dan mati!"

Begitu bunyi caption-nya, yang di-repost dan diamini oleh banyak orang.

Nathaniel memejamkan mata. Sambil terus menenangkan Andalusia, ia mematri satu kalimat dalam dada.

Kurang ajar, kau Dean. Kau benar-benar harus mendapat perhitungan!

Malam itu, tak ada yang tahu jika setelah dari rumah Andalusia, Nathaniel berdiam di depan rumah Dean, menunggu hingga Dean tiba. Begitu Dean datang, Nathaniel langsung menghadiahinya dengan pukulan bertubi-tubi, lalu berlalu begitu saja.

Pergi, tak peduli.

**************

The University of Sheffield, hari pertama setelah libur natal usai.

Andalusia berjalan dengan menundukkan kepala. Ia tahu beberapa pasang mata mengamatinya, namun tak berani meneriaki atau berbuat buruk padanya karena Nathaniel berjalan bersamanya.

"Berjalanlah seperti biasa, Andalusia. Jangan takut. Selama aku bersamamu, tak akan ada yang bisa menyakitimu," bisik Nathaniel.

Semalam Nathaniel kembali datang ke rumah Andalusia untuk memastikan jika ia sudah benar-benar baik-baik saja. Rupanya tidak. Andalusia masih ketakutan, apalagi esok adalah hari pertama masuk setelah libur Natal. Andalusia tak bisa membayangkan jika ia harus ke kampus dan di sana banyak sekali fans Dean. Baginya, ini teramat mengerikan.

"Baiklah. Besok pagi aku akan ke menjemputmu. Kita ke kampus bersama-sama." Begitu kata Nathaniel.

Karenanya, kini mereka berjalan bersama, melewati tatapan dan bisikan beberapa orang-orang di sana.

"Andalusia ...."

Sebuah suara membuat langkah Andalusia dan Nathaniel terhenti seketika, oleh sebab mereka berdua sangat tahu itu suara siapa.

Andalusia menoleh. Benar, ada Dean di sana.

Andalusia hendak bersuara, namun Nathaniel mencegahnya. Apalagi setelah ia lihat rona wajah Andalusia langsung berubah. Memerah, menahan amarah.

"Abaikan, Andalusia. Ayo, jalan. Kelasmu akan dimulai segera, kan?" bisiknya sembari menarik lengan Andalusia. Namun, Andalusia tak mengacuhkannya.

Dean dan Andalusia, kini keduanya berhadapan. Hanya berjarak beberapa jengkal.

"Lelaki pengecut ...," gumam Andalusia, hampir tak terdengar.

"Lelaki pengecut." Kali ini suara Andalusia cukup terdengar jelas.

Nathaniel memejamkan mata dan menghela napas panjang, seolah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Lelaki pengecut! Anda lelaki pengecut!"

Kali ini Andalusia berteriak hingga Dean terhenyak.

"Di mana Anda saat fans-fans Anda mem-bully saya?"

Andalusia tak mampu lagi menguasai diri. Bulir bening mengalir, deras sekali.

"Di mana Anda saat hari-hari saya terasa seperti di neraka karena ulah Anda?"

Dean hanya bisa menundukkan kepala. Kini ia benar-benar mengerti kenapa Nathaniel sampai malam itu menghajarnya.

"Di mana Anda saat fans-fans Anda mendorong saya agar saya tertabrak mobil dan mati?"

Dean kini yang memejamkan mata. Tak sanggup rasanya mendengarkan kalimat Andalusia.

Gadis muda.
Maafkan aku.
Andai kau tahu.
Masalahku tak sesederhana itu.

"Di mana Anda sampai Anda tak mau klarifikasi meski Anda tahu saya begitu tersakiti seperti ini? Di mana Anda? Di mana?"

Dean masih diam saja. Lidahnya mendadak kelu, seluruh tubuhnya seketika kaku, hingga ia hanya bisa membatu.

"Atau jangan jangan, Anda memang sengaja memanggil dan bicara pada saya di tempat umum seperti ini agar fans-fans Anda bisa mengambil video untuk mem-bully saya lagi? Iya?"

Kian pecah tangis Andalusia, hingga Nathaniel mendekat dan merengkuhnya, mencoba menguatkannya.

"Bagus, Dean, bagus! Tak puaskah kau menyakiti Andalusia?" cecarnya. Dean masih diam seribu bahasa.

Namun saat Nathaniel dan Andalusia kembali berjalan, bibir Dean menyuarakan serangkai ucapan,

" I am sorry, Andalusia."

Begitu ucapnya, lalu 'buk!'

Dean lunglai. Ia terjatuh. Kesadarannya runtuh.

B E R S A M B U N G 



Sedihnya jadi Andalusia.
Sakitnya jadi Aluna.
Bingungnya jadi Dean.
Kesalnya jadi Nathaniel.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?

PART 6 : Let Me Heal Your Pain

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram