PART 4 : Honeymoon In Hell


A N D A L U S I A
By Fissilmi Hamida

Part sebelumnya :
Novel Andalusia Part 1
Novel Andalusia Part 2
Novel Andalusia Part 3


Coba bacanya sambil dengerin musik intrumental Mysterious Forest-nya Frederic Chopin.


PART 4 : HONEYMOON IN HELL

Birmingham Palace, sebuah ruangan di gedung The Empire Palace tempat resepsi pernikahan Alfarez dan Aluna dilaksanakan seketika heboh tak karuan. Ya, karena Aluna, sang pengantin wanita mendadak pingsan, tepat saat Dean, si lelaki rupawan yang tengah menahan rasa sakit tak tertahankan itu selesai dengan nada terakhir di tuts-tuts piano yang ia mainkan.

Dean memalingkan muka saat ia melihat Alfarez begitu sigap membopong Aluna ke luar ruangan. Sakit di hatinya kian tak terelakkan. Tubuh Aluna, seharusnya ia yang saat ini berhak merengkuhnya andai lima tahun lalu Aluna tak menghilang, meninggalkannya dalam duka berkepanjangan.

Runyam.

Pembawa acara meminta para tamu untuk tetap tenang. Namun tak bisa, semua tampak ikut berlalu lalang, ingin memastikan langsung bahwa sang pengantin wanita baik-baik saja, sambil berbisik-bisik, saling menerka ada apa.

Dean memejamkan mata, berusaha menghalau bulir bening yang melesak secara paksa.

Pingsan, huh?
Kelelahan, atau karena lagu yang kunyanyikan?
Merasa bersalah setelah lima tahun lalu aku kau campakkan?

Dean tersenyum sinis, menertawakan keadaan Aluna. Namun dalam hati, ada gemuruh yang mengkhianati kesinisannya. Ya, pertarungan rasa, ketika benci dan cinta saling berlomba, menghadirkan rasa yang begitu sulit untuk diterjemahkan ke mana arah muaranya.

Aluna, Sayang.
Apa kau baik-baik saja?

Dean membuka mata. Badannya terasa meriang seketika. Ia baru saja akan melangkah pergi saat seseorang menyentuh pundaknya.

"Dean ...."

Suara itu ....

Dean menoleh ke arah sumber suara dan benar, orang tua Aluna ada di sana. Dean menatap mata ayah Aluna. Tajam, dengan jutaan pisau amarah yang siap menghunjam. Sementara yang ditatap hanya mampu terdiam, seolah pasrah bak hewan kecil yang menunggu untuk diterkam.

Selama beberapa menit, keduanya hanya bersitatap tanpa suara, hingga kemudian Dean kembali memalingkan wajah dan melangkah pergi dengan ribuan resah.

Namun lelaki berdarah Korea itu menahannya. Dean menuruti. Ia berhenti, namun ia tak mau menatap wajah lelaki itu, sama sekali.

"Dean ... bagaimana ... kabarmu?" tanyanya, kaku.

Dean mendongakkan kepala, lalu memejamkan mata, berusaha meredam amarah untuk memukul lelaki yang kini memegang lengan kanannya.

"Lima tahun lalu ...."

Dean mulai bersuara, dengan tetap mendongakkan kepala. Pedihnya sungguh tak terkira. Sementara ibu Aluna, sambil berdiri di belakang suaminya, ia hanya bisa tertunduk dengan menahan tangis
Hatinya pun sesungguhnya teriris.

"Lima tahun lalu, di hari pernikahanku, kalian bilang kalian tak tahu di mana Aluna...."

Lirih, Dean terus bersuara, meski dalam hati, ada bom yang siap meledak kapan saja.

"Dean, yang terjadi tidak seperti yang kau pikirkan. Sebetulnya ...."

"Jangan potong kalimatku!"

Dean meninggikan suara. Kali ini ia tak lagi mendongakkan kepala. Ia beringsut seketika, berbalik arah dan melepaskan lengan kanannya dari ayah Aluna.

Kini, Dean yang memegang kendali. Dipegangnya bahu ayah Aluna. Erat, ditambah dengan tatapan lekat.

"Lima tahun lalu, di hari pernikahanku, kalian bilang kalian tak tahu ke mana Aluna. Tapi kini? Apa ini?" sentak Dean.

Ayah Aluna hanya bisa menghela napas panjang. Hatinya pun luruh redam. Ada rasa bersalah yang menjelma jadi ribuan beban.

"Saat itu kami memang tidak tahu di mana Aluna. Kami ....."

"For God's sake! Didn't you hear what I just said? Sudah kubilang jangan potong kalimatku! Jangan potong kalimatku!"

Dean benar-benar kalap. Suaranya meninggi tanpa ia sadari, hingga ayah dan ibu Aluna tak sanggup menatapnya lagi.

Beruntung, para tamu yang masih sibuk dengan Aluna, saling bertanya dan membahas ada apa hingga tak ada yang memerhatikan bentakan Dean. Apalagi Dean berada di dekat piano, di sebuah sudut di sebelah kanan pelaminan. Jauh dari tempat duduk para tamu yang kini tampak berdesakan.

"Itu berarti, kalian tahu di mana Aluna, karena kini kalian bersamanya, mendampingi dan menghantarkanya menjadi nyonya Alfarez Akbar. Ya, Alfarez Akbar, sahabatku yang kini jadi suami Aluna. Kalian kira ini tak menyakitkan?"

Luruh pertahanan Dean, seiring luruhnya genggamannya pada bahu Ayah Aluna.

"Well, baiklah. Mungkin saat itu kalian jujur, benar-benar tak tahu di mana Aluna. Tapi hari di saat kalian kemudian tahu keberadaan Aluna, kenapa kalian tak memberitahuku, huh?"

Tak ada suara. Ayah Aluna tak bisa menjawabnya. Ia tahu ia salah. Saat pertama kali ia tahu keberadaan Aluna sekitar enam bulan yang lalu, ingin rasanya ia langsung memberi tahu Dean.

Namun yang terjadi pada Aluna membuatnya urung. Ia sendiri terpasung bingung. Karenanya, ia hanya menerima ketika kali ini Dean membentak-bentaknya. Ya, risiko yang pantas untuk ia tanggung.

"Dean, kami sungguh minta maaf. Kami ....."

Ibu Aluna turut bersuara. Ia tahu beban hati suaminya. Ia pun sama. Merasa bersalah pada Dean, yang seharusnya lima tahun lalu jadi menantunya.

"Kalian merasa tak enak padaku karena ternyata Aluna kabur di hari pernikahan karena menjalin cinta dengan lelaki lain? Iya?"

Dean terus menohok orang tua Aluna. Sejenak, ibu Aluna memalingkan muka. Disekanya bulir bening itu hingga tak bersisa sebelum ia kembali menatap Dean.

"Makilah kami, Dean. Cacilah kami. Kami memang bersalah padamu. Tapi percayalah, tak ada niatan kami, atau pun Aluna untuk ...."

Dean mendengus, hingga ayah Aluna tak sanggup meneruskan kalimatnya. Ya, ia paham jika dengusan itu berarti Dean hanya menganggap penjelasannya sebagai omong kosong belaka.

"Setidaknya, jika itu benar, seharusnya kalian tetap memberitahuku agar aku tidak menyia-nyiakan hidupku untuk menunggu. Selama lima tahun ini aku memang berusaha melupakan Aluna, berusaha mengubur segala kisahku dengannya. Tapi dalam lubuk hati, aku menunggu, berharap ia akan datang kembali padaku."

Dean kembali mendongakkan kepala. Bulir-bukir bening itu, Dean benar-benar tak bisa lagi menghalaunya.

"Selama lima tahun, aku terus bertanya-tanya, di mana Aluna? Apa yang terjadi dengannya? Apa Aluna masih hidup atau sudah tiada? Lima tahun itu lama. Sangat lama. Dan kalian tega tidak memberitahuku ketika kalian menemukan Aluna."

Dean terus menumpahkan segala rasa, hingga orang tua Aluna semakin merasa bersalah karenanya.

"Andai hari ini aku tak datang, kalian tak akan pernah memberitahuku, kan?"

Lalu senyap.

"Pak, Bu, Mbak Aluna sudah dibawa ke Rumah Sakit Siloam, tempat dokter Alfarez kerja. Mari saya antar ke sana," ucap seseorang yang tiba-tiba datang kala Dean dan orang tua Aluna sama-sama terdiam.

Dean meliriknya sekilas, lalu menunduk, mengatur irama napasnya yang tak beraturan.

"Dean ...." Ayah Aluna mencoba menyentuh pundak Dean, namun Dean sigap menepisnya.

"Pergilah. Temani Aluna. Hmm, maksudku temani nyonya Alfarez Akbar," ucap Dean.

"Saat Aluna sadar, sampaikan rasa terimakasihku padanya, karena ia sudah menunjukkan padaku perempuan macam apa dirinya itu." Lagi, Dean berucap sebelum orang tua Aluna melangkah pergi.

Ia lalu memejamkan mata sejenak, sebelum raganya bergerak, beranjak. Namun sebelum itu, ayah Aluna sempat melontarkan sebaris pesan yang membuat genderang hatinya kian riuh menyalak.

"Dean, berjanjilah jika kau akan baik-baik saja. Berjanjilah jika kau akan tetap bahagia," begitu ucapnya. Dean tak mempedulikannya.

Ia justru berlalu, dengan genderang pilu yang kian bertalu.

The Quadrangle, sebuah hunian di Lower Ormond Street, di pusat kota Manchester.

Nathaniel menggeliat. Matanya terasa masih berat. Semalam, ia menghabiskan waktu untuk minum-minum di The Wharf, sebuah pub dengan nuansa romantis dan interior yang didominasi kayu di daerah Slate Wharf, Manchester. Tak jauh dari pusat kota. hanya sekitar 30 menit berjalan kaki, atau sekitar 15 menit jika mengendarai mobil.

Helena yang merekomendasikan tempat itu.

Ya, Helena Smith namanya, gadis Irlandia Utara, doktor di bidang kimia jebolan Imperial College London yang saat ini menjadi research associate atau peneliti di Department of Chemistry di The University of Manchester.

Helena, sosok cerdas yang membuat Nathaniel, sang profesor muda melabuhkan cinta.

Cinta? Ataukah ... semu semata?

Sebab Nathaniel dan Helena tak terikat pernikahan, namun kehidupan cinta keduanya layaknya suami istri, seperti yang mereka tunjukkan saat ini.

Di atas peraduan, keduanya berpelukan, tanpa sehelai benang pun melekat di badan. Selimut yang cukup berantakan, juga kemeja dan pakaian dalam yang dibiarkan berserakan, menjadi bukti jika semalam, keduanya saling menumpahkan syahwat yang tak terelakkan.

"Morning, Doctor Helena."

Dengan mata setengah terbuka, Nathaniel menyapa sosok menawan yang bersandar di dadanya. Dikecupnya mesra kening Helena, hingga Helena turut terbangun serta.

"Morning, Professor Nathaniel," balasnya, sebelum keduanya meniadakan jarak di antara bibir mereka selama beberapa detik lamanya.

Nathaniel dan Helena, sudah lebih dari setahun keduanya menjalin cinta. Awalnya, keduanya berencana untuk tinggal bersama di kota Sheffield, namun sayang, Helena tak lolos ketika mendaftarkan diri untuk menempati satu kursi peneliti di Department of Chemistry di The University of Sheffield, universitas tempat Nathaniel bekerja. Saingannya, seorang muslimah dari Malaysia, doktor jebolan University of California, Barkeley yang diterima.

Kecewa, tentu saja. Namun itu tak lama, sebab Helena mendapat kabar gembira bahwa Department of Chemistry University of Manchester menerimanya. Apalagi, jarak kota Sheffield dan kota Manchester tak sejauh itu. Hanya seperti jarak Purworejo-Yogyakarta. Satu jam berkereta.

Nathaniel menatap wajah Helena, yang tetap tampak sempurna meski tak ada sedikit pun riasan di sana. Sepasang bola mata berwarna biru keabu-abuan dengan warna abu-abu lebih dominan, tampak membalas tatapannya.

"Kenapa menatapku?" tanyanya, manja. Nathaniel membalasnya dengan satu sentilan kecil di dagu Helena.

"Kau sudah tak marah, kan?" tanyanya.

Beberapa waktu yang lalu, Helena memang sempat marah padanya.

Minggu pertama Cristmas break atau libur Natal, Nathaniel dan Helena menghabiskan waktu untuk berlibur ke Iceland (Islandia) untuk berburu Aurora, the Northern Light atau Cahaya Utara. Di Islandia, Aurora biasanya muncul sekitar bulan September hingga Maret saat langit cerah.

Aurora, cahaya spektakuler yang muncul di atas permukaan bumi pada malam hari yang muncul ketika atmosfer menjadi sangat tipis, pada ketinggian 100-250 km. Cahaya ini tercipta dari partikel bermuatan listrik yang membuat udara tipis bercahaya.

Indah, menakjubkan bagi siapa yang melihatnya. Sebuah mahakarya dari sang pemilik dunia dan seisinya yang tak seorang pun sanggup menandingi-Nya.

Sayang, saat Helena tengah antusias, Nathaniel menunjukkan hal sebaliknya. Nathaniel justru sibuk dengan ponselnya. Selama di Islandia, wajah Nathaniel pun terlihat gusar, semacam tak menikmati, hingga kekesalan Helena kian menjadi-jadi.

Pulang kembali ke Inggris -tepatnya ke kota Manchester karena selama libur Natal, Nathaniel berjanji akan menghabiskan waktu bersama Helena di Manchester- Nathaniel masih bersikap sama. Bahkan, suatu hari ia mendadak pamit untuk kembali ke Sheffield. Helena tak tahu apa sebabnya. Satu yang pasti, malam sebelumnya, Nathaniel tampak gelisah, tak bisa memejamkan mata.

Pasti ada yang ia sembunyikan.

Begitu pikir Helena.

Helena tak tahu jika kegelisahan Nathaniel disebabkan oleh seorang gadis muda bernama... Andalusia!

Malam itu, sebelum keberangkatan mereka ke Islandia, tanpa sengaja Nathaniel menemukan sebuah video yang muncul di feed instagram-nya. Seorang gadis berjilbab tampak merobek sebuah buku dan melemparkan sobekan kertasnya tepat ke wajah seorang lelaki yang berada di hadapannya. Nathaniel memicingkan mata. Ia yakin jika sosok dalam video itu adalah Dean dan Andalusia.

Sejurus jemudian, Nathaniel tersentak, demi membaca komentar-komentar di video itu. Sadis, mayoritas adalah fans Dean yang mencaci maki Andalusia dengan bengis.

Tanpa ampun, mereka terus menyerang Andalusia hingga kabarnya, Andalusia sampai tutup akun.

"Mahasiswi di University of Sheffield. Kita datangi saja gadis itu. Kita lemparkan kotoran ke wajahnya atas perbuatannya pada Dean, penulis kesayangan kita."

Begitu salah satu komentarnya. Nathaniel hanya bisa mengelus dada membacanya. Saat itu, pikirannya langsung tertuju pada Andalusia.

Wajah sendu Andalusia yang tengah menangis di Weston Park kala itu kembali terbayang.

Andalusia, apa kau baik-baik saja? Aku tahu kau pasti tengah menangis, terluka. Ah, adakah yang menenangkanmu di sana?

Dean!

Ya, Nathaniel buru-buru menghubungi Dean. Ia ingin tahu apa yang sudah dilakukan Dean atas video yang beredar. Apalagi, video itu sampai jadi trending di berbagai pemberitaan.

Sayang, Dean tak merespon pesan-pesannya. Telepon pun tak diangkatnya. Karenanya, Nathaniel terus berusaha menghubungi Dean meski ia telah sampai di Islandia, sembari terus memantau perkembangan beritanya. Wajar saja jika Helena kemudian merasa terabaikan dan merasa kesal.

Bayang sendu wajah Andalusia tak kunjung hilang, sekuat apa pun Nathaniel berusaha mengusirnya. Karenanya sehari paska mereka kembali dari Islandia, Nathaniel memutuskan untuk kembali ke Sheffield, untuk menemui Andalusia dan memastikan keadaannya.

"Pasti ada yang kau sembunyikan," gerutu Helena kala itu saat mereka berdua tengah sarapan.

"Helena please. Jangan berpikir macam-macam. Aku hanya ingin memastikan keadaan seorang teman. Detailnya akan kuceritakan setelah keadaannya kupastikan," jelas Nathaniel. Helena hanya membalasnya dengan diam, lalu bergerak ke arah jendela.

"Hanya sebentar, Helena. Hanya sehari saja. Setelah itu, aku milikmu sepenuhnya. Kita akan bercinta semalaman begitu aku tiba. Bagaimana?" rayu Nathaniel sembari melingkarkan lengan kukuhnya di pinggang ramping Helena. Ia masih diam.

Ya, pada akhirnya Nathaniel benar-benar kembali ke Sheffield dan menemui Andalusia. Tak sulit baginya untuk mencari rumah Andalusia karena Dean pernah memberitahu jika rumah Andalusia berada di deretan kanan, berjarak 7 rumah dari rumahnya.

Benarlah dugaannya. Mata Andalusia bengkak, menghitam bak mata panda. Tubuhnya pun mengurus, macam tak terurus. Wajahnya pucat pasi, bak tak bertenaga sama sekali.

Duduk di ruang tamu, Andalusia kembali tergugu.

"Aku sakit hati, Nat. Teramat sakit. Tidak mungkin Dean tidak tahu jika aku dihujat seperti itu, tapi tak ada yang ia lakukan untukku. Sekadar klarifikasi pun ia tak mau."

Nathaniel urung menyesap secangkir kopi yang disajikan Andalusia. Aroma khas kopi yang tadi memanjakan indera pembau, mendadak hilang bak angin lalu ketika ia melihat Andalusia kembali menangis pilu. Ingin rasanya ia merengkuh gadis rapuh itu.

"Aku sampai tidak berani keluar rumah, Nat. Aku takut para fans Dean akan menyerangku tiba-tiba. Seperti beberapa hari yang lalu. Segerombolan orang menyorakiku, bahkan ada satu yang melemparkan kaleng bekas minuman bersoda hingga mengenai kepalaku. Padahal, mereka tidak tahu masalah sebenarnya, tapi mereka langsung menghakimiku sedemikian dahsyatnya."

Andalusia menjeda perkataannya. Ia menyesap segelas teh di hadapannya sebelum kembali bersuara.

"Aku tertolong karena ini libur Natal sehingga aku tak perlu ke kampus. Tapi saat libur usai, aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti. Mahasiswa yang merupakan fans Dean pasti juga akan turut menghujatku. Aku harus bagaimana?"

Airmata terus bercucuran dari mata sayu Andalusia. Nathaniel tak bisa berkata apa-apa. Sejenak keduanya diam tanpa suara.

"Katakan padaku, kenapa Dean begitu jahat padaku, Nat? Kenapa? Kau sahabatnya. Kau pasti tahu apa sebabnya. Katakan, Nat. Katakan."

Andalusia menangis, menghiba dengan menggenggam lengan kanan Nathaniel. Nathaniel membiarkannya, bahkan hingga kemudian Andalusia merebahkan kepala di sana, dengan tangis yang kian kentara.

Jemari Nathaniel bergerak ke kepala Andalusia, namun ia mengurungkannya. Ia bersandar pada sandaran sofa sambil menerawang, mencari cara ia harus bagaimana.

Haruskah ia memberitahu Andalusia jika ia mirip dengan Aluna, mantan kekasih Dean?

Mencoba mengumpulkan kekuatan, nyatanya Nathaniel tetap tak bisa melakukan. Menurutnya, memberitahu Andalusia tentang kenapa Dean membencinya hanya akan membuatnya kian terluka. Karenanya Nathaniel hanya diam, membiarkan Andalusia menangis hingga ia lega.

"Kau tak pulang ke Spanyol saja selama libur natal ini? Mungkin kau akan lebih tenang di sana," tanyanya, setelah Andalusia lebih tenang dan tak lagi ada airmata berlinang.

Andalusia menggelengkan kelapa, lalu ikut menyandarkan punggung ke sandaran sofa.

"Tidak, Nat. Aku tak mau membuat ibuku khawatir. Ia tahu soal ini dan aku katakan padanya jika aku baik-baik saja. Tapi jika aku pulang ke Spanyol, ibu akan tahu jika aku tak baik-baik saja," jelas Andalusia.

Melirik sekilas, Nathaniel melihat Andalusia menghela napas.

"Lagipula, kakakku sedang berada di rumah, di Madrid. Aku tak akur dengannya. Aku tak bisa berlama-berlama bersamanya," imbuhnya. Nathaniel hanya bisa mengembuskan napas mendengarnya.

Pelik sekali hidupmu, gadis muda. Sanggupkah sosok serapuh dirimu menjalani ini semua?

Lebih dari dua jam lamanya Nathaniel menemani Andalusia, hingga akhirnya ada sedikit senyum muncul juga di wajahnya. Ya, Nathaniel cukup lega. Namun meski begitu, dalam hatinya diselimuti amarah menggelora.

Pengecut sekali kau Dean. Kau bahkan tak mau sekadar klarifikasi untuk gadis ini. Lihat saja. Saat kau kembali ke Sheffield nanti, aku akan menghajarmu. Aku benar-benar kecewa padamu!

Senja menjelang, saatnya Nathaniel beranjak pulang. Saat ia hampir melewati rumah Dean, ada dua gadis dengan beberapa kantong belanjaan. Ia tahu mereka teman serumah Andalusia. Ia sempat melihat mereka saat ia baru saja datang.

"Ini nomor ponselku. Tolong jaga Andalusia. Dia benar-benar tidak baik-baik saja. Jika ada apa-apa, tolong hubungi aku segera," kata Nathaniel setelah menuliskan nomor ponsel di struck belanja milik salah satu teman Andalusia.

Mereka menganggukkan kepala. Sama, mereka juga khawatir dengan keadaan Andalusia.

Nathaniel berlalu, dengan sejumput tanya merasuki kalbu.

Kenapa aku begitu mengkhawatirkan gadis itu?

Nathaniel mendesah. Ia sendiri pun tak tahu.

"Helena, kau sudah tak marah lagi, kan?" Nathaniel mengulang pertanyaannya setelah sejenak ia melamunkan Andalusia.

Yang ditanya membalas dengan tatapan mesra, sembari jemarinya bergerak, membelai pipi Nathaniel yang mulai ditumbuhi cambang tipis.

"Tentu tidak, Sayang. Setelah aku tahu kebenarannya, aku justru bangga. That's what makes you human. Kepedulianmu terhadap sesama adalah salah satu hal yang membuatmu benar-benar menjadi manusia," ucap Helena.

Nathaniel membalas tanggapan bijak Helena dengan kecupan tanpa jeda.

"Lain waktu, ajaklah Andalusia ke sini. Aku akan mengajaknya jalan-jalan agar luka hatinya terlupakan. Aku sungguh kasihan," pinta Helena, setelah Nathaniel usai mencumbunya. Ya, mereka bercinta lagi, tak peduli jika ini masih pagi.

"Tentu saja. Sungguh, aku kasihan padanya. Jauh-jauh dari Spanyol ke Inggris, namun Inggris justru membuatnya terus menangis. Soal Dean ... kau tahu Helena. Aku sungguh ingin menghajarnya. Sebagai sahabat, aku sangat kecewa. Tak pernah aku sekecewa ini padanya." Nathaniel kembali geram, setelah menghempaskan tubuh atletisnya di atas ranjang.

Helena diam saja. Namun dalam hati, ia membenarkan pernyataan kekasihnya. Apalagi sebagai sesama perempuan, ia seolah bisa turut merasakan kesedihan Andalusia.

Beberapa saat kemudian, ponsel Nathaniel nyaring berbunyi. Helena yang tengah mengeringkan rambut, mengambil ponsel Nathaniel yang tengah di-charge di atas meja riasnya.

"Dari siapa?" tanya Nathaniel dari dalam kamar mandi.

Helena terhenyak. Nama Dean ada di sana.

"Helena, bisa kau lihat ponselku? Angkat saja teleponnya," kata Nathaniel lagi.

Helena tak berani. Ia bawa ponsel itu ke kamar mandi. Dibukanya sedikit pintu kamar mandi yang memang tak dikunci.

"Dari Dean. Kau angkatlah sendiri," katanya, sembari menyerahkan ponsel itu pada Nathaniel.

Helena kembali duduk di depan meja rias. Sesekali, didengarnya Nathaniel membentak Dean dengan keras. Helena mendesah. Nathaniel tak pernah semarah ini. Namun sejurus kemudian, suara Nathaniel luruh. Tak ada lagi bentakan. Suara Nathaniel mendadak hilang, tak terdengar.

"Sayang, ada apa? Is everything okay?" tanyanya, begitu melihat Nathaniel keluar kamar mandi dengan ekspresi wajah tak terjemahkan.

"Dean ...."

"Iya, Dean kenapa?"

Nathaniel kembali men-charge ponselnya, lalu kemudian duduk di tepi ranjang.

"Dean sedang di Indonesia dan ia bertemu Aluna, yang pernah kuceritakan padamu," jelas Nathaniel. Helena ikut duduk di sebelahnya.

"Aluna yang tidak datang di hari pernikahan mereka, kan?" tanyanya. Nathaniel menganggukkan kepala.

"Lalu apa masalahnya? Bukankah bagus sehingga mereka bisa menghanca kisah cinta mereka?" Helena ingin tahu.

Nathaniel merebahkan badan di atas peraduan.

"Dean datang ke pernikahan sahabatnya saat SMA dan pengantin wanitanya adalah Aluna."

Helena menganga. Ia lalu turut merebahkan diri di sebelah Nathaniel tanpa kata. Tapi sejurus kemudian, bibirnya merenda aksara.

"Apa itu berarti ... Dean akan semakin membenci dan menyakiti Andalusia?" lirihnya.

Nathaniel tertegun. Kembali terbayang wajah Andalusia dengan mata berembun.

********

Bumi Surabaya City Resort, sebuah hotel bintang lima di jantung kota Surabaya.

Di sebuah kamar Classic Executive Suit dengan jendela yang menyajikan pemandangan kota Surabaya, Alfarez tak berkedip menatap sosok yang baru beberapa jam yang lalu resmi menjadi istrinya.

Perempuan berambut panjang, berleher jenjang, dengan gaun keemasan tak berlengan, berjalan ke arahnya dengan senyum menawan. Alfarez tak tahan. Naluri kelelakiannya seketika tertantang.

Ya, ini malam pertama mereka. Aluna memaksa tak ingin berada di rumah sakit lebih lama. Apalagi ia merasa sudah baik-baik saja. Maka di sinilah mereka, berdua saja, bersiap menjajaki tangga demi tangga untuk menuju puncak cinta.

Sejujurnya, hancur hati Aluna. Rasa bersalah sungguh menderanya. Bagaimana tidak. Lelaki yang ia tinggalkan begitu saja lima tahun lalu di hari pernikahannya, mendadak muncul di hadapannya.

Namun, Aluna mencoba menutupi risau hati, apalagi Alfarez sama sekali tak mengerti apa yang telah terjadi.

Bisa saja ia menangis sejadi-jadinya, namun itu tak adil untuk Alfarez yang kini telah resmi menjadi suaminya. Apalagi, mengingat segala jasa Alfarez yang selama lima tahun ini mendampinginya hingga ia sembuh, pulih dari penyakit psikisnya.

Balas budi, itu alasan utama Aluna menyetujui saat enam bulan lalu Alfarez menyatakan keinginan untuk menikahi, meski jauh di lubuk hati, Dean lah yang masih menempati.

"Yakin kamu sudah baik-baik saja?" tanya Alfarez. Aluna tampak melepas ikatan rambutnya, hingga bertambahlah pesonanya.

Alfarez menelan ludah. Gemuruh kelelakiannya kian riuh rendah.

"Aku baik-baik saja, Mas," jawabnya.

Aroma parfum mawar seketika menguar. Alfarez memejamkan mata. Gelora itu terasa kian liar.

Maka, tak perlu dijelaskan apa yang terjadi selanjutnya. Kau sudah tahu mereka akan melakukan apa.

Meniadakan jarak, keduanya seirama bergerak untuk bersama meniti jalan menuju puncak.

Sayang, bersamaan dengan gelora yang kian memuncak, tiba-tiba saja Aluna terisak, hingga Alfarez berhenti bergerak.

"Aluna, Sayang? Ada apa?"

Aluna tak menjawabnya, namun kini tangisnya kian kentara. Napasnya pun tak seirama. Wajahnya pucat dengan tubuh gemetar bak terguncang gempa.

Alfarez beringsut, membimbing Aluna untuk duduk. Ia lalu menata bantal sedemikian rupa agar Aluna bisa bersandar di sana.

"Sayang, ada apa? Apa aku menyakitimu?" tanya Alfarez lagi, sembari memberikan segelas air untuk Aluna.

Aluna meneguk minumannya, lalu menggelengkan kepala. Tubuhnya masih bergetar hebat. Getarab itu tak sedikit pun melambat.

Alfarez mencoba merengkuhnya, namun Aluna menepisnya. Ia justru seketika bangkit dari ranjang dengan tangis memilukan, berlari menuju kamar mandi dan mengunci diri di sana.

Alfarez memejamkan mata.

Aluna, apa kau ... belum sembuh sempurna?

"Aluna, Sayang, jangan begini. Bukalah. Jangan membuatku resah," pinta Alfarez. Jemarinya mengetuk pintu. Aluna tetap tergugu.

"Aku belum bisa, Mas. Aku belum bisa."

Aluna terisak di dalam sana. Alfarez sungguh mengerti apa yang dirasakan istrinya. Ya, Alfarez tahu segalanya.

"Tidak apa-apa Aluna. Sungguh, tidak apa-apa. Aku mengerti." Alfarez mulai putus asa.

"Tidak. Mas tidak mengerti. Aku ... aku belum sembuh, Mas. Aku belum sembuh. Kejadian lima tahun lalu itu rupanya masih menghantuiku."

Tangis Aluna kian menjadi. Alfarez bingung harus bagaimana lagi.

Ya, lima tahun lamanya Aluna berjuang untuk sembuh dari trauma dan Alfarez-lah sosok yang sejak lima tahun setia mendampinginya. Bahkan ketika Aluna harus melenyapkan diri dari keluarga dan hiruk pikuk dunia, Alfarez pula yang membantunya. Dan, ia juga sosok pahlawan yang menyelamatkan Aluna dari kematian kala Aluna yang begitu depresi mengiris nadinya sendiri.

Ia kira Aluna sudah sembuh sempurna. Tapi tadi?

Menahan perih di dada, seolah turut merasakan kepedihan yang dirasakan Aluna, Alfarez sejenak memejamkan mata. Lalu dengan kekuatan paripurna, ia dobrak pintu kamar mandi kamar hotel yang ditempatinya hingga pintu itu rusak.

Aluna di sana, menangis di bawah kucuran air shower yang membasahi sekujur tubuhnya. Sementara jemarinya tampak mencakar, membabi buta melukai wajah dan lengannya, hingga Alfarez langsung melompat, sigap menahan dan memeluknya.

"Hentikan, Aluna. Hentikan. Kamu melukai dirimu sendiri."

Aluna tak peduli. Ia terus meronta. Melukai diri, hanya itu yang ada di otaknya.

Alfarez mengeratkan rengkuhannya, membiarkan tubuhnya juga turut basah oleh kucuran air shower. Setengah jam kemudian, Aluna mulai menyerah. Gerakannya mulai melemah.

Alfarez terus merengkuhnya, sembari menguatkannya.

"Jangan takut Aluna. Aku di sini, bersamamu. Sejak lima tahun lalu, hingga nanti, aku akan terus mendampingimu."

Aluna kian pilu. Dibenamkannya kepala ke dada bidang suaminya itu.

Lima tahun lalu di sebuah jalanan sepi di salah satu sudut Karangasem, Bali, Alfarez yang tengah lari pagi dikejutkan oleh suara rintihan seorang perempuan dari balik semak belukar.

Mulutnya menganga, saat ia melongokkan kepala, berusaha mencari sumber suara. Jantungnya bak berhenti berdetak seketika.

Sesosok perempuan, tampak merintih kesakitan. Tubuhnya polos tanpa ada sehelai benang pun menutupi badan. Sementara wajah dan beberapa bagian tubuhnya membiru, ciri khas fisik yang menerima kekerasan.

Ya, sesosok tubuh tanpa sehelai benang itu adalah Aluna. Korban perkosaan oleh lima lelaki, tepat di malam sebelum keesokan harinya ia melaksanakan pernikahannya dengan Dean.

************

B E R S A M B U N G

Kasihan ya Andalusia ?? Sampai harus tutup akun segala.
Sekarang tahu kan apa alasan Aluna 5 tahun lalu menghilang?

Siapa yang paling menderita?
Dean, Andalusia, atau Aluna?

PART 5 : I'm Sorry Andalusia

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram