PART 9 : Secrets From The Past

part 9 secrets from the past


A N D A L U S I A
By Fissilmi Hamida

Part sebelumnya :

Novel Andalusia Part 1
Novel Andalusia Part 2
Novel Andalusia Part 3
Novel Andalusia Part 4
Novel Andalusia Part 5
Novel Andalusia Part 6
Novel Andalusia Part 7
Novel Andalusia Part 8


PART 9 : SECRETS FROM THE PAST

Alcala menundukkan kepala. Jemarinya mengepal. Matanya sejenak terpejam. Ia berusaha mengumpulkan kekuatan.

"Saat itu ... tujuh tahun lalu ... ayah ... menodai Ameria, saat kami semua ada acara gathering di Girona ... dan ... dan Kakak yang memergokinya."

Airmata Alcala luruh, bersamaan dengan Andalusia yang seketika rubuh.

**************

"Kakak pasti berbohong. Kakak berbohong. Ini tidak mungkin!" Andalusia histeris di pelukan Alcala.

Alcala yang berurai airmata, berusaha menguatkan adik satu-satunya. Ia tahu ini menyakitkan, tapi sudah saatnya kebenaran pahit ini diungkapkan.

"Kakak bohong ... Kakak bohong ...."

Andalusia terus meracau seraya memukuli dada Alcala, namun beberapa saat kemudian, gerakannya melemah, meski airmatanya terus meruah.

Di kursinya, Dean tampak menundukkan kepala. Sang ayah yang tahu perasaannya, mengelus-elus lengannya. Ia sendiri hampir berderai airmata, sebab banyak rahasia yang juga disimpan olehnya. Satu yang pasti, ia berharap jika pengungkapan kebenaran ini akan berujung pada membaiknya hubungan Andalusia dan Dean, putra semata wayangnya.

Diliriknya lagi Dean yang masih menundukkan kepala. Iba, dan segala rasa yang entah bagaimana ia harus menjelaskannya, bercampur menyesakkan dada.

Maafkan Papa, Nak.

Begitu ia bersenandika.

"Maafkan, Kakak, Andalusia. Tapi ... memang begitulah kebenarannya. Kakak ...."

Ah, kelu. Alcala tak lagi bisa melanjutkan kalimatnya. Alcala dan Andalusia, kakak beradik itu terus berpelukan, saling menguatkan di tengah tangis yang mereka perdengarkan.

Ibu Ameria yang sedari tadi diam saja, akhirnya bereaksi juga. Ia ingat betul bagaimana Alcala, pemuda yang tulus mencintai putrinya itu membela mereka.

Didekatinya Alcala yang masih memeluk Andalusia.

"Nak, duduklah," pintanya, sembari sejenak melongokkan kepala ke kamar Ameria sebelum menutup rapat pintunya. Ameria masih tampak merenung menatap jendela.

"Nak, boleh Ibu bicara?" ucap ibu Ameria setelah Alcala dan Andalusia kembali ke sofa, dan setelah Andalusia tampak lebih tenang dari sebelumnya.

Alcala dan Andalusia mengangukkan kepala. Alcala yang tahu apa yang akan diceritakan ibu Ameria, segera menggenggam jemari Andalusia, menguatkannya. Ya, sesuatu yang selama ini hanya tercekat di tenggorokan saja. Tak pernah bisa diungkapkan olehnya.

Ayah Dean pun sama. Untuk ke sekian kali, ia menepuk pundak sang putra, berharap putranya siap pada yang sebentar lagi akan didengarnya.

"Sejak tujuh tahun lalu, Ameria terus seperti ini. Adakalanya ia tampak baik-baik saja, selayaknya yang lainnya. Tapi inilah yang sering terjadi. Tatapannya kosong. Sehari-hari ia hanya merenung di sisi jendela seperti ini."

Ibu Ameria mulai bersuara. Andalusia yang masih terisak, berusaha mendengarnya dengan saksama. Sulit sebetulnya, sebab bayang sang ayah kini menari-nari di benaknya. Mereka berdua memang dekat. Sangat dekat hingga saat sang ayah meninggal, hati Andalusia benar-benar tersayat.

"Saat musibah itu terjadi, Ibu tidak tahu bagaimana untuk mencari keadilan. Ibu hanya bekerja sebagai penjaga toko. Tak banyak uang yang kami miliki untuk menyewa pengacara. Apartemen ini pun warisan dari mendiang ayah Ameria."

Andalusia memejamkan mata. Ada kepedihan di kalimat ibu Ameria.

"Ibu sempat membenci Alcala, karena Ameria jadi seperti ini karena ayahnya. Tapi tak peduli betapa sering Ibu mengusirnya, memukulinya, melemparnya dengan barang-barang, Alcala tetap datang."

Ibu Ameria, kian serak kini suaranya. Ada duka menahun yang tergambar di sana. Andalusia dan semua yang berada di ruangan itu bisa merasakannya.

"Ibu tahu ... Alcala juga terluka. Ia harus mendapati orang yang ia cintai dinodai oleh ayahnya sendiri dan ... dan ...."

Tercekat. Kalimat ibu Ameria melambat.

"Dan ... Alcala juga harus terluka saat ia memutuskan untuk melawan ayahnya sendiri."

Tersentak Andalusia mendengarnya. Segera, lekat matanya menatap Alcala, meminta penjelasan darinya.

"Melawan ... Ayah? Kakak ... melawan Ayah?" tanyanya. Airmatanya kembali menghujan, tak tertahankan.

Alcala hanya bisa memejamkan mata, menghalau perih yang memang telah lama menghuni hatinya. Menjebloskan ayah sendiri ke penjara bukanlah keputusan yang mudah. Tapi ia harus melakukannya untuk Ameria. Untuk keadilan.

"Apa ... maksudnya, Kak?" tanya Andalusia sembari memegang lengan Alcala. Alcala masih tak bersuara. Matanya pun masih terpejam, namun kini, disertai bulir bening yang berlinang.

"Kak ... jawab, Kak. Apa maksudnya Kakak melawan Ayah? Jawab, Kak. Jawab!" Tangis Andalusia benar-benar pecah. Airmata Alcala juga semakin tumpah.

"Alcala ... ia yang menghubungiku, memintaku menjadi pengacara untuk membela Ameria. Untuk memenjarakan ayahmu," ucap ayah Dean tiba-tiba. Sedari tadi memang ia sudah tak tahan untuk segera bersuara.

Andalusia memicingkan mata, lalu mengubah posisi duduknya. Dengan mulut menganga, ia memandang ayah Dean dan Alcala bergantian. Bibirnya gemetar. Ia ingin bicara, namun tiba-tiba saja tak bisa.

"Kau salah, Nak, jika kau menyangka keluarga Ameria menyuapku untuk memutarbalikkan fakta. Lihatlah keluarga mereka. Ibu Ameria hanyalah seorang penjaga toko. Ayahnya sudah tiada. Ameria juga tidak bekerja. Bahkan, Ameria tak pernah punya kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan sarjananya sejak kejadian memilukan itu. Dari mana mereka mendapatkan uang untuk menyuapku, seperti yang kau tuduhkan?"

Andalusia menundukkan kepala. Perkataan Pengacara Kim, ayah Dean, bak tombak yang menghunjam dada.

Lagi, semua yang berada di dalam ruangan itu terdiam untuk ke sekian kali.

"Iya, Andalusia. Kakak yang menghubungi Pengacara Kim, setelah Kakak tahu reputasinya yang kerap menolong orang-orang kecil. Bagaimana pun, Ameria harus mendapat keadilan, meski Kakak harus terluka menyaksikan ayah kita mendekam di tahanan." Giliran Alcala yang bersuara.

Mendengarnya, dalam hati Dean merasa bangga. Ya, ia sangat tahu reputasi ayahnya.

"Ketika Ayah dinyatakan bersalah, kau bilang Kakak terlihat bahagia, lalu sejak itu hubungan kita memburuk. Kau seolah tak pernah lagi menganggap Kakak ada. Ketahuilah, Andalusia. Kakak tak pernah bahagia. Kau bisa bayangkan bagaimana rasanya ketika harus memenjarakan orang yang kita cinta?" Alcala terus berurai airmata. Andalusia pun juga.

"Tapi, kebenaran tetaplah kebenaran, kan? Salah katakan salah. Begitu, kan?" sambungnya lagi.

Tangis Andalusia kian menjadi-jadi. Tak menyangka sang kakak menyimpan rahasia berat ini seorang diri, bahkan rela bertahun-tahun ia benci.

"Kondisi Ameria memburuk. Ibu Ameria bahkan sempat tak bisa bekerja demi menjaganya yang terus mencoba untuk bunuh diri. Karenanya, Kakak memutuskan untuk tetap berada di Sevilla agar Kakak tetap bisa membantu mereka."

Alcala terus membeberkan segala hal yang tak diketahui Andalusia.

"Kau ingat saat Kakak bilang jika Kakak akan mengajukan perpindahan ke kantor Madrid setelah Ayah meninggal, agar Kakak bisa menemanimu dan Ibu?" tanya Alcala setelah beberapa saat menjeda penjelasannya.

Andalusia menganggukkan kepala. Ia tak pernah bisa lupa jika sepeninggal sang ayah, ia yang masih SMA harus merawat ibunya yang mengalami depresi parah, bahkan harus dirawat di rumah sakit jiwa.

Putus asa, ia pun mengesampingkan ego dan memohon pada kakak yang dibencinya untuk tetap berada di Madrid. Saat itu, Alcala bilang jika ia akan mengajukan perpindahan dari kantor Sevilla ke Madrid.

"Saat itu Kakak berbohong padamu," imbuh Alcala.

Andalusia kembali memicingkan mata. Sungguh, terlalu banyak yang tak ia ketahui.

"Saat itu, Kakak bilang padamu, kan, jika Kakak tak diizinkan oleh kantor Sevilla untuk pindah ke kantor Madrid?" tanya Alcala. Andalusia kembali menganggukkan kepala.

"Kakak berbohong padamu. Sebetulnya, kantor Sevilla menyetujui perpindahan Kakak ke kantor Madrid. Hanya saja, keadaan Ameria yang memburuk membuat Kakak harus memilih."

Perih. Luka di hati Alcala dan Andalusia kian memerih.

"Maafkan Kakak, Andalusia. Kakak terpaksa memilih Ameria demi tanggung jawab Kakak atas perbuatan Ayah. Kakak harus tetap berada di Sevilla untuk memantaunya, memastikan ia dan ibunya tak kurang apa-apa," jelas Alcala sembari meremas jemarinya sendiri. Beban di dadanya sungguh tak terperi.

"Maafkan Kakak yang terpaksa harus membiarkanmu yang masih SMA untuk tinggal di Madrid sendirian dan merawat Ibu. Meski tiap dua minggu, atau kadang sebulan sekali Kakak mengunjungimu, Kakak tahu jika itu tak cukup untukmu," imbuhnya lagi.

Tangis Andalusia kian menjadi. Entah, ia tak mengerti bagaimana harus menggambarkan apa yang dirasakannya kini. Masa-masa berat saat ia harus mengurus sang ibu seorang diri terngiang kembali.

"Maafkan Kakak yang tak punya banyak waktu untukmu. Kau tahu, semua karena Kakak harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga kita, juga untuk menghidupi Ameria dan ibunya, meski mereka tak pernah memintanya. Maafkan Kakak. Maafkan Kakak."

Alcala terus meminta maaf. Ia sungguh merasa bersalah pada Andalusia.

Mendengarnya, Andalusia tak kuasa. Jika tadi Alcala yang merengkuhnya, kini Andalusia yang membuka tangan dan merengkuh sang kakak. Kakak yang ia benci, ternyata pengorbanannya sebesar ini. Tangis keduanya kian menjadi-jadi.

Ya, sejak sang ayah meninggal, kehidupan Alcala dan Andusia memang tak pernah sama, meski beberapa bulan kemudian, sang ibu tak lagi mengalami gangguan jiwa dan bisa kembali bekerja seperti sebelumnya. Terutama bagi Andalusia. Hidupnya terasa sepi sejak sang ayah pergi. Mereka berdua memang dekat sekali. Hingga suatu hari, ada sebuah surat misterius yang membuat hari-harinya tak lagi terasa begitu sepi.

Mr. K.

Begitu yang tertulis di sana sebagai nama pengirimnya.

Andalusia tak pernah tahu seperti apa sosoknya dan siapa ia sebenarnya. Yang ia tahu, Mr. K selalu ada untuknya. Bahkan seringkali, ia merasa jika Mr. K bak jelmaan ayahnya.

Mr. K.
Sosok misterus yang selalu memanggilnya dengan sebutan mi niña yang berarti my girl. Gadisku.

??????

Plaza de Colón atau yang juga dikenal sebagai Columbus Square, bertahun-tahun silam.

Madrid, ibukota negara Spanyol yang merupakan kota terbesar ketiga di wilayah Uni Eropa, berpenduduk sekitar 3.3 juta jiwa.

Ada banyak landmark kota ini yang selalu menarik untuk dikunjungi.

Sebut saja Plaza Mayor, sebuah alun-alun di tengah kota Madrid yang dibangun sekitar tahun 1580, bangunan super megah Palacio Real de Madrid atau yang lebih dikenal sebagai Royal Palace of Madrid, sebuah istana seluas 135.000 meter persegi dan memiliki lebih dari 3400 ruangan, Almudena Cathedral, Palacio de Cibeles yang dahulu merupakan kantor pos namun kini beralih fungsi menjadi Madrid City Hall, titik 0 km di Puerta de Sol, juga beberapa bangunan ikonik lainnya.

Andalusia melangkah perlahan, keluar dari gerbang SMA IES Beatríz Galindo, sekolahnya. Di depan pintu gerbang, ia sempat sejenak terdiam. Dipandanginya sebuah amplop ditangan.

Mr. K nama pengirimnya. Andalusia tak tahu ia siapa.

"Tunggu, Andalusia!" panggil salah satu gurunya tadi, saat ia baru saja keluar kelas dan bersiap untuk pergi.

Bu Josefina, salah satu guru favoritnya.

"Tienes una carta. Un joven me dio esta carta. Para ti," ucap Josefina, menjelaskan pada Andalusia jika tadi ada seorang anak yang menitipkan surat untuknya.

Andalusia ragu menerimanya.

"Para mi? Untukku?" Andalusia memastikan, takut gurunya salah orang. Josefina menganggukkan kepala.

"Sí. Esta carta es realmente para ti. Surat ini memang untukmu. Aku tidak sempat bertanya siapa pengirimnya. Anak itu pergi begitu saja setelah memberiku surat ini dan memintaku untuk memberikannya padamu," imbuhnya.

Andalusia menimang-nimang surat dalam amplop biru muda itu.

"Ver. Tu nombre está escrito aquí. Lihatlah. Namamu jelas tertulis di sampul surat itu. La Alhamra Andalusia," ucap Josefina lagi.

Maka di sinilah Andalusia kini, bingung sendiri. Surat itu sedari tadi hanya terjebak di antara jemari, belum dibacanya sama sekali.

Ia mendesah dan kini mulai melangkah. Sayang, alih-alih berjalan ke arah jalan pulang, ia justru berjalan ke arah berlawanan, hingga beberapa saat kemudian, sampailah ia di Plaza de Colón, sebuah alun-alun yang hanya berjarak kurang dari 300 meter dari sekolahnya.

Andalusia memandang sekeliling. Cukup banyak orang berlalu lalang.

Meski mungkin tak seterkenal landmark lainnya, namun alun-alun ini punya daya tarik tersendiri. Plaza de Colón berarti Columbus Square atau alun-alun Columbus. Dinamakan demikian karena alun-alun ini memang didedikasikan untuk mengenang Christopher Columbus yang dipercaya sebagai penemu benua Amerika.

Di tengah alun-alun, terdapat patung Christopher Columbus yang didirikan pada tahun 1885 untuk memperingati 400 tahun perjalanannya ke Hindia Barat.

Menjulang tinggi, patung Columbus tampak melihat ke arah barat dengan tangan kiri terulur, seolah tengah menunjukkan jalan ke dunia baru Amerika.

Di sebelah timur, ada bendera Spanyol yang kabarnya merupakan bendera Spanyol terbesar di Eropa. Tiang yang menjulang tinggi semakin menampakkan gerak bendera itu saat angin meniupnya dan membuatnya bak tengah menari.

Sementara di sisi utara alun-alun, terdapat sebuah taman bernama Jardines del Descubrimiento yang dalam bahasa Inggris berarti Gardens of Discovery, tempat di mana kaki Andalusia berpijak kini.

Di sebuah kursi taman berwarna cokelat berukuran panjang, Andalusia duduk bersandar. Surat misterius itu masih dipegangnya.

"Mr. K?"

Andalusia bergumam, lalu menghela napas dengan mata terpejam.

Awalnya ragu, namun pada akhirnya, ia buka juga surat itu.

Menganga seketika. Di baris pertama, ada peribahasa Spanyol yang sering diucapkan sang ayah untuknya.

"Al mal tiempo, buena cara."

Bibir Andalusia bergerak, membaca perlahan kalimat itu dengan dada yang mendadak sesak. Airmatanya pun tiba-tiba menyeruak.

Al mal tiempo, buena cara, peribahasa Spanyol yang berarti happy face at bad weather. Wajah bahagia di tengah buruknya cuaca.

Baris demi baris di surat itu, kini Andalusia membacanya satu persatu.

----------
Hola mi niña. Sigues llorando?

Hai, gadisku. Apa kau masih terus menangis, meratapi keadaan?

Bukankah ini yang sering ayahmu katakan?
Bukankah ini yang selalu ayahmu nasihatkan kala kau merasa lelah dengan segala beban?

Al mal tiempo, buena cara.

Aku tahu sejak ayahmu tiada, hari-harimu bak berada di tengah buruknya cuaca. Badai setiap hari, tak ada sinar mentari atau pun musim semi menghampiri.

Tapi hey, Andalusia. Bahkan di tengah badai pun ada banyak hal yang bisa dipelajari, sebagaimana dalam berbagai kesulitan, selalu saja ada hal yang bisa kau syukuri.

Ayahmu tiada.
Kau merasa menjadi manusia paling menderita sedunia.
Lupa bahwa ada ratusan, bahkan ribuan anak manusia di berbahai belahan dunia yang tak pernah berkesempatan merasakan belaian cinta ayah mereka.

Kau yang masih SMA, merasa paling sengsara karena harus merawat ibumu yang tengah mengalami gangguan jiwa.
Lupa bahwa di luar sana, ada banyak anak-anak di pengungsian, anak-anak korban perang, yang harus mengurus diri mereka sendirian.

Pun kau tak kurang suatu apa.
Tempat tinggalmu nyaman, tak pernah kekurangan makanan, tetap bisa melanjutkan pendidikan. Kau punya kakak yang bekerja keras agar hidupmu berkecukupan.

Al mal tiempo, buena cara.
Wajah bahagia di tengah buruknya cuaca.

Andalusia, kau pasti bisa melakukannya.

-------------

Andalusia tertunduk pilu. Surat misterius itu sedikit diremasnya sembari ia tersedu.

Isi surat itu begitu ... liar. Menampar.

Setelah mampu kembali menguasai diri, Andalusia membaca surat itu lagi.

----------

Ah, iya.
Tentang siapa aku, mungkin kau bertanya-tanya.

Mr.K.
Panggil saja aku begitu.

Apakah nama asliku mengandung huruf K atau diawali huruf K, itu tidak penting. Tapi tentu saja alasanku memilih nama samaran Mr. K tak pernah alasan yang asal-asalan saja.

Andalusia, kau pernah dengar atau membaca tentang bangsa Hmong?

Mereka adalah kelompok etnis di daerah Asia Timur dan Tenggara, keturunan dari bangsa Miao yang hidup di China selatan, Vietnam, dan juga Laos. Mereka berbicara menggunakan bahasa Hmong.

Kau tahu Andalusia, ada salah satu kata di bahasa Hmong yang melatariku menggunakan inisial Mr. K.

K di sini adalah singkatan dari kata Kaajhuab, yang dalam bahasa Hmong berarti the first light that melts away the morning mist. Cahaya pertama yang melelehkan kabut pagi.

Mi niña, Andalusia.

Saat ini kau bak keindahan dan kekuatan yang tertutup oleh kabut pagi. Hadirku ingin menjadi kaajhuab untukmu, menjadi cahaya pertama yang melelehkan kabut-kabut duka yang menutupimu sepeninggal ayahmu.

Salam.
Mr. K

----------

Baris terakhir selesai dibaca, kian luruh airmata Andalusia.

Entah.
Rangkaian kata di surat misterius ini benar-benar dalam menghunjam dada. Menamparnya yang merasa bak manusia paling menderita, namun juga melecutnya untuk bangkit dari ini semua.

Mr. K, siapakah dirimu?
Kenapa kau ingin melelehkan kabut-kabut dukaku?

Bersenandika Andalusia, setelah airmatanya tak lagi tersisa. Punggungnya ia sandarkan ke sandaran kursi taman, sementara surat misterus itu ia mainkan.

Namun sekejap kemudian ia tertegun.

Apa ... Mr. K adalah ... Kakak?

Tidak, tidak. Andalusia gusar. Meski isi surat misterius ini di satu titik menguatkannya, namun ia tak bisa menerima jika surat ini dari Alcala, kakaknya.

Meski Alcala bekerja keras untuk membiayai hidupnya, bolak-balik setiap dua minggu sekali atau setiap bulan dari Sevilla ke Madrid untuk menjenguknya, namun tetap, Andalusia belum bisa memaafkannya yang entah kenapa justru terkesan mendukung pihak-pihak yang memenjarakan ayah mereka.

Andalusia mengedarkan pandangan, lalu bangkit dan berjalan perlahan. Tampak banyak orang masih berlalu-lalang. Ia hampir saja membuang surat misteris itu saat ia menyadari sesuatu.

Dibukanya kembali surat yang sudah ia remas. Ditatapnya lagi baris demi barisnya dengan mata memanas. Surat ini ditulis dengan tulisan tangan yang begitu indah. Sangat berbeda dengan tulisan tangan Alcala.

Mr. K , siapakah dirimu?
Kenapa kau peduli padaku?
Bagaimana kau bisa tahu soal keadaanku, soal ayahku?

Andalusia mendesah. Matanya kembali basah. Dirapikannya surat itu lagi. Ia kembali berjalan untuk pulang ke rumah, beristirahat sebentar, lalu menjenguk sang ibu yang dirawat di sebuah rumah sakit jiwa di daerah Calle Visitacion.

****************

Mr. K.

sosok misterius itu, ia terus ada untuk Andalusia meski bertahun-tahun telah berlalu, bahkan hingga saat ini, meski Andalusia tetap tak tahu siapa sosok Mr. K ini.

Di surat selanjutnya yang ia temukan di loker miliknya di sekolah, Mr. K memberikan alamat email agar Andalusia bisa berkomunikasi dengannya. Pun setiap tahun, saat Andalusia berulang tahun, Mr. K selalu mengirimkan hadiah.

Tak banyak yang tahu jika Mr. K yang memperkenalkan Andalusia dengan karya-karya Dean. Saat itu hari ulang tahunnya ke-18. Ada sebuah paket dari Mr. K. Isinya beberapa novel karya penulis Dean Edward Beazley.

----------

Mi niña, Andalusia. Feliz cumpleaños!

Selamat ulang tahun. Ini hadiahmu. Aku kira kau akan menyukai novel-novel ini. Penulis kenamaan Inggris yang menulisnya. Dean Edward Beazley.

Awas.
Jangan kau googling namanya. Nanti kau terpesona. Kau sudah berumur 18 tahun. Kau pasti sudah mengerti soal cinta. Aku tak mau kau kabur ke Inggris tiba-tiba untuk bertemu dengannya.

Mi niña, ingat.

Al mal tiempo, buena cara.
Wajah bahagia di tengah buruknya cuaca. Selama ini, kau sudah cukup baik melakukannya. Tetaplah seperti ini.

Salam.
Mr. K
----------

Begitu bunyi surat yang menyertai hadiah yang dikirimkan Mr. K.

Detik itu juga, Andalusia melanggar peringatan Mr. K untuk tak mencari tahu bagaimana rupa penulis Dean Edward Beazley. Benar, ia terpesona meski baru melihat fotonya saja. Semakin terpesona saat ia tenggelam dalam rangkaian diksi-diksi manis di novel-novelnya.

Mr. K benar. Ia memang pada akhirnya rela terbang dari Spanyol ke Inggris untuk bertemu sang penulis yang telah lama memesonakannya.

Ya, hingga kini, Andalusia masih terus berkomunikasi dengan Mr. K melalui media email. Entah. Andalusia selalu merasa Mr. K bagai figur seorang ayah yang selalu bijak mendengarkan dan memberi nasihat atas segala keluh kesah dan permasalahannya.

Mr. K memang tahu segala kisah yang dilaluinya. Ia sendiri yang menceritakannya, termasuk saat ia bermasalah dengan Dean di awal perkenalan, saat ia di-bully fans-fans Dean, saat hubungannya dengan Dean membaik dan akhirnya bersepakat untuk saling bergandengan tangan, juga saat ia hubungannya dengan Dean hancur karena rupanya Dean adalah anak dari pengacara yang sudah membuat ayahnya dipenjara.

***************

Tangis mulai mereda, Andalusia beringsut ke sebelah ibu Ameria. Jemarinya ia raih dan ia genggam.

"Ibu ... maafkan aku. Aku sungguh tak tahu jika kebenarannya seperti ini. Aku teramat mencintai Ayah, karenanya aku menutup mata dan selama bertahun-tahun menganggap semua ini hanyalah fitnah," ucap Andalusia.

Ibu Ameria, wanita berdarah Maroko itu tersenyum. Dibelainya kepala Andalusia yang kini menunduk di hadapannya.

Beringsut lagi. Pada sang kakak Andalusia menghadap kini. Tak perlu aksara. Pelukan yang menghambur tiba-tiba sudah cukup jelas menyalurkan ribuan kata permintaan maaf yang ingin ia ucapkan padanya.

Sementara itu, di sudut yang berseberangan, Dean dan ayahnya saling pandang dengan senyum sedikit mengembang. Mereka berdua lega karena kebenaran pada akhirnya terungkap juga, meski bagi Dean, tetap ada satu ganjalan.

Terungkapnya kebenaran tak lantas menjamin Andalusia akan kembali ke pelukannya, kan?

"Pengacara Kim ... maafkan saya. Saya ...."

Ah kelu. Andalusia tak bisa melanjutkan kalimatnya. Ia kembali terbawa suasana. Kalimat-kalimat yang sedari tadi ada di benaknya hanya berakhir di tenggorokan saja, berganti menjadi bulir bening yang kembali membasahi mata indahnya.

"Mi niña Andalusia. Al mal tiempo, buena cara," ucap Pengacara Kim, ayah Dean.

Tangis Andalusia terhenti seketika.

Kalimat Pengacara Kim tadi ... Andalusia merasa sangat mengenalnya.

Ditatapnya Pengacata Kim dengan tatapan penuh tanda tanya. Sementara Dean, Alcala, dan ibu Ameria yang tak paham, hanya saling sekilas bertatap, lalu menggelengkan kepala.

"Hola, mi niña Andalusia. Al mal tiempo, buena cara. Wajah bahagia di tengah buruknya cuaca. Aku bangga padamu. Kau sudah begitu baik melakukannya. Teruslah seperti itu, mi niña," ucap Pengacara Kim, ayah Dean sembari menganggukkan kepala, seolah mengiyakan apa yang tengah berkelebat di benak Andalusia.

"Mr ... K?" ucap Andalusia. Mulutnya menganga. Pengacara Kim kembali menganggukkan kepala.

"Hola, mi niña," balasnya.

Maka tumpahlah benar-benar airmata Andalusia demi mendapati Mr. K, yang selama bertahun-tahun ada untuknya, yang menjadi kaajhuab alias cahaya pertama yang melelehkan kabut pagi untuknya, saat ini berada di hadapannya.

Hatinya bertabuh genderang. Bagaimana tidak. Pengacara yang begitu ia benci, rupanya adalah sosok di balik inisial Mr. K yang hadir bak figur ayah yang ia rindui. Terlebih, Mr. K rupanya adalah ayah dari lelaki yang ia cintai.

Dean dan Andalusia, garis hidup mereka sebetulnya berhubungan sejak dahulu kala. Hanya saja mereka tak menyadarinya.

Andalusia tak bisa lagi berkata apa-apa.

Lagi. Dean, Alcala, dan ibu Ameria saling pandang, tak paham apa yang Pengacara Kim dan Andalusia bicarakan.

Barulah beberapa menit kemudian mereka paham saat bibir Andalusia mulai bergerak menjelaskan.

"Ah, aku ingat. Setelah Ayah meninggal, Pengacara Kim sering sekali bertanya padaku tentangmu. Detil sekali, termasuk kebiasaan dan kesukanmu. Kukira ia hanya ingin tahu saja. Rupanya ini maksudnya," jelas Alcala. Pengacara Kim tersenyum mendengarnya.

Diambilnya secarik kertas. Ia lalu menarikan jemari, menulis beberapa kalimat di sana. Setelahnya, disodorkannya kertas itu pada Andalusia.

"Kau ingat kan dengan tulisan tangan ini?" tanya Pengacara Kim. Andalusia yang masih berselimut haru, mengangguk sembari tersedu.

Bagaimana ia bisa lupa pada goresan indah di surat-surat Mr. K yang selama ini menemaninya?

Dean pun sama. Airmatanya menderas bak air bah. Ia tahu ayahnya adalah sosok yang luar biasa, tapi ia sungguh tak mengira jika sang ayah sampai rela melibatkan diri sejauh ini demi mengembalikan senyum Andalusia, lantaran ialah pengacara yang menjebloskan ayah Andalusia ke penjara.

"Pa ...," panggil Dean seraya meraih pundak sang ayah.

Ayah Dean menoleh dan langsung memeluk putra semata wayangnya itu. Keharuan sungguh menyesaki kalbu.

"I am so proud of you, Pa. Jutaan kata pun tak akan mampu menggambarkan betapa aku bangga pada Papa," ucap Dean lagi.

"Mi niña, kemarilah. Duduklah di sini," ucap Pengacara Kim agar Andalusia duduk di sebelahnya.

Andalusia yang masih terus berselimut haru beringsut dan segera memosisikan diri. Kini, Pengacara Kim berada di antara Dean dan Andalusia.

"Mi niña, aku sudah tua. Kurasa, aku akan pensiun sebagai Mr. K."

Pengacara Kim membuka percakapan. Ditatapnya Dean dan Andalusia bergantian.

"Tapi kau tak perlu khawatir, sebab akan ada Mr. D yang meneruskan pekerjaan Mr. K untukmu," ucapnya lagi, sembari menatap Dean.

Dean memejamkan mata. Ia mengerti maksud ayahnya. Sementara Andalusia, ia kembali tersedu bersimbah airmata.

"Anakku, Dean. Kutitipkan Andalusia padamu. Jadilah cahaya yang melelehkan kabut yang menutupinya. Gandenglah tangannya untuk menjemput bahagia. Ia sudah terlalu lama menderita."

Dean dan Andalusia, pandangan mereka bersitatap tak sengaja. Tak ada aksara, namun yang tampak dari sorot mata keduanya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa cinta di hati keduanya masih sama.

Di tengah keharuan, di saat semua larut dalam skenario sang penulis kehidupan, pintu kamar Ameria berderit, lalu terbuka perlahan. Semua kini menoleh. Sosok Ameria tampak berdiri di sana.

"Sudah berapa lama kau di sini, Alcala? Kenapa aku merasa seolah sudah bertahun-tahun lamanya kita tak berjumpa?" ucapnya.

Alcala dan ibu Ameria saling pandang, lalu berdiri dan segera mendekati Ameria. Ibu Ameria segera memeluk putrinya, sementara Alcala seketika berurai airmata.

Ya. Ini pertama kalinya Ameria berbicara sejak 7 tahun lalu ia tak pernah lagi bersuara. Inikah pertanda awal kesembuhan kekasih hatinya?

Airmata Alcala luruh sederas-derasnya.

************************

Weston Park Sheffield, enam bulan kemudian.

Dean dan Andalusia berjalan berdampingan, menikmati nuansa musim gugur yang ditandai dengan daun-daun kekuningan.

Enam bulan berlalu sejak terungkapnya kebenaran itu. Andalusia sudah kembali ke Sheffield dan sudah memulai aktifitasnya sebagai mahasiswa S-3 di The University of Sheffield dengan penelitian berjudul Plays and Performance in the Country House : The Victorian Theatre at Chatsworth, di bawah supervisi Profesor Nathaniel Lawrence.

Tak mudah memang untuk melupakan masa lalu begitu saja, terutama bagi ibu Andalusia. Namun lambat laun, ia bisa menerima, dan merestui Andalusia merajut cinta bersama Dean, kekasih hatinya.

Serupa dengannya, Alcala pun tampaknya mulai memetik buah dari pohon kesabaran yang selama bertahun-tahun dirawatnya. Ameria, sosok yang ia cinta mulai membaik keadaannya. Ia tak lagi terpenjara nestapa. Pun, ia mulai bisa bangkit dari rasa terpuruk yang selama tujuh tahun membelenggunya.

Ah, bukankah memang seperti itu janji-Nya? Tak ada kesabaran yang tak berakhir dengan kebahagiaan, kan?

Dean dan Andalusia terus berjalan, sembari keduanya saling berbicara, bertukar perasaan.

Di sebuah kursi taman yang terletak tepat di sebelah danau kecil yang ada di taman itu, Dean dan Andalusia duduk dengan pandangan salung beradu.

Dean seketika membisu saat Andalusia bertanya,

"Dean ... apa kau benar-benar yakin akan tetap menikahi anak seorang pemerkosa sepertiku?"

********************************

B E R S A M B U N G

Huhu pelik ya jalan hidup Andalusia.
Bagaimana selanjutnya?
Apakah Dean dan Andalusia akhirnya bersatu?
Atau masih ada ujian lain yang membuat jalan keduanya kian berliku?

PART 10 : Tragic Wedding


Untuk Pemesanan Novel Andalusia, silahkan klik tombol dibawah ini :


0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram