PART 2 : Broken Heart



A N D A L U S I A
By Fissilmi Hamida

Part sebelumnya :
Novel Andalusia Part 1



PART 2 : BROKEN HEART

Sheffield, sebuah kota menawan di wilayah Yorkshire selatan, Inggris, yang hanya berjarak sekitar 30 miles dari kota Manchester. Beberapa orang percaya jika nama Sheffield berasal dari nama River Sheaf, sebuah sungai yang mengalir melintasi kota tersebut. Padang hijau Peak District dan pedesaan-pedesaan khas Inggris yang berada di sekitarnya semakin membuat kota ini semakin memancarkan pesona. Tak jarang, berbagai inspirasi terlahir karenanya, seperti yang dialami Dean. Banyak novel yang ia tulis di tempat ini yang kemudian mendunia.

Ya. Dean Edward Beazley. Siapa yang tak kenal namanya?

Penulis kenamaan asal Inggris yang memiliki darah Indonesia dari keluarga almarhumah ibunya. Ia sudah menulis beberapa novel romantis yang tak kalah populer dari Me Before You-nya Jojo Moyes atau penulis kenamaan lainnya. Beberapa sudah difilmkan dan penontonnya selalu mencapai jutaan. Salah satunya novel best-selling, A Farewel to Hazel yang bahkan sudah diterjemahkan ke lebih dari 10 bahasa.

Di sebuah rumah di pedesaan Cromford di Baker's Lane, Derbyshire yang berjarak sekitar 26 miles dari pusat kota Sheffield, Dean tampak menghela napas panjang dari balik jendela yang sengaja ia buka agar ia bisa menikmati padang hijau yang terhampar luas di hadapannya. Dean memang sering menyendiri ke tempat ini kala ia membutuhkan inspirasi. Seperti saat ini.

Sedang untuk sehari-hari, Dean tinggal di sebuah rumah di daerah Bradley Street, yang hanya berjarak sekitar 1.1 mile dari University of Sheffield, tempatnya bekerja sebagai dosen di jurusan English Literature di sana. Dean tinggal di bangunan berlantai dua dengan bata kecokelatan khas bangunan daerah Yorkshire dengan pohon Cherry Blossom besar di depannya yang tiap musim semi berubah menjadi merah muda. Rumah yang cukup biasa bagi seorang penulis yang namanya sudah mendunia. Dean sengaja, sebab ia ingin tetap menjalani kehidupan normal seperti yang lainnya.

Dean, lelaki berusia 35 tahun itu sejenak berdiri, lalu duduk lagi. Jemarinya hampir saja kembali menari di atas keyboard untuk menyelesaikan naskah novel terbarunya, namun ia urung. Ia justru kembali termenung.

"Ah, Aluna. Tahukah kau jika lara yang kau hunjamkan padaku lima tahun lalu masih begitu terasa perihnya?"

Ia bicara sendiri, seolah tengah bicara pada Aluna, sosok yang ia cintai sekaligus ia benci.

Tak banyak yang tahu jika novel A Farewel to Hazel ia tulis berdasarkan kisah nyata hidupnya, sebagai pelarian lara hatinya setelah Aluna, gadis yang teramat dicintainya tak hadir di hari pernikahan mereka lima tahun lalu. Sejak itu, hari-hari Dean memang terasa kelabu. Hatinya terkunci. Tak ada yang pernah bisa memasukinya lagi.

Aluna Melodia Lee. Dean sungguh membencinya, namun entah, bayang Aluna selalu saja muncul di benaknya. Seperti saat ini, membuat Dean tak bisa berkonsentrasi melanjutkan naskah novel yang tinggal beberapa bab lagi.

"Pergilah, Aluna! Aku tidak menginginkanmu, termasuk di pikiranku. Pergi!"

Gusar, Dean memukul keras meja di hadapannya. Terlalu keras hingga cangkir yang sudah tak ada isinya itu terjatuh dan pecah. Hancur, seperti hatinya yang lebur. Sayang bayang Aluna tak pergi. Justru semakin tervisualisasi dan tampak jelas sekali.

"Enough Aluna, enough!"

Dean memukul kepalanya, berharap bayang Aluna rontok karenanya.

Dua tahun lamanya Dean berusaha mencari keberadaan Aluna, namun nihil, meski pihak kepolisian turun tangan untuk membantunya. Keluarga Aluna pun sama. Rupanya memang mereka benar-benar tak mengetahui keberadaan Aluna. Hingga berusaha melupakan Aluna adalah satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk mengobati lara hatinya. Rupanya tak semudah itu, meski lima tahun telah berlalu.

Bahkan, sejak saat itu Dean tidak mau lagi berkunjung ke Bali, pulau indah yang seharusnya menjadi tempatnya melakukan akad nikah dan pesta resepsi, meski beberapa kali ia ke Indonesia, mengunjungi keluarga dari garis almarhumah ibunya yang tinggal di Jakarta. Ya, sedalam itu trauma yang ia alami.

Terlalu cinta, akan membuat kehilangan jadi semakin menyiksa. Iya, kan?

A Farewel to Hazel, novel yang sejatinya ia persembahkan untuk ucapan selamat tinggal pada Aluna. Di novel itu, Dean menggambarkan Aluna sebagai sosok Hazel yang pergi saat hari pernikahannya karena memilih pergi bersama lelaki lain.

Dean memang tak tahu apa penyebab Aluna menghilang begitu saja, namun pikiran bahwa Aluna pergi karena lelaki lain, selalu itu yang menghantui pikirannya.

Lara. Menghunjam nestapa ke seluruh rongga dada. Namun siapa sangka, lara hati yang ia tuangkan dalam tarian kata mampu membuat jutaan mata terpesona, termasuk mata dan bahkan hati seorang gadis bernama Andalusia. Mungkinkah hadirnya mampu mengobati lara hati Dean? Atau justru sebaliknya?

Entahlah.

Dean meraih mantel panjang dan merapikan laptopnya, lalu keluar tanpa membersihkan pecahan cangkir yang berserak di lantai. Senja hampir menjelang, sudah saatnya ia pulang. Biasanya Dean betah menghabiskan waktu di sini hingga tengah malam. Tapi tidak untuk hari ini. Selain karena ia tak bisa berkonsentrasi, juga karena besok akan ada acara orientation week atau minggu orientasi bagi mahasiswa baru University of Sheffield angkatan tahun ini.

Perlahan, Dean mengendarai mobil Ford Focus keluaran negeri Paman Sam berwarna putih berkonsep sporty aerodinamic. Mobil dengan mesin berkapasitas 2.0L ini juga sudah dilengkapi dengan teknologi Ford EcoBoost Engine yang merupakan salah satu teknologi terbaru dari Ford untuk mengoptimalkan efisiensi bahan bakar minyak.

Perjalanannya lancar, sebab tak banyak yang kemudian ia pikirkan, hingga ada sesuatu yang tiba-tiba menarik perhatian.

"Gadis itu ...."

Dean bergumam pelan, lalu kemudian sejenak memejamkan mata dan menggelengkan kepala, berusaha merontokkan sekelebat pikiran yang tiba-tiba mengganggunya.

Ia lalu membelokkan mobilnya dari pertigaan Northfield Street untuk masuk ke Bradley Street. Rumah pertama di pertigaan itu adalah rumahnya. Segera setelah mobilnya terparkir sempurna di halaman rumah, Dean keluar dan kembali mengamati sesuatu yang tadi sempat menarik perhatiannya.

Seorang gadis tampak bersusah payah menarik koper besar sambil menyusuri jalanan Bradley Street yang agak menurun. Sesekali gadis dengan jilbab merah muda dan mantel hitam itu tertawa, menertawakan kekonyolan karena kopernya sempat meluncur begitu saja sehingga ia harus sedikit berlari untuk mengejarnya.

"Wait for me, hey, naughty luggage! Tunggu aku, dasar koper nakal!" seru gadis itu. Dua gadis lain yang berada di belakangnya turut tertawa.

"Tidak, tidak mungkin itu dia." Dean bicara sendiri, sambil kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sementara si gadis berjilbab merah muda, tak sengaja netranya menangkap Dean yang tampak membatu di depan mobilnya.

"Ya Tuhan. Bukankah itu ... bukankah itu ...." Terpekik tertahan, gadis itu hampir menjerit kegirangan.

"Iya, Andalusia. Itu Dean Edward Beazley. Aku sudah bilang, kan, kalau aku punya kejutan," jawab seorang gadis dengan rambut sebahu.

Gadis yang dipanggil Andalusia itu menganga, seolah gerak dunia terhenti seketika.

"Dia benar-benar Dean Edward Beazley, kan? Bukan cuma mirip saja?" tanyanya, seolah tak percaya, dengan bahasa Indonesia yang kaku, sebab meski berdarah Indonesia, Andalusia lahir dan besar di Spanyol.

"Iya, Andalusia. Dia benar-benar Dean Edward Beazley. Rumah yang kita sewa bersama hanya berjarak tujuh rumah dari rumah penulis dan dosen tampan ini. Bukankah menyenangkan sekali?" Gadis yang lain menyenggol lengan Andalusia.

Kian tercekat Andalusia mendengarnya. Konspirasi semesta, tak ternyana ia akan tinggal begitu dekat dengan sosok yang selama ini melompat-lompat di hati dan benaknya.

Andalusia menyewa sebuah rumah dengan empat kamar bersama 3 mahasiswi yang berasal dari Indonesia, yang ia temukan melalui akun facebook miliknya saat ia menulis status bahwa ia akan melanjutkan S-2 di University of Sheffield dan ingin tinggal dengan mahasiswa asal Indonesia. Sengaja, agar Andalusia bisa lebih melatih bahasa Indonesianya. Lahir dan besar di Spanyol membuat Andalusia lebih fasih berbahasa Spanyol dan berbahasa Inggris dari pada bahasa Indonesia.

Sementara Dean, ia masih terus terpaku tanpa kata. Apalagi saat kemudian ia dan Andalusia bersitatap tak sengaja.

Dean dan Andalusia, gedub jantung keduanya bak terhenti seketika. Jika Andalusia merasakannya karena ia seolah tak percaya jika tengah bersitatap dengan lelaki yang teramat dicintainya, Dean merasakannya karena ... secara fisik, Andalusia terlihat mirip Aluna!

"Hey, Andalusia. Ayo jalan. Kakiku beku kedinginan!" Gadis berambut sebahu menyeru, mengagetkan Andalusia yang terpaku hingga ia tersipu malu.

"Aduh, iya, maaf. Jika tak kau ingatkan, aku bisa memandanginya seharian," ucap Andalusia, lalu ketiga gadis itu kembali tertawa.

"Dasar kau ini. Bersabarlah. Saat sudah mulai masuk kuliah nanti, kau bisa memandanginya sepuas hati," sambung di gadis berambut sebahu lagi. Andalusia menanggapinya dengan senyum penuh arti.

"Eh, kau benar-benar menyukainya? Jauh-jauh dari Spanyol ke Inggris hanya untuk bertemu dengannya? Tampan memang. Tapi bukankah dia sudah tua? Sudah 35-an tahun sepertinya usianya," celutuk gadis satunya. Andalusia mencebik, lalu tertawa.

"Ah, biarkan saja. Umurku 23, ia 35. Jarak 12 tahun rasanya tak mengapa. Apalagi, aku memang suka dengan sosok yang lebih tua," jawab Andalusia.

Ketiganya kembali tertawa. Cukup keras, hingga Dean bisa mendengar suara tawa mereka.

Dean lalu membuka pintu rumah dengan suasana hati yang tak terjemahkan, atas apa yang ia lihat barusan. Gadis tadi ... sungguh, Dean tak bisa lupa saat mereka bersitatap meski tak lama. Wajah gadis itu benar-benar mirip Aluna, hanya saja dalam versi yang lebih muda, dan ada jilbab yang membedakannya. Ya, gadis itu memakai jilbab, sedang Aluna tidak, namun, hal itu tak dapat menafikkan kemiripan wajah keduanya.

Dean menghempaskan tubuh ke sofa tanpa melepaskan mantelnya. Ia memejamkan mata, sembari hati merutuki konspirasi semesta yang menimpanya.

"Apa gadis tadi juga memiliki darah Korea? Kenapa ia bisa begitu mirip dengan Aluna muda?" Dean bersenandika.

Meski Dean yakin usia gadis tadi dan usia Aluna cukup jauh jarak usianya, namun wajah gadis tadi justru semakin lekat di benaknya, karena wajah itu mengingatkannya pada Aluna muda, saat ia dan Aluna masih menjadi mahasiswa di University of St. Andrews Skotlandia.

Aluna Melodia Lee. Sesuai namanya, darah seni dan musik mengalir di dalamnya. Dean terpikat pada Aluna saat Aluna berperan sebagai Christine dalam drama musikal Phantom of the Opera yang diadakan oleh klub drama University of St. Andrews Skotlandia.



*Skotlandia, bertahun-tahun silam*

Dean tampak gusar. Ia hanya mondar-mandir di depan gedung The Younger Hall dengan pikiran kalut tak karuan. Pasalnya, ia harus berperan sebagai Phantom, peran utama dalam pertunjukan drama musikal Phantom of the Opera, namun pasangannya dalam drama, Claudia, yang seharusnya berperan menjadi Christine mengalami kecelakaan. Padahal, pentas hanya tinggal beberapa minggu saja.

"Bagaimana ini? Rasanya tidak mungkin mencari pengganti. Tak ada yang bisa sebaik Claudia dalam memainkan peran sebagai Christine," keluh Dean pada salah satu temannya, lelaki bercambang tipis yang akan berperan sebagai Monsieur Firmin.

Lelaki bercambang tipis itu mendesah. Ia juga tampak gundah.

"Benar. Chemistry kalian berdua sangat sempurna saat memainkan peran sebagai Phantom dan Christine. Kemampuan musikalitas kalian juga luar biasa. Aku tak yakin jika kita bisa menemukan pengganti yang sekualitas Claudia," ucapnya.

Keduanya sejenak terdiam, lalu kemudian beriringan masuk kembali ke The Younger Hall.

Terletak di sisi utara North Street di St. Andrews, The Younger Hall dibangun pada tahun sekitar tahun 1923-1929 dengan desain dari arsitek Inggris, Paul Waterhouse sebagai aula wisuda di University of St. Andrews. Konon, aula ini adalah hadiah dari Dr. James dan Nyonya Annie Younger, yang merupakan keluarga pembuat bir terkenal, yang tinggal di dekat Gunung Melville.

Aula ini memiliki 11 ruang untuk latihan, salah satunya ruangan yang sedang digunakan Dean dan teman-temannya untuk latihan pentas drama.

Lunglai, Dean kembali ke ruang latihan. Namun, ia urung saat telinganya samar-samar menangkap alunan merdu seseorang yang menyanyikan sebuah lagu dengan iringan suara piano dari ruang sebelah.

"Kau dengar itu?" tanya Dean pada temannya, lelaki bercambang tipis yang sedari tadi bersamanya.

"Ya Tuhan, bukankah itu lagu Think of Me? Lagu di drama kita?" timpalnya.

Tanpa menunda, Dean segera menuju ke ruangan itu. Pintu yang sedikit terbuka membantunya untuk melihat jelas siapa pemilik suara merdu yang menarik perhatiannya.

Seorang gadis berpakaian serba hitam dengan rambut terikat hingga leher pemiliknya tampak jenjang, tampak menarikan jemarinya di atas tuts piano, sembari kepalanya berlenggak-lenggok, menikmati lagu yang ia nyanyikan sendiri. Indah sekali.

"Ia bahkan lebih baik dari Claudia," bisik Dean. Temannya mengiyakan. Seolah menyanyi dari hati, suara gadis itu menghunjam hingga ke sanubari.

"Think of me, think of me fondly
When we've said goodbye
Remember me, once in a while
Please promise me you'll try
When you find that once again you long
To take your heart back and be free
If you ever find a moment
Spare a thought for me ...."

Dean memejamkan mata, menikmati suara gadis itu yang entah mengapa mampu membuat hatinya menghangat seketika.

Perlahan, dibukanya pintu ruangan itu, lalu ia berjingkat masuk ke sana tanpa membiarkan gadis itu tahu.

"Flowers fade, the fruits of summer fade
They have their season so do we
But please promise me that sometimes
You will think of me ...."

Lirik terakhir teruntai, lagu dan permainan piano gadis itu pun usai.

"Beautiful! Indah sekali!" pekik Dean sembari berdiri mendekat sambil bertepuk tangan, membuat gadis itu terkejut dan gelagapan.

"Sejak ... sejak kapan kau di sini?" tanyanya, sembari menutup pianonya.

"Sejak tadi. Kau yang memanggilku ke sini," jelas Dean. Gadis itu memicingkan mata.

"Aku yang memanggilmu? Apa maksudmu?" tanyanya, tak mengerti. Ia lalu berdiri, meraih mantelnya, memakainya, lalu bersiap untuk pergi.

Dean berusaha menghalau dengan menarik lengan gadis itu.

"Maafkan aku jika aku diam-diam masuk ke sini. Aku Dean. Mahasiswa S-2 di kampus ini, di School of English, jurusan sastra Inggris, spesialisasi di bidang Modern and Contemporary Literature and Culture," ucap Dean, sembari mengulurkan tangan. Gadis itu masih diam. Sepertinya ia tampak sedikit kesal, tak suka ada orang asing menikmati permainannya diam-diam.

"Sungguh, aku minta maaf. Aku tak sengaja mendengar nyanyian dan permainan pianomu, lalu aku ke sini karena suara dan permainanmu indah sekali." Dean menghela napas sekali sebelum melanjutkan kalimatnya kembali.

"Lagi pula ... aku sedang mencari peran pengganti untuk menjadi Christine di pentas drama musikal Phantom of The Opera yang akan diadakan beberapa minggu lagi. Mendengarmu bernyanyi, aku rasa kau cocok untuk peran ini. Apalagi, lagu yang kau nyanyikan tadi adalah lagu Think of Me, lagu dari drama ini, " jelas Dean, berharap gadis itu menerima penjelasan yang ia berikan.

Sang gadis yang sedari tadi terdiam, tiba-tiba saja sejenak menganga, setelah menyadari siapa lelaki yang berada di hadapannya.

"Ya Tuhan, kau ... kau Dean Edward Beazley, kan? Pemeran utama yang akan memerankan tokoh Phantom di drama Phantom of The Opera?" pekik gadis itu dengan mata berbinar, sehingga wajah cantiknya terlihat semakin bersinar.

"Iya. Aku ...."

"Tunggu sebentar!" potong gadis itu. Dean menurut saja, menunggu sang gadis yang tiba-tiba sibuk mencari-cari sesuatu dari tasnya.

"See? Aku bahkan sudah membeli tiket VIP untuk menonton drama ini. Dan sekarang aku bertemu dengan pemeran utamanya? Ya Tuhan, bisakah kita berfoto bersama?" ucap gadis itu. Dean mengangguk sambil tertawa.

"Ah, aku sungguh memalukan. Bagaimana aku sempat tak mengenalimu padahal fotomu ada di pamflet yang terpasang di tiap sudut di kota ini? Maafkan aku," ucap gadis itu, setelah mereka berfoto bersama.

"Siapa namamu?" tanya Dean kemudian, setelah kekakuan di antara keduanya hilang.

"Aku Aluna. Aku juga mahasiswi S-2 di School of English, sastra Inggris juga, tapi spesialisasiku di bidang Post Colonial and World Literatures," jelasnya.

"Apa kau berasal dari Korea?" tanya Dean. Ia memang penasaran.

"Lebih tepatnya separuh Korea, separuh Indonesia. Ayahku dari Korea, tapi ibuku asli Indonesia," jelasnya. Dean berbunar mendengarnya, karena ia pun sama.

"Benarkah? Aku juga punya darah Indonesia. Ibuku separuh Indonesia, separuh Austria. Keluarga ibuku tinggal di Jakarta," jelas Dean.

Sejenak, keduanya terdiam.

"Umm ... Dean, saat kau bilang tadi kau sedang pencari peran pengganti, memang apa yang sebetulnya terjadi?" tanya Aluna kemudian. Dean tampak menghela napas panjang.

"Claudia, yang seharusnya menjadi Christine mengalami kecelakaan. Jadi aku harus segera mencari pengganti atau ... ah, entah apa yang akan terjadi jika aku tak bisa menemukan pengganti," jelas Dean.

"Apa kau serius dengan tawaranmu tadi?" tanya Aluna. Dean memicingkan mata.

"Iya, tawaran agar aku menjadi pengganti Claudia untuk menjadi Christine." Aluna memperjelas maksud kalimatnya.

"Aku sangat menyukai drama, Phantom of the Opera salah satunya. Aku hafal semua lagunya, aku juga hafal semua dialognya. Bahkan gerakan baletnya pun aku bisa. Kau tahu, aku adalah ratu balet saat SMA. Aku rasa aku masih cukup bisa melakukannya. Kau mau mengetesku?" ucap Aluna. Dean terkesiap mendengarnya.

"Mengetesmu?" tanya Dean.

Aluna tampak melepas kembali mantelnya dan menyampirkannya ke sebuah kursi di sebelahnya.

"Iya. Ayo kita mainkan salah satu adegan di drama itu," tantang Aluna yang tampak sudah bersiap. Dean yang kian terkesiap pun seketika ikut bersiap.

"Adegan saat Christine membuka topeng Phantom. Kau bisa melakukannya?" tanya Dean. Aluna mengangguk pasti.

"Tentu saja. Try me," jawab Aluna dengan kepercayaan diri sempurna.

Dean mengeluarkan topeng separuh wajah yang memang dipakai untuk tokoh Phantom dari ransel hitamnya. Dipakainya topeng itu dan ia berjalan mendekati Aluna.

Sementara Aluna, ia mulai bersuara. Sebagai Christine tentunya, berbicara dalam kalimat bernada.

"I remember. There was mist .
Swirling mist upon a vast, glassy lake ...."

"There were candles all around.
And on the lake, there was a boat.
And in the boat, there was a man ...."

Aluna mendekat, mencoba meraih topeng yang menutupi wajah Dean dari belakang. Dean yang menyadari, langsung berbalik arah dan mencoba menangkap Aluna. Begitu, berulang kali.

Aluna kembali bersuara.

"Who was that shape in the shadows?
Whose is the face in the mask?"

Berhasil!

Aluna berhasil meraih dan melepas topeng yang melekat di wajah Dean. Dean murka. Mengelilingi Aluna dengan tatapan penuh amarah yang teramat kentara.

Dean lalu bersuara.

"Damn you! You little prying Pandora!
You little demon - is this what you wanted to see?"

"Curse you! You little lying Dalilah!
You little viper! Now you can not even be free!"

"Damn you ...."
"Curse you ...."

Dean baru akan melanjutkan kalimatnya saat tiba-tiba terdengar tepuk tangan membahana. Tiba-tiba saja sudah banyak orang di sana. Si lelaki bercambang tipis pelakunya. Rupanya ia mengajak semua yang tengah berlatih drama untuk mengintip apa yang Dean dan Aluna lakukan di ruang latihan ini.

"Oh, God! I've found our Christine! Hi everyone, I've found Christine! Aku sudah menemukan Christine. Dia Aluna, dia akan menggantikan Claudia!" Dean bersorak penuh suka cita, disambut dengan pekik bahagia yang lainnya.

"Tapi ... aku berwajah Asia. Apa tidak apa-apa?" tanya Aluna. Beberapa orang tertawa mendengarnya.

"Tenang saja. Orang akan melihat kemampuanmu, bukan wajahmu. Mendengar suaramu, aku yakin penonton akan terpukau padamu. Lagi pula, kau sangat cantik. Iya kan, Dean?" kata si lelaki bercambang tipis sambil menyenggol lengan Dean.

"Ya, kau sangat cantik," kata Dean sambil menatap Aluna, hingga wajah Aluna memerah karenanya.

Ya, begitulah awalnya, hingga nama Dean dan Aluna mendadak terkenal di seantero kota St. Andrews Skotlandia karena mereka berdua berhasil memerankan Phantom dan Christine dengan sempurna. Setelahnya, keduanya pun sering dipasangkan seperti di pentas drama musikal Sweeney Todd di mana Dean menjadi Anthony dan Aluna menjadi Johanna, juga di drama lainnya.

Dean dan Aluna, keduanya kian dekat, seiring hati mereka yang rupanya saling tertambat. Chemistry yang terbangun di panggung drama berlanjut hingga ke dunia nyata.

Indah, sampai kemudian Aluna menghilang dan tak hadir di hari pernikahannya sendiri, membiarkan Dean diterpa perih tak terperi. Sejak lima tahun lalu, hingga kini.

Dean menggeliat. Tubuhnya terasa penat. Rupanya ia tertidur di shofa, dengan mantel dan sepatu yang masih melekat padanya. Ia baru akan melirik jam tangan saat tiba-tiba suara azan terdengar. Bukan, bukan azan secara langsung, namun azan yang ia set di ponselnya acapkali waktu salat telah tiba.

Ya, Dean adalah seorang muslim. Ayahnya merupakan seorang mualaf asal London yang menikah dengan almarhumah ibu Dean yang berasal dari Jakarta. Ibu Dean sendiri tak murni berdarah Indonesia. Ia merupakan muslimah keturunan Indonesia-Austria. Meski begitu, Dean menghabiskan masa kecilnya hingga SMA di Jakarta sebelum akhirnya pindah ke Inggris dan menetap sebagai warna negara sana.

Dean kembali memejamkan mata, membiarkan suara azan itu mengalir di tiap arterinya. Menenangkan, bak embun kesejukan yang menyirami hatinya yang gersang.

Bayang Aluna yang tak mau enyah juga, lalu gadis yang entah siapa ia yang berwajah mirip Aluna, benar-benar membuat Dean semakin gundah gulana.

Maka hingga pagi menjelma, Dean tak lagi bisa memejamkan mata. Wajah gadis yang mirip Aluna itu terus menerus tervisualisasi secara nyata.

"Siapakah dirimu, wahai gadis muda? Ah, semoga saja kau hanya gadis yang lewat tak sengaja, bukan mahasiswa baru, apalagi mahasiswa di jurusanku yang mengharuskanku untuk terus bertemu denganmu."

Dean kembali bersenandika, sembari meraih piring berisi baked beans dan juga beberapa potong hash browns yang baru saja ia hangatkan untuk sarapan, dengan benak penuh pengharapan.

Sayang, yang ia harapkan tak sesuai kenyataan. Sebab saat ia membuka pintu gerbang rumahnya, gadis muda mirip Aluna itu kembali muncul dengan wajah ceria, berjalan lewat depan rumahnya dan bahkan menyapanya.

"Good morning," ucapnya, dengan senyum manis paripurna.

Dean yang bungung harus bagaimana, akhirnya hanya bisa nemalingkan wajahnya, lalu berlalu tanpa kata, hingga gadis muda itu tampak kecewa.

"Apa dia memang tak ramah seperti itu?" tanya Andalusia. Teman yang ditanya menggelengkan kepala.

"Tidak. Biasanya dia ramah. Aku beberapa kali menyapanya dan dia selalu ramah membalas. Jangan bersedih. Mungkin dia hanya sedang tergesa-gesa," hiburnya. Teman Andalusia ini merupakan mahahasiswa S-3, si gadis rambut sebahu yang merupakan dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya.

Andalusia hanya berusaha tersenyum mendengarnya, menguatkan hati sembari memeluk lima novel karya Dean yang sengaja ia bawa untuk nanti Dean tandatangani.

"Hey, Andalusia, itu dia. Mendekatlah. Dia tampak baik-baik saja. Atau mau aku coba dulu untuk mengecek mood-nya?" tawar teman Andalusia saat keduanya tiba di kampus dan melihat Dean berdiri mematung di depan gedung The Diamond.

Andalusia tampak berpikir sejenak.

"Idemu boleh juga. Ini, bawalah satu novelnya dan mintalah tanda tangannya," kata Andalusia.

Dari kejauhan, Andalusia mengamati, dan betapa bahagianya saat ia melihat Dean menyambut temannya dengan senang hati.

"See, Andalusia. Kudapatkan tandatangannya. Bahkan aku juga berfoto dengannya. Itu berarti, mood-nya baik-baik saja," ucap teman Andalusia setelah berhasil menjalankan misinya.

"Giliranmu," sambungnya lagi, sambil perlahan mendorong Andalusia.

"Good luck, Andalusia. Kejar lelaki tua tercintamu itu," godanya, hingga Andalusia mencebik karenanya.

"Excuse me, Dean. Saya Andalusia, mahasiswa baru jurusan MA English Literature. Saya akan berada di kelas Anda di mata kuliah Tales of the City. Saya penggemar karya-karya Anda. Ada beberapa novel Anda yang saya bawa. Bolehkah saya minta tanda tangan Anda?" ucap Andalusia perlahan, sembari menata degub jantungnya yang kian tak karuan.

Sementara Dean, ia hanya diam sambil menyeruput kopi yang sedari tadi ia pegang, tanpa sedikit pun melirik Andalusia yang menunggunya dengan penuh harapan.

Tak ada jawaban, Dean lalu berlalu tanpa sepatah kata pun terucapkan. Andalusia yang malang. Kini matanya mulai berlinang.

"Ada apa dengannya? Kenapa dia ramah padamu tapi tidak padaku? Apa salahku?" Andalusia terisak. Hatinya sungguh sesak.

"Bersabarlah, Andalusia. Mungkin dia ada acara atau alasan lainnya. Waktumu masih banyak. Minggu depan kau mulai ada kelas dengannya, kan? Kau bisa lebih leluasa berbicara padanya," saran sang teman. Andalusia hanya bisa menanggapi dengan sesenggukan.

Sayang seminggu kemudian, bahkan hingga hampir sebulan perkuliahan, Andalusia kembali dilanda kekecewaan, sebab Dean tetap menanggapinya dengan sikap dingin yang sungguh tak mengenakkan. Bahkan, saat Andalusia benar-benar tidak paham atas apa yang Dean jelaskan di kelas dan ingin meminta tutorial privat, Dean tak mengacuhkannya. Sedangkan pada mahasiswa lain, Dean menerima dengan senyum suka cita. Pun di kelas, Andalusia merasa Dean tak pernah menganggapnya ada. Berapa kali pun Andalusia mengangkat tangan untuk berdikusi, Dean selalu melewatinya, lagi dan lagi.

Andalusia terluka. Hatinya hancur seketika. Sang lelaki impian, rupanya sikapnya tak seindah rangkaian aksara yang ia tuliskan.

Di sebuah kursi panjang di Weston Park, sebuah taman dengan danau indah yang berada tepat di sebelah gedung perpustakaan, juga gedung Geografi dan Gedung Firth Court University of Sheffield, Andalusia menumpahkan segala rasa. Derasnya airmata menjadi bukti bahwa ia teramat kecewa.

Dikeluarkannya novel A Farewel to Hazel karya Dean dari tasnya, lalu dirobeknya novel itu dan dibantingnya, seolah ia tengah melampiaskan kekesalannya pada Dean, lelaki yang membuatnya teramat kecewa.

Andalusia baru saja akan menyeka airmata, saat tiba-tiba seorang lelaki dengan setelan jas warna cokelat tua membungkuk, memunguti serpihan novel A Farewel to Hazel yang berserakan di rerumputan, lalu memberikannya kembali pada Andalusia.

Andalusia mendongakkan kepala. Ia tak bisa berkata apa-apa demi mengetahui siapa sosok yang kini berada di hadapannya.

B E R S A M B U N G

Bagaimana selanjutnya? Akankah Dean tetap pada kebekuannya?
Siapakah laki-laki dengan setelan jas cokelat tua itu? Apa itu Dean?
Lalu, ke mana kira-kira Aluna?
Kalau di outline sih misteri hilangnya Aluna akan dibahas di :

PART 3  : A PAINFUL TRUTH


0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram