PART 10 : Tragic Wedding

part 10 Tragic Wedding Novel Andalusia


A N D A L U S I A
By Fissilmi Hamida

Part sebelumnya :

Novel Andalusia Part 1
Novel Andalusia Part 2
Novel Andalusia Part 3
Novel Andalusia Part 4
Novel Andalusia Part 5
Novel Andalusia Part 6
Novel Andalusia Part 7
Novel Andalusia Part 8
Novel Andalusia Part 9


PART 10 : TRAGIC WEDDING

"Dean ... apa kau benar-benar yakin akan tetap menikahi anak seorang pemerkosa sepertiku?"

Angin berembus sedikit kencang, menarikan air danau hingga membentuk riak kecil yang bergerak perlahan.

Iba, Dean menatap sosok yang tengah duduk di sebelahnya.

Sejak kebenaran terungkap, Andalusia memang jadi rendah diri, seolah kehilangan kepercayaan diri.

Dean tahu ini memang tak mudah bagi Andalusia. Mendapati fakta bahwa dirinya adalah anak seorang pemerkosa? Ah, tentu berat sekali rasanya. Ayah yang di hadapannya menjelma bak pahlawan, ternyata di belakang melakukan hal yang sungguh tak termaafkan.

Karenanya Andalusia terus menerus bertanya akan keyakinan Dean untuk menikahinya.

"Kenapa aku harus tak yakin?"

Dean balik bertanya sembari melipat kedua tangannya. Sementara tubuhnya, ia bungkukkan sedikit agar ia bisa leluasa menatap Andalusia yang tengah menundukkan kepala.

"Kau ... kau tahu jawabannya." Lirih Andalusia bersuara, seraya terus berusaha menahan perih di dadanya.

Aib.

Ya, aib ini dilakukan oleh sang ayah, tapi bagaimana pun, aib ini melekat juga padanya. Mungkin selamanya. Jika Dean menikahinya, tentu saja Dean akan ikut terkena getahnya.

Bagaimana jika ... fans-fans Dean tahu jika ia adalah anak seorang pemerkosa?

Bagaimana jika fans-fans Dean tak terima dan kembali membully-nya baik di dunia nyata maupun di dunia maya?

Bulir bening bercucuran tiba-tiba. Andalusia benar-benar tak bisa menghalaunya.

"Andalusia, hey ... kenapa kau menangis?" Dean kelabakan mendapati wajah kekasih hatinya yang seketika gerimis.

"Apa aku salah bicara?" tanyanya. Andalusia menggelengkan kepala.

"Lalu kenapa?" Dean masih tak mengerti apa yang tengah menggelayuti hati Andalusia.

"Aku ... entahlah. Aku tak tahu apa aku betul-betul siap menikah denganmu," jawab Andalusia, setelah sejenak keheningan tercipta.

Dean memicingkan mata. Gerak dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan jika ia meminta penjelasan lebih dari Andalusia.

Setelah semua lika-liku cinta yang mereka lalui, lalu sekarang Andalusia berkata seperti ini?

Yang benar saja!

Dean menghela napas untuk menenangkan gejolak hatinya. Ia pernah merasakan sakitnya kehilangan Aluna. Ia juga pernah merasakan perih saat ia hampir kehilangan Andalusia. Ia benar-benar tak siap untuk kembali mengalaminya.

"Apa ... apa nanti kata fans-fansmu jika mereka tahu kau akan menikahi anak seorang pemerkosa sepertiku?" Andalusia kian tersedu. Hatinya bak tersayat sembilu.

Dean sejenak menengadahkan kepala. Ia tak mengira jika keberadaan fansnya mengganggu pikiran Andalusia. Tapi hey ...!

Dean tertegun. Ia ingat bagaimana dulu fans-fans fanatisnya secara membabi buta menyerang Andalusia. Bahkan ada yang sengaja melakukan percobaan pembunuhan dengan cara mendorongnya.

Kini mata Dean sedikit berembun.

Saat-saat berat itu, Andalusia benar-benar melaluinya sendirian, sebab ia justru mengurung diri, egois demi dirinya sendiri, tak peduli bahwa Andalusia sampai begitu depresi.

Tapi di sinilah Andalusia kini. Jalan untuk bersatu dengannya tinggal selangkah lagi. Satu kalimat terpatri. Ia tak akan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kali.

"Trust me, Andalusia. Semua akan baik-baik saja. Nyatanya hingga kini, mereka justru mendukung hubungan kita. Tidakkah kau memperhatikannya?"

Dean yang sudah berhasil menguasai diri, mencoba untuk menenangkan sang kekasih hati. Ia tak akan membiarkannya menjauh lagi. Apalagi, kehadiran Andalusia memang menjadi obat rasa sakitnya paska Aluna meninggalkannya.

Andalusia beringsut, sembari menyeka airmata di wajahnya yang tampak kusut.

"Itu karena kebenaran soal ayahku belum tercium media," jawabnya, lirih. Seirama dengan perasaannya yang kian memerih.

Sang bayu kembali menarikan gerak syahdu. Membelai wajah Dean dan Andalusia yang sejenak membisu.

"Andalusia, tatap aku," pinta Dean kemudian.

Andalusia yang masih tenggelam dalam tangisan, sedikit menggeser badan. Kini keduanya berhadapan.

Perlahan, Andalusia mengangkat wajah, memberanikan diri untuk menatap Dean.

"Apa kau mencintaiku?" Dean menatap Andalusia lekat. Yang ditatap hanya bisa diam, menata rasa hati yang kian melompat-lompat.

Wajah rupawan, dengan rambut kecokelatan dan sepasang mata biru menawan. Bagaimana Andalusia bisa berkata tidak pada keindahan yang tengah terpampang nyata di hadapan?

Tidak. Tapi bukan itu alasan Andalusia mencintai Dean. Untaian kata indah dalam karya-karyanyalah yang menjadi jembatan, awal bertunasnya cinta yang begitu mendalam.

"Tentu saja aku ... mencintaimu," jawabnya. Perlahan, namun jelas, tak ada bias keraguan.

Dean tersenyum.

"Jika kau mencintaiku, kenapa kau harus meragu?" tanyanya lagi, tanpa mengalihkan padangan dari sang kekasih hati.

"Aku ... tidak meragu. Aku ... aku hanya tidak siap untuk menghadapi para penggemarmu. Bagaimana jika mereka tak menyukaiku?" jelas Andalusia. Sorot matanya menunjukkan jika hatinya masih kelabu.

Dean kembali tersenyum, berharap senyuman itu mampu memberi kekuatan pada Andalusia yang tengah didera kegelisahan beruntun.

"Mereka boleh tak menyukaimu. Tapi jika aku menyukaimu, apa masalahnya?" tanya Dean.

Sesekali ia mengerling manja. Sengaja, untuk mengajak Andalusia bercanda. Sayang, triknya hanya setara satu lemparan kerikil kecil. Tak berhasil.

Dean menghela napas beberapa kali. Entah bagaimama ia harus meyakinkan kekasihnya ini.

"Andalusia, my dear. Dengarkan aku. Setelah semua yang kita lalui, kau ingin menyerah semudah ini?" tanya Dean. Andalusia menunduk perlahan tanpa sedikit pun memberikan jawaban.

Tentu saja ia tak ingin menyerah. Hanya saja ....

"Aku tahu kau trauma dengan yang terjadi saat itu, saat penggemar fanatisku beramai-ramai menyerangmu. Ditambah, alih-alih menolongmu, aku justru mengabaikanmu."

Dean kembali menghela napas. Matanya sedikit memanas.

"Percayalah padaku, Andalusia. Aku tak akan mengulangi kesalahan itu. Andai pun media kemudian tahu soal kasus ayahmu, andai pun para penggemarku kembali menyerangmu, aku sendiri yang akan menghadapi mereka untukmu," jelas Dean. Mendengarnya, airmata Andalusia kembali berjatuhan. Airmata keharuan.

"Aku akan selalu ada untuk melindungimu, Andalusia. Calon istriku," ucap Dean lagi.

Kini tangis Andalusia terhenti. Meski bukan yang pertama kali, namun selalu saja asa kesejukan mengaliri hati saat Dean menyebutnya sebagai calon istri.

Beberapa helai daun maple berjatuhan, bersamaan dengan Dean yang tiba-tiba berdiri dan merogoh sesuatu yang kini ia genggam di tangan kanan.

Tepat saat satu helai daun maple jatuh dan menimpa kepala Andalusia, Dean berlutut, sembari mempersembahkan pada Andalusia sesuatu yang tadi digenggamnya; sebuah cincin bertakhta permata dengan desain tak biasa.

Beberapa pasang mata kini memperhatikan keduanya. Beberapa orang bahkan mendekat, seolah tahu Dean akan melakukan apa.

Sementara itu, Andalusia kian tak bisa berkata demi melihat Dean berlutut di hadapannya.

"Godness! Is that Dean Edward Beazley? The author of Farewel to Hazel novel?" pekik seseorang yang langsung menarik sosok di sebelahnya untuk mendekat ke arah di mana Dean dan Andalusia berada.

"Mr. Beazley is kneeling down! Dia akan melamar kekasihnya!" pekik seseorang lagi, mengundang orang-orang yang berada di taman Weston Park untuk mendekat.

Ya. Siapa tak kenal Dean Edward Beazley?

Popularitasnya membuat beberapa orang langsung mengeluarkan ponsel untuk merekam apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Andalusia, aku tahu aku pernah melamarmu. Tapi cincin yang kuberikan saat itu, kau sudah membuangnya saat aku khilaf dan menamparmu. Kau ingat kejadian di hotel Antonina Monasterio Martinez Madrid saat itu, kan?" tanya Dean.

Andalusia mengangguk perlahan. Bulir bening melesak ingin keluar.

"Ini cincin milik ibuku. Cincin ini hanya ada satu di dunia. Papa memesan secara khusus dan diberikan pada ibuku saat melamarnya."

Berjatuhan. Bulir bening Andalusia luruh tak tertahankan.

"Saat situasi kita menjadi begitu sulit dan aku hampir menyerah, Papa memberiku cincin ini dan memintaku untuk memberikannya padamu. Untuk mempertahankanmu."

Beberapa pasang mata saling pandang. Meski tak mengerti apa yang Dean ucapkan, mereka tahu jika akan ada sebuah adegan manis yang sebentar lagi akan dipertontonkan.

"Jadi, La Alhamra Andalusia. Will you marry me and spend the rest of your life with me?"

Dean bergeming pada posisinya. Ibu jari dan telunjuk dari kedua tangannya memegang cincin di hadapan Andalusia.

Tak ada jawaban, tak ada pelukan, tak ada adegan cincin itu disematkan di jari Andalusia oleh Dean. Tapi satu anggukan Andalusia sudah cukup memperjelas semuanya.

Dean dan Andalusia, keduanya bergeming, bersitatap dengan bulir bening menganak sungai di wajah mereka. Selama beberapa saat, mereka terus begitu, membiarkan orang-orang di sana mengabadikan momen manis itu.

Sementara beberapa meter di arah selatan taman, Nathaniel -yang memang sedari tadi juga menghabiskan waktu di taman itu - tampak menunduk di bawah sebuah pohon maple. Perih seketika mengaliri seluruh badan. Tak sanggup rasanya melihat scene manis yang Dean dan Andalusia tunjukkan.

Ya. Ia baru sadar jika nama Andalusia telah tertanam di hatinya dengan begitu dalam.

"Dean, maafkan aku. Ternyata aku mencintai Andalusia, calon istrimu," lirihnya.

*****************

Velocity Village, sebuah hunian yang terletak di Solly Street, Sheffield. Tempat tinggal Nathaniel.

Di atas peraduan, Nathaniel tampak tengah bergumul dengan kekasihnya, Helena, tanpa sehelai benang pun menutupi badan. Peluhnya satu persatu berjatuhan.

Tangga demi tangga cinta mereka lalui bersama, hingga hampir sampailah keduanya di puncak cinta.

Sayang saat biduk itu hampir menepi, tarian cinta Nathaniel sejenak terhenti. Ia menggeleng-gelengkan kepala, sejenak memejamkan mata, lalu kembali melakukan aktifitasnya untuk membawa Helena ke puncak cinta.

Jelas. Ada yang tengah mengganggu pikirannya.

"Hey, everything okay?" tanya Helena, menangkap ada yang tidak beres di raut wajah sang profesor muda.

Nathaniel diam saja. Ia tetap melakukan aktifitasnya sambil sesekali mendongakkan kepala. Tubuh kekarnya memang tengah bersatu dengan tubuh indah Helena, namun pikirannya jauh berkelana.

Andalusia.
Nama itu benar-benar memenuhi kepalanya.

"Stop, Nathaniel, stop!"

Helena mendorong paksa tubuh Nathaniel yang masih menggerakkan tarian cinta hingga tarian itu terhenti seketika.

Nathaniel lalu mematung di ujung ranjang. Napasnya berkejaran tak beraturan.

Sementara Helena, ia meraih selimut untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Sejurus kemudian, ia meringkuk dengan tangis tertahan.

"Maafkan aku, Helena. Aku ...."

"It's been million times, Nat. Sudah terlalu sering kau begini. Tubuhmu menyatu dengan tubuhku, tapi entah pada siapa anganmu tertuju." Helena terisak. Melihatnya, Nathaniel kian sesak.

"Helena ...."

"Tidakkah kau tahu jika itu menyakitiku, Nat?" tangis Helena pecah. Nathaniel semakin didera rasa bersalah.

Ia lalu beringsut segera, merengkuh Helena yang tengah terluka meski ia terus berusaha meronta.

"Maafkan aku, Helena. Maafkan aku."

Hanya itu yang mampu Nathaniel ucapkan. Berkali-kali, sampai Helena tak meronta lagi.

Tak ada suara, kecuali isakan Helena yang masih terdengar cukup kentara. Sesekali dipukulinya dada bidang Nathaniel, untuk memperjelas bahwa ia begitu terluka.

"Pukullah aku, Helena. Pukullah aku sepuasmu. Lampiaskan seluruh rasa kecewamu. Aku memang bersalah padamu," ucap Nathaniel, sembari mengeratkan rengkuhannya pada tubuh Helena.

Dikecupnya kepala Helena yang masih terbenam di dadanya, bersamaan dengan airmata yang menyeruak begitu saja.

Ya.
Nathaniel Lawrence, sang profesor muda itu menangis. Tak ada yang paham jika hatinya tengah teriris.

Ah, bagaimana pun, sekuat-kuatnya lelaki, mereka juga hanya manusia biasa yang punya rasa, kan?

Ini tak hanya tentang Andalusia, atau pun rasa bersalahnya pada Helena. Ada hal lebih besar yang tengah Nathaniel rasa. Sesuatu bernama ... kehampaan. Kekosongan.

"Is it Andalusia whom you are thinking about while making love with me?" tanya Helena, setelah ia bisa menguasai diri dan tak terisak lagi.

Sejenak Nathaniel memejamkan mata. Inginnya menjawab iya, tapi lidahnya kelu seketika. Terkunci oleh gejolak membingungkan dalam dada.

Helena mendengkus.

Sedikit meronta, ia melepaskan diri dari rengkuhan Nathaniel. Ia lalu beranjak, meraih blouse biru tua yang teronggok di lantai.

Sembari mengenakan blouse itu untuk menutupi tubuhnya, ia mengulang pertanyaannya.

"Jawab, Nat. Apa kau memikirkan Andalusia saat tadi kita bercinta?"

Dari atas ranjang, Nathaniel membungkukkan badan untuk meraih kausnya yang juga teronggok di lantai.

"Maafkan aku, Helena."

Hanya itu yang mampu terucap dari bibirnya. Kini ia juga beringsut, meraih celana berbahan jeans dan memakainya.

Mendesah perlahan, Helena berjalan menuju jendela kamar. Matanya nanar menatap langit di luar sana. Kelabu, setara dengan hatinya yang pilu.

"Do you love her?" lirihnya, namun Nathaniel bisa jelas mendengarnya.

Nathaniel yang sempat sejenak kembali duduk di tepi ranjang, berdiri dan beranjak mendekati jendela. Dari belakang, ia melingkarkan tangan ke pinggang ramping Helena, lalu menyandarkan dagu di bahunya. Helena tak mengacuhkannya.

"Do you love her, Nat?" Dengan sedikit mendongakkan kepala, Helena mengulang pertanyaannya.

"I am sorry, Helena," jawab Nathaniel yang tetap bergeming pada posisinya.

Airmata Helena kembali luruh. Meski begitu, ia membiarkan Nathaniel tetap memeluk dirinya yang tengah rapuh. Bahkan, keduanya bergeming pada posisi itu untuk waktu yang cukup lama, meski tak sedikit pun ada suara.

Helena mendesah perlahan. Berkali-kali, mencoba menguatkan diri.

Nathaniel memang tak berkata iya sebagai jawaban atas pertanyaannya, namun, Helena punya perasaan yang begitu peka. Ia sungguh mengerti. Nathaniel terus berkata I am sorry sebagai penegasan bahwa memang ada sosok lain yang tengah menggesernya dari singgasana hati yang selama ini ia tempati.

Andalusia. Ya. Andalusia.

Helena kembali menghela napas perlahan. Bayang Andalusia yang mendadak menjelma, membuatnya selama beberapa saat harus menutup mata.

"Aku akan kembali ke Manchester," ucap Helena.

Nathaniel yang masih terus tetap pada posisinya, semakin mengeratkan rengkuhannya.

"Lepaskan aku, Nat. Kau sudah berpindah ke lain hati. Tak ada gunanya lagi aku di sini."

Helena sedikit meronta. Namun rontaannya tak berarti apa-apa dibanding rengkuhan Nathaniel yang begitu kuat melingkari tubuhnya. Bahkan kemudian, Nathaniel membalikkan badan Helena, lalu mendaratkan kecupan di bibirnya.

Helena kembali meronta. Jika selama ini selalu ada buncah bahagia acapkali Nathaniel memberikan kecupan untuknya, maka kali ini berbeda. Perlakuan Nathaniel justru membuat dadanya kian sesak saja.

"Helena ... please ...."

Nathaniel menghiba saat Helena mengemasi barang-barang dan bersiap untuk meninggalkannya. Ia pun sungguh tak tahu harus bagaimana.

"Kembalilah, Helena."

Nathaniel berusaha meraih lengan Helena, namun Helena sigap menepisnya.

Kini keduanya berhadapan. Napas keduanya berkejaran tak beraturan. Bulir bening juga mulai berjatuhan.

Helena sejenak memejamkan mata, sebelum kemudian mata indah abu-abunya menatap sosok tegap di hadapannya. Sedikit maju, ia lalu menggerakkan jemari di wajah lelaki itu.

"Good bye, Nat. Berjanjilah untuk bahagia." Begitu ucapnya, sebelum kemudian ia mendaratkan satu kecupan di pipi kiri Nathaniel.

Seketika kaku. Lidah pun mendadak kelu. Nathaniel hanya mampu menerima perlakuan Helena dalam bisu, lalu menatap punggungnya yang kian menjauh dengan hati pilu.

"Argh!"

Nathaniel membanting pintu apartemennya sebagai pelampiasan rasa. Tak cukup dengan pintu, ia lalu menyeret paksa taplak yang menutupi meja makan hingga dua gelas kaca di atasnya jatuh dan pecah. Berhamburan.

*********************

The Madina Mosque atau masjid Madina, yang lebih dikenal sebagai Sheffield Islamic Centre. Sebuah masjid yang terletak di Wolseley Road, berjarak sekitar 1.5 miles dari The University of Sheffield. Hanya sekitar 30 menit berjalan kaki.

Masjid dengan dua menara menjulang tinggi dan berkubah biru ini pertama kali dibuka untuk publik sekitar tahun 2006. Masjid yang memiliki 19 ruangan, 2 hall, dan juga perpustakaan ini memiliki sebuah program untuk mengenalkan Islam. Visit Mosque, yang bertujuan membantu pemahamam masyarakat sekitar tentang Islam, juga untuk mengatasi stigma-stigma negatif tentang kaum muslim.

Nathaniel menghentikan langkah. Kubah biru masjid yang menghiasi atap utama, juga menghiasi ujung menara tiba-tiba saja menarik perhatiannya. Meski ia tengah berdiri di Gifford Road, kubah masjid itu tetap terlihat jelas olehnya.

Awalnya ragu, namun entah, seperti ada dorongan yang membuat Nathaniel melangkah mendekati masjid itu.

Nathaniel terus berjalan tanpa mengalihkan pandangan. Tepat di sebelah Apna Style, sebuah rumah makan khas India yang terletak di pertigaan yang menghubungkan Gifford Road dan Wolseley Road, Nathaniel berhenti. Masjid megah itu kini hanya tinggal beberapa langkah saja dari tempatnya berdiri.

Nathaniel mendongakkan kepala, memandang dua menara masjid yang menjulang tinggi.

Tuhan ... apa kau di sini?

Nathaniel berbicara pada dirinya sendiri.

Entah, namun beberapa hari ini, ada kehampaan yang terus menggelayuti diri sehingga Nathaniel seringkali tampak linglung seperti ini.

Tuhan.
Sosok yang seumur hidup tak pernah ia pikirkan, entah mengapa kali ini kehadiran-Nya ia rindukan.

Di mana Kau, Tuhan?
Bisakah Kau membuat hatiku kembali tenang, tak lagi didera kehampaan?

Nathaniel tersentak, saat ia sadar jika ia sudah berada di depan pintu masjid.

"Assalamualaikum," sapa seseorang dengan peci berwarna putih.

"Waalaikumsalam," jawabnya. Ya. Nathaniel tahu. Ia sering mendengarnya dari Andalusia.

Di depan pintu masjid, Nathaniel terus mematung. Ia terpasung bingung.

Tuhan ... apa Kau benar-benar ada?

Nathaniel memejamkan mata, sejenak teringat percakapannya dengan Andalusia.

"Andalusia ... apa kau ... tahu bagaimana rupa Tuhanmu?" tanya Nathaniel kala itu, kala mereka berdua melintas di Weston Park.

"Rupa ... Tuhanku? Apa maksudmu?" tanya Andalusia yang langsung menghentikan langkahnya.

"Iya. Apa kau tahu bahaimana rupa Tuhan yang kau sembah itu?" tanya Nathaniel lagi. Andalusia menggelengkan kepala.

"Tidak. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana rupa dan wujud Tuhanku," jelasnya. Nathaniel memicingkan mata.

"Baiklah. Tapi ... apa kau pernah membayangkan bagaimana rupanya?" tanyanya lagi.

Andalusia kembali menggelengkan kepala. Kini dahi Nathaniel benar-benar berkerut, tanda ia heran dengan jawaban Andalusia.

"Kau ingin tahu tentang Tuhanku? Duduklah. Akan kujelaskan padamu," kata Andalusia.

Keduanya lalu berjalan beriringan, menuju sebuah kursi taman yang menghadap langsung ke patung seorang lelaki yang menjadi salah satu ikon di taman ini. Patung Ebenezer Elliott, salah satu penyair asal Inggris.

Elliott dikenal secara luas setelah ia menciptakan Corn Law Rhymes pada tahun 1831 berisi puisi untuk menentang ketidakadilan yang dialami masyarakat Inggris dengan adanya Corn Law atau serentetan hukum Inggris yang mengatur tentang pajak jagung.

Ia kemudian dikenal dengan julukan Corn Law Rhymer atau Penyair Hukum Jagung setelah ia memimpin perjuangan untuk mencabut undang-undang tersebut.

Setelah sejenak menatap patung Ebenezer Elliott, Andalusia dan Nathaniel kini duduk berdampingan.

"Apa tadi pertanyaanmu?" tanya Andalusia.

"Kau bilang kau tak tahu bagaimana rupa Tuhanmu. Lalu aku menanggapinya dengan pertanyaan apa kau pernah membayangkan bagaimana rupa-Nya?" jawab Nathaniel, seraya melonggarkan dasi yang bertengger manis di kemeja biru mudanya.

"Tentu saja. Terkadang aku membayangkannya, meski otakku tak pernah sampai untuk meproyeksikannya. Tuhanku, Ia terlalu sempurna," jawab Andalusia.

Nathaniel kembali memicingkan mata, seolah tak puas dengan jawaban Andalusia.

"Aneh. Bagaimana bisa kau begitu menataati dan mencintai Tuhanmu itu jika wujudnya saja kau tak tahu?" tanyanya lagi. Bola mata indahnya kini bergerak ke kanan dan ke kiri.

Andalusia tersenyum. Nathaniel kian bingung.

"Nat, apa kau mengagumi Ebenezer Elliot, sosok yang patungnya berdiri tegak itu?" tanya Andalusia, sembari menunjuk patung tampak dari kursi di mana mereka berada.

"Hey, jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kau malah bertanya soal Elliott?" elaknya. Andalusia sedikit tertawa.

"Jawab saja. Jawabanmu akan membantu dirimu sendiri untuk memahami penjelasanku nanti," jelasnya.

"Tentu saja, Andalusia. Siapa warga Inggris yang tak mengaguminya?" jawabnya.

Andalusia tampak mengeluarkan sebotol minuman, lalu meneguknya sedikit sebelum kembali melanjutkan penjelasan.

"Bagaimana bisa kau mengagumi Elliott? Kau bahkan belum pernah bertemu dengannya," tanya Andalusia. Ia kembali memasukkan botol berwarna bening itu ke dalam tas ranselnya.

Nathaniel mendongakkan kepala, lalu menyandarkan punggung di sandaran kursi taman.

"Karena karyanya, juga karena kisah hidupnya. Aku tak perlu bertemu langsung dengan Ebenezer Elliott untuk mengagumi dan untuk tahu bahwa ia adalah orang-orang luar biasa. Karyanya, literatur yang menjelaskan tentangnya, semua sudah lebih dari cukup untukku tahu bahwa ia memang sehebat ini. Bahwa ia memang layak dikagumi," jelas Nathaniel. Andalusia tersenyum lagi.

"See, Nat. Kau sudah temukan jawaban atas pertanyaanmu sendiri," ucap Andalusia.

Nathaniel mengerutkan dahinya, memicingkan mata dan seketika menegakkan punggungnya. Tak lagi bersandar pada kursi taman.

Sejenak ia terdiam, dengan beberapa garis tergambar di dahi, tanda ia sedang mencerna penjelasan Andalusia tadi.

Sejurus kemudian, mulutnya menganga.

"Kau mengerti maksudku, kan?" tanya Andalusia, memastikan Nathaniel benar-benar paham atas penjelasan yang ia sampaikan.

Nathaniel menganggukkan kepala. Mulutnya masih sedikit menganga.

"Iya, Nat. Aku tak pernah tahu bagaimana wujud Rabb-ku. Bahkan membayangkannya pun aku tak mampu. Tapi lihatlah. Bumi dan seisinya, langit dengan pesona mentari di musim semi seperti ini, atau kerlap-kerlip bintang yang seringkali menghiasi, hujan yang menghadirkan pelangi, kicau burung saat menyambut pagi, siluet kekuningan saat mentari bangkit dari peraduan ... bukankah itu indah sekali?" ucap Andalusia.

Nathaniel terus menyimak, mendengarnya dengan saksama.

"Jika ciptaan-Nya saja seindah dan sehebat ini, maka bagaimana dengan diri-Nya yang menciptakan semua ini? Sempurna. Hanya itu kata yang pantas untuk-Nya."

...

"Mari masuk, Brother. Waktu salat Maghrib sudah tiba," kata seseorang, menyentak Nathaniel yang selama beberapa saat melamunkan masa di mana ia bertanya pada Andalusia tentang rupa Tuhan.

Salat?
Maghrib?

Nathaniel tak mengerti apa maksudnya, selain pengetahuan dasar bahwa salat adalah salah satu kewajiban kaum muslim. Ia melihat Dean dan Andalusia melakukannya. Sehari lima kali. Banyak sekali.

Sedikit ragu, Nathaniel masuk ke masjid itu. Ia tengah menyisir interior masjid saat tiba-tiba terdengar suara azan. Ia pernah beberapa kali mendengarnya dari apliaksi pengingat waktu salat di ponsel Dean. Namun kali ini rasanya berbeda. Ada kesejukan yang mengaliri seluruh arterinya.

Bingung harus bagaimana, ia lalu ikut masuk ke dalam barisan dan mengikuti gerakan salat, sebagaimana yang lainnya.

"Allahu Akbar."

Terdengar imam mengucapkan takbir, tanda salat telah dimulai. Nathaniel menoleh ke kanan dan kiri, berusaha mengikuti gerakan yang para jemaah di masjid itu lakukan.

Nathaniel memejamkan mata. Sang imam mulai melantunkan ayat demi ayat-Nya. Entah. Suara indah sang imam dalam melafalkan ayat suci Al-Quran benar-benar membuat tubuhnya bergetar. Bahkan beberapa detik kemudian, airmatanya mulai bercucuran.

Tuhan ... apa Kau tahu jika Kau tengah kurindukan?

Duduk bersila, Nathaniel telah selesai dengan salatnya.

"Apa kau ... seorang mualaf?" Seseorang mendekati Nathaniel.

Nathaniel menoleh. Lelaki berpeci yang mengucapkan salam padanya tadi rupanya.

Ia menggelengkan kepala.

Lalu mengalirlah segala cerita, tentang kegelisahan dan kehampaan yang tengah menggelayutinya.

Haroon, nama lelaki berpeci itu. Dr. Ahmad Haroon Nizamuddin. Lelaki asal Malaysia yang telah lama menetap di kota Sheffield. Dosen di Department of Engineering and Mathematics di Sheffield Hallam University.

"Selama ini, aku selalu melampiaskan rasa sedih dan kecewaku dengan seks dan mabuk-mabukan. Tapi alih-alih merasa tenang, aku justru semakin dihantui kehampaan," jelas Nathaniel. Dr. Haroon mendengarnya dengan saksama.

"Aku rasa ... aku mulai merindukan keberadaan Tuhan ....," lirih Nathaniel kemudian, bersamaan dengan bulir bening yang kembali berjatuhan.

******************

Kamar Presidential Suit, lantai 22 Ritz Carlton Hotel, Mega Kuningan Jakarta, dua bulan kemudian.

Tak berkedip mata Dean memandang Andalusia yang tengah duduk di depan meja rias. Ia tampak berusaha melepas jilbab yang menutupi keindahannya.

"Turunkan jemarimu. Biarkan aku yang membukanya untukmu," ucap Dean. Andalusia yang mendengarnya mendadak tersipu.

Pagi tadi, keduanya telah resmi mengikat janji sebagai suami istri. Tak ada pesta besar-besaran. Tak ada wartawan. Semua dilakukan dengan penuh kesederhanaan. Hanya keluarga saja yang datang.

Andalusia memang sengaja meminta akad nikah dilakulan di Jakarta di mana sebagian besar keluarganya tinggal di sana. Begitu pula dengan Dean. Keluarga dari garis almarhumah ibunya juga tinggal di Jakarta.

Lepas sudah jilbab putih itu dari kepala Andalusia. Keindahannya kini terpampang nyata. Dean terpana. Karena kecantikan Andalusia, juga karena ....

Dean mendesah. Tanpa jilbab yang menutupi rambutnya, Andalusia tampak semakin mirip dengan Aluna.

Secepat kilat Dean menggelengkan kepala, mengusir apa yang baru saja terlintas di pikirannya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Andalusia, demi melihat Dean menggelengkan kepala.

Dean salah tingkah, namun ia segera bisa menguasai diri agar Andalusia tak tahu jika ia sejenak tadi merasa gundah.

Dipandanginya Andalusia. Gadis manis yang dahulu pernah begitu disakitinya di awal jumpa. Siapa sangka mereka kini disatukan oleh cinta.

"Ini kunci kamarku. Kau simpan saja agar aku tak bisa ke mana-mana."

Begitu kata Andalusia semalam, saat Dean kembali memastikan agar Andalusia tak pergi ke mana-mana. Sehari sebelum pernikahan dilaksanakan, ia dan Dean memang menginap di hotel yang sama. Sengaja, agar mempermudah semuanya.

Ya. Malam sebelum pernikahan, Dean memang merasa tak tenang.

Trauma dengan kegagalan pernikahan lantaran Aluna, sang pengantin wanita pergi begitu saja di malam sebelum pernikahan dilaksanakan, Dean pun terus menerus mengingatkan Andalusia tak pergi ke mana-mana. Ia takut Andalusia kenapa-kenapa.

Kini Andalusia di sini, bersamanya, dengan status sebagai istri.

Dipandanginya wajah Andalusia lagi. Andalusia yang ditatap begitu, hanya bisa tertunduk malu.

Ah, kau tahu bagaimana selanjutnya.

Tak perlu banyak aksara, tak perlu banyak basa-basi di antara keduanya. Sebab satu tatapan mata saja sudah cukup menjadi pertanda jika Dean dan Andalusia ingin bersegera menikmati indahnya berbuka.

Perlahan, Dean mengangkat tubuh Andalusia ke peraduan. Keduanya lalu saling menautkan jemari, bersama-sama menari hingga tercapailah kenikmatan cinta yang diridai ilahi.

Dean mengecup kening Andalusia yang tersandar di dada bidangnya. Masih tak ada aksara. Namun gerak gerik keduanya jelas menunjukkan jika keduanya bahagia.

Dean baru saja akan mengecup kening Andalusia lagi saat tiba-tiba saja ponselnya berbunyi.

"Ah, sial! Kenapa aku lupa mematikannya?" sungutnya. Andalusia tertawa.

"Angkatlah saja. Siapa tahu telepon penting," saran Andalusia. Ragu, namun kemudian Dean menurutinya.

Dean meraih ponselnya. Ada panggilan melalui aplikas whatsapp dari seseorang yang sangat dikenalnya. Alfarez, sahabatnya semasa SMA.

Dean menegakkan badan, lalu bersandar di kepala ranjang. Ia memang tak mengundang Alfarez di acara pernikahannya meski ia mengabarinya. Selain karena acaranya dikemas secara sederhana dan hanya dihadiri keluarga saja, Dean tak menampik alasan jika ia sengaja tak mengundang Alfarez agar ia tak bertemu Aluna.

Ah. Pasti Alfarez ingin mengucapkan selamat padaku.

"Hey, kau. Dokter Alfarez Akbar. Mengapa meneleponku menjelang tengah malam? Kau ingin mengucapkan selamat atas pernikahanku, atau karena kau ingin mengganggu malam pertamaku?" seloroh Dean sembari mengerling manja pada Andalusia.

Andalusia tertawa melihatnya. Dean sengaja mengaktifkan pengeras suara agar Andalusia juga bisa mendengarnya.

Senyap. Tak ada kata yang terucap. Dean memicingkan mata.

"Alfarez? Are you there? Ah aku tahu. Kau hanya mengerjaiku ya?" kata Dean. Masih tak ada jawaban. Namun sejurus kemudian, terdengar sebuah isakan. Suara seorang perempuan.

Dean dan Andalusia kini saling pandang.

"Halo? Alfarez? Are you there?" Dean kembali bertanya. Suara isakan di sana kian kentara.

"Dean ... tolong aku. Tolong ... selamatkan aku. Alfarez ... ingin membunuhku."

Suara itu ....
Napas Dean tiba-tiba berkejaran, tak beraturan.

Pic credit : Mikhail Varshavski

*******************

Siapa yang menelepon Dean menggunakan nomor Alfarez?
Apa itu Aluna?
Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Nikmati kisah selanjutnya dalam : NOVEL ANDALUSIA : OWNER OF A LONELY HEART .

Untuk pemesanan silahkan kontak nomor berikut ini :

WA : 087821830344


atau klik tombol WA dibawah ini : 



0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram