PART 6 : Let Me Heal Your Pain

Novel-Andalusia-fissilmi-hamida-part 6


A N D A L U S I A
By Fissilmi Hamida

Part sebelumnya :

Novel Andalusia Part 1
Novel Andalusia Part 2
Novel Andalusia Part 3
Novel Andalusia Part 4
Novel Andalusia Part 5


PART 6 : LET ME HEAL YOUR PAIN

Hati Andalusia kian galau.
Sengau, jiwanya meracau.

Di tepi jendela yang ia biarkan terbuka, mata sendunya menatap rumah Dean yang tampak dari kejauhan. Sejenak ia bersenandika, sebelum lunglai melangkah ke peraduan untuk kembali mengeja rasa. Ya, lagi-lagi rasa yang begitu sulit diterjemahkan arah muaranya.

Dean, apa kau baik-baik saja?
Kenapa dari awal tak kau katakan saja yang sejujurnya?
Diammu mematrikan nestapa.
Sunyimu meluluh lantakkan cinta hingga benci yang kemudian menjelma.
Ketidak jujuranmu menorehkan luka.

Padaku, padamu.
Kita sama-sama lara.

Dean, lelaki yang memesonakanku dengan tarian kata.
Berjanjilah jika kau akan baik-baik saja.

Mendudukkan diri di sisi ranjang, Andalusia kembali meraih sebuah buku berukuran sedang, berwarna cokelat terang. Milik Dean.

Dibukanya lagi halaman pertama, lembar di mana ada fotonya terpampang di sana, tersanding dengan foto seseorang yang serupa dengannya.

Andalusia vs Aluna.
Bagaimana bisa kalian serupa?

Begitu yang tertulis di sana.

Andalusia mendesah. Kejadian tadi pagi kembali terurai, menimbulkan resah.

Segera setelah raga Dean luruh, suasana mendadak riuh. Beberapa orang langsung berlari menghampiri ia yang tak sadarkan diri.

Andalusia memejamkan mata. Inginnya terus berjalan saja, tak peduli jika Dean tergeletak di sana. Sayang, sudut terdalam hati rupanya tak sekata.

"Nat ...," lirihnya, meminta persetujuan, sebab meski ingin, ia didera keraguan.

Nathaniel dan Andalusia, bersitatap kini keduanya. Nathaniel mendesah, lalu seketika berbalik arah.

"Tolong bawa ranselku. Kau letakkan saja di ruanganku. Kuncinya ada di dalam," ucapnya, sembari melempar ransel hitamnya ke Andalusia.

Berpindah. Nathaniel kini mencoba menyadarkan Dean yang masih tergeletak di atas tanah.

"Andalusia, call 999!" teriak Nathaniel kemudian.

Andalusia yang masih mematung, kini tampak bingung.

"Andalusia, call 999! Now!"

Nathaniel mengulangi perintahnya hingga Andalusia terhenyak. Namun setelahnya, jemarinya langsung bergerak, meraih ponsel dan langsung menghubungi 999 yang merupakan dial number utama untuk kejadian darurat di Inggris, untuk memanggil ambulans, polisi, pemadam kebakaran, dan yang lainnya.

"Ini buku-buku Dean. Bisakah kau bawa juga? Aku akan ikut ke rumah sakit," kata Nathaniel kemudian, beberapa saat setelah ambulans datang dan langsung membawa Dean ke Sheffield Teaching Hospital.

Buku-buku Dean yang tadi berserakan kini berpindah tangan. Andalusia menerimanya dengan jemari bergetar.

"Apa ... apa yang terjadi dengannya? Apa ia akan baik-baik saja?" tanya Andalusia, menahan Nathaniel yang hampir saja melangkahkan kakinya.

Nathaniel menghela napas. Ditatapnya Andalusia dengan tatapan memelas.

Hey, Andalusia.
Kau ini bodoh atau apa?
Dean sudah membuatmu begitu terluka.
Melihat keadaannya, seharusnya kau bahagia.
Kenapa kau justru mengkhawatirkannya?

Dalam hati Nathaniel bersuara, namun tak sampai hati ia membuat Andalusia mendengarnya.

"Nat ... jawablah. Apa Dean akan baik-baik saja?"

Iba. Nathaniel tersenyum tanpa mengalihkan pandangan dari wajah Andalusia. Tampak jelas, pelupuk mata gadis itu siap menumpahkan bulir bening yang begitu deras.

Nathaniel menganggukkan kepala.

"Tenanglah. Dean akan baik-baik saja. Aku akan mengabarimu segera."

Begitu kata Nathaniel, sebelum berlalu meninggalkan Andalusia yang sendiri dalam pilu. Termangu. Membatu. Hingga kemudian kebekuan Andalusia runtuh kala ada selembar foto jatuh dari salah satu buku Dean yang ia bawa, saat ia hendak merapikannya.

Bak tak percaya, serupa siang yang tak mungkin didatangi rona langit jingga, Andalusia menganga atas apa yang dilihatnya.

Foto itu ... adalah fotonya! Foto saat ia tengah duduk di dalam kelas dengan jemari kiri tampak memijat kening.

Dean ... mengambil fotoku diam-diam dan menyimpannya? Kenapa?

Sejenak Andalusia menggigit bibir. Rasa penasaran untuk menilik isi buku Dean terus deras mengalir. Karenanya ia putuskan untuk pulang segera setelah kelas usai. Ya, ia ingin leluasa mengorek isi buku Dean, mencari jawaban kenapa fotonya terselip di sana.

Maka di kamarnya, seluruh rasa penasarannya sirna. Berjuta tanya tentang alasan Dean membencinya pun ia temukan di sana. Buku itu, buku harian Dean. Di lembar-lembar putihnya, suara hati Dean tertuliskan. Ya, kicau hati yang selama ini tak mampu Dean ungkapkan, yang membuat dirinya dan Andalusia sama-sama tertekan.

Andalusia menyeka airmata. Bayang Dean kembali muncul begitu saja.

Foto dirinya rupanya ada beberapa. Difoto oleh Dean diam-diam, dari kejauhan, di berbagai waktu dan kesempatan. Foto-foto itu terpasang hampir di tiap lembaran, berteman goresan tangan luapan perasaan Dean.

Andalusia terus menyeka airmata yang tak mau berhenti. Entah bagaimana ia harus menerjemahkan perasaannya saat ini. Satu yang pasti, ia tahu jika Dean rupanya tak berniat menyakiti. Kacaunya hati, lara yang tersembunyi, membuat Dean berbuat seperti ini.

Andalusia memang terluka. Tapi goresan jemari Dean yang dibacanya serupa telaga yang ia temukan di tengah dahaga.

"Aluna Melodia Lee," gumam Andalusia, menyebut nama gadis yang disebut Dean sebagai gadis pemantik lara.

Andalusia beringsut. Kini ia duduk di lantai di pojok kamar. Dengan keharuan menguar, ia kembali membaca curahan hati Dean. Lembar demi lembar.

------------------

Dear Andalusia.

La Alhamra Andalusia. Nama yang indah, serupa keindahan padang bunga.

Tahukah dirimu, wahai gadis muda, jika aku selalu mengamati rumahmu dari balik jendela, berharap kau baik-baik saja?

Aku tahu kau menangis.
Aku tahu hatimu teriris.

Hanya saja ... keadaan meniscayakanku demikian. Membuatku tak ubahnya seperti seorang penjahat tak berperasaan meski sungguh, awalnya tak ada niatan.

Sungguh, Andalusia.

Jendela kamarku jadi saksi, betapa aku mengkhawatirkanmu yang tengah kupenjarakan dalam luka tak berperi. Andai bisa, ingin kudatangi rumahmu segera. Kudobrak pintunya, kudatangi kamarmu dan akan kurengkuh dirimu atas segala luka yang tercipta karenaku.

Hanya saja ....

Bagaimana bisa aku melakukannya jika untuk menatapmu saja aku tak bisa? Bagaimana bisa aku merengkuhmu jika melihat senyummu saja aku tak mampu?

Aluna Melodia Lee, gadis pemantik lara itu, wajah dan gerak-geriknya bak terreinkarnasi pada dirimu. Wajahmu, senyumanmu, bahkan hingga ekspresi sendumu ... demi Tuhan. Kalian memang semirip itu.

Kau tahu, hai gadis berwajah sendu.

Sapaanmu pagi itu, inginku membalasmu, namun lidahku seketika kelu. Senyummu saat hari itu kau ingin meminta tandatanganku, aku sungguh ingat itu. Hanya saja hadirmu memantik luka yang telah bertahun menggelayutiku hingga alih-alih menyambutmu, aku justru mengabaikanmu. Aku justru berlalu.

Ah, kau tahu, gadis berwajah sendu.
Di kelas, aku memang tak pernah memerhatikanmu, tak pernah menganggapmu. Bahkan saat berdiskusi, aku juga tak pernah menunjukmu. Kau tahu kenapa? Karena caramu bicara itu sungguh mirip dengan Aluna.

Andalusia.
Beritahu aku.
Aku harus bagaimana agar kita sama-sama tak terluka?

Andalusia memejamkan mata. Tak sanggup lagi rasanya untuk mengeja aksara.

Dibukanya kembali buku Dean. Air matanya terus luruh, namun kekesalannya runtuh. Lara hatinya pada Dean seolah mulai sembuh.

Lembar selanjutnya. Lembar yang memang belum Andalusia baca. Ada nama Nathaniel di sana.

----------------------

Dear Andalusia.

Hari ini, kembali kuamati dirimu dari balik jendela. Kulihat sejak tadi lampu kamarmu tak menyala. Apa kau baik-baik saja?

Andalusia.

Tahukah kau jika tadi Nathaniel menghajarku? Ia memukuliku hingga tak berbentuk lagi wajahku. Sakit sekali rasanya. Nathaniel bilang, sakit ini tak sebanding dengan garam yang kutaburkan di atas lukamu.

Kau tahu.
Nathaniel memang sahabat terbaikku. Setelah menghajarku, ia mengobati luka-lukaku. Bukankah itu lucu?

Ia lalu menceritakan tentangmu, tentang keadaanmu. Meski kemudian, sebelum ia pulang, ia mengancamku. Ia bilang, ia akan kembali menghajarku jika aku terus menyakitimu.

Ah, Andalusia.

Maaf atas sikapku. Aku memang sepengecut itu. Aku sungguh ingin membersihkan namamu, tapi dengan keadaanku ini, bisakah kau sedikit memberikanku perpanjangan waktu?

Aku perlu sedikit waktu untuk menata hati dan mentalku sebelum aku klarifikasi untuk membersihkan namamu. Apalagi setelah pertemuanku kembali dengan Aluna yang menyebabkan guncangan hebat di dadaku. Ya, kuakui. Aku memang sepengecut itu.

Andalusia.
Berjanjilah jika kau akan baik-baik saja.

Aku tahu kau kuat. Sekuat tekatmu untuk mengembara dari Spanyol ke Inggris demi bertemu denganku, yang memesonakanmu dengan tarian aksaraku. Ya, aku tahu. Nathaniel yang memberitahu.

Gadis muda. Benarkah kau begitu mengagumiku?

Kejamnya aku.

Kau berharap tentang lukisan kisah manis, namun yang kuberikan adalah tangis. Kau berharap bertemu lelaki yang kau sangka romantis, namun yang kau dapati adalah sesosok lelaki bengis. Kau berharap lelaki yang semenawan tokoh cerita yang ia tuliskan, namun yang kau temui rupanya lelaki tak berperasaan.

Andalusia.
Masih adakah kemungkinan untukku kau maafkan?

Tetaplah kuat, meski kini kau tersayat.
Bertahanlah sedikit lagi. Saat aku telah berhasil menguasai diri, aku akan datang untuk merengkuhmu dari kubangan lara hati.

Aku janji.

---------------

Meringkuk di sudut kamar, seluruh tubuh Andalusia bergetar karena tangisan. Keharuan bercampur kelegaan, hingga luruh sudah segala pertahanan. Baris demi baris tulisan di buku Dean membuat cintanya kian mendalam.

Kini ia berpindah, kembali ke jendela di mana rumah Dean tampak begitu gagah. Mata sendunya perlahan mulai cerah. Hati kelabunya mulai mendentingkan kicau indah.

Dean Edward Beazley, sang penyulam aksara.
Aku sungguh tak tahu jika rupanya kau menyimpan luka.
Racun cinta yang disebabkan oleh sosok bernama Aluna.
Bisakah aku jadi penawarnya?

Andalusia terus mengulum senyuman, hingga kemudian ia dikagetkan oleh beberapa kali ketukan di pintu kamar.

"Kemarilah. Kau harus lihat ini."

Salah satu teman serumah Andalusia. Begitu pintu kamar dibuka, ia langsung menarik lengan Andalusia dan menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang.

"Dean melakukan klarifikasi. Video klarifikasinya trending di dunia maya. Disiarkan juga di beberapa stasiun televisi. Bahkan di akun Instagram dan Twitter-nya, Dean mengunggah foto surat teguran dari dewan universitas yang diterimanya untuk membuktikan bahwa kau sama sekali tak bersalah," jelasnya.

Andalusia membelalakkan mata, seolah tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Direbutnya ponsel sang teman. Ia ingin melihat sendiri kebenarannya.

"Yang lebih mengejutkan, Dean melaporkan pada polisi tentang kejadian saat kau didorong dengan sengaja. Polisi sudah menangkap 3 orang yang mendorongmu," imbuhnya lagi.

Napas Andalusia mendadak berkejaran tak seirama. Klarifikasi itu diunggah semalam. Pagi tadi, Dean memanggil Andalusia untuk memberitahunya jika ia sudah melakukan klarifikasi. Namun belum sempat ia bicara, Andalusia sudah lebih dulu mencecarnya.

"Kemarikan ponselku. Kau pasti akan terkejut melihat ini," kata teman Andalusia lagi.

Andalusia yang masih terkejut, hanya bisa menurut. Ia masih tak bisa berkata apa-apa. Yang dilakukan Dean benar-benar mengejutkannya.

"Ini. Lihatlah," kata sang teman, menunjukkan akun Instagram milik Dean.

Luruh lagi airmata Andalusia.

Ada fotonya terpampang di sana, saat ia tengah menangis di Weston Park setelah merobek novel A Farewel to Hazel miliknya. Dibacanya dengan saksama tulisan yang menyertai fotonya. Baris demi barisnya benar-benar membuatnya ... kehilangan kata-kata.

Ya, hanya derasnya airmata yang jadi pengabar dunia atas apa yang kini ia rasa.

??????

I AM SORRY, ANDALUSIA.

Her name is Andalusia. Gadis tak berdosa yang terus kalian serang tanpa jeda, baik di dunia maya atau pun dunia nyata. Baik dengan lisan, tulisan, juga dengan tindakan berbahaya hingga hidupnya bak di neraka.

Foto ini, sahabatku Nathaniel yang mengambilnya. Diam-diam.

Hari itu, Nathaniel membuntutinya setelah melihat Andalusia keluar dari kelas Tales of the City yang kuampu, dengan tergugu.

Lihatlah wajah sendunya. Lihatlah perih yang tergambar di wajahnya. Aku. Akulah penyebabnya. Akulah alasan dari tiap tetes bulir bening yang jatuh dari matanya. Serangan dan cercaan kalian padanya, aku juga penyebabnya.

Maka jika hari itu Andalusia merobek novelku dan menghamburkan sobekannya tepat ke wajahku, ia memang berhak melakukan itu. Bahkan, ia berhak melakukan yang jauh lebih buruk dari itu padaku.

Ia tak bersalah apa-apa. Ia hanyalah gadis muda yang begitu mengagumi novel-novelku, seperti kalian. Ia rela jauh-jauh terbang dari Spanyol ke Inggris untuk bertemu denganku. Sayang, aku justru berbuat buruk padanya karena alasan masa laluku, yang maaf, kalian tak bisa kuberitahu.

Satu yang pasti, ia sangat tersakiti. Ia bahkan ingin berhenti kuliah saja karena ini. See. Aku jahat sekali. Aku yang bersalah di sini.

Maka kumohon pada kalian, tolong sudahi. Jangan menyerang Andalusia lagi. Aku yang bersalah, aku yang pengecut karena tak langsung klarifikasi hingga semua memburuk seperti ini.

Aku serius soal ini.

Jika kudapati lagi di antara kalian ada yang menyerang Andalusia, meski itu hanya dalam tulisan saja, aku sendiri yang akan melaporkan kalian pada polisi.

Satu lagi. Jika memang kalian adalah penggemarku, berdirilah kalian bersamaku. Berminggu-minggu sudah kita membuat Andalusia jadi bulan-bulanan di dunia nyata atau pun maya. Kini saatnya kita bersihkan namanya.

Bantu aku. Kita buat hastag #iamsorryandalusia viral di dunia maya. Sedang di dunia nyata, jika kau bertemu Andalusia, sapalah ia dengan senyum penuh cinta. Agar ia tahu ia tak lagi dalam bahaya.

****************

Pecah. Tangis Andalusia kini benar-benar pecah. Suara tangisnya kian kentara. Dua teman serumahnya yang lain pun berdatangan ke kamar karenanya.

Mereka berempat kini saling berpegang erat. Ya, mereka seolah bisa turut merasakan lara hati Andalusia. Maka jika kini Andalusia menangis bahagia, mereka pun juga.

Malam menjelma. Andalusia berbaring di peraduan dengan memeluk buku Dean. Matanya terpejam, namun bibirnya merenda senyuman. Ia bermimpi Dean menggandeng jemarinya, menuntunnya meniti jembatan Paine's Bridge yang melintasi sungai Derwent saat musim panas tiba.

Dean Edward Beazley.
Saat kau katakan di buku diary-mu jika nanti kau akan menarikku dari kubangan luka, apakah kau akan melakukannya dengan tali cinta?

Andalusia bersenandika begitu ia terbangun dari buaian mimpi. Buku Dean masih tetap ia peluk sepenuh hati.

****************

"Dean ...."

Andalusia kelu seketika. Ia terhenyak, mendapati siapa yang kini berdiri di hadapannya. Beberapa saat tadi ada yang mengetuk pintu rumah. Ia kira itu temannya. Ternyata bukan. Yang datang rupanya Dean. Sosok yang ia ... rindukan.

Gerak dunia bak terhenti. Gelinjang yang disebabkan oleh kehadiran Dean menjalar di seluruh arteri.

Hari ini tiga hari sejak Dean pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Nathaniel membaritahunya jika Dean baik-baik saja, jika ia pingsan karena kelelahan semata. Namun nyatanya, melihat secara langsung raga Dean seperti ini, seketika ada ribuan tetes embun menyapa hati. Segar sekali.

"Apa kau akan membiarkanku tetap berdiri di sini sampai pagi?" tanya Dean. Andalusia salah tingkah ditanya demikian.

"Di sini dingin sekali. Kau tak mau menyuruhku masuk sebelum aku benar-benar beku?" tanya Dean lagi. Andalusia buru-buru mengumpulkan kesadarannya yang sejenak terbang di antara bunga musim semi.

"Ma ... maaf. Silahkan masuk."

Andalusia gugup. Sekadar menatap Dean pun kini ia tak sanggup. Ia ingin menangis, namun rasanya airmatanya telah habis. Ia ingin bicara, namun bibirnya tak mampu merajut aksara. Kini ia hanya mampu menunduk. Duduk di berhadapan dengan Dean dengan rasa kikuk.

Dean yang menyadarinya, kemudian sedikit tertawa. Untuk mencairkan suasana, ia berinisiatif untuk lebih dulu membuka suara.

"Saat kau membaca novelku, apa yang kau bayangkan tentangku hingga bulat tekatmu untuk terbang dari Spanyol ke Inggris demi bertemu denganku?" tanyanya.

Ia kira pertanyaannya akan membuat kebekuan itu mencair. Namun yang terjadi, pertanyaannya justru membuat airmata Andalusia seketika mengalir.

" Andalusia. Kenapa kau menangis? Apa aku kembali membuat hatimu teriris?"

Dean salah tingkah. Ia bingung harus bagaimana. Apalagi saat tiba-tiba saja salah satu teman serumah Andalusia masuk dan melewati mereka berdua.

"Andalusia, hey."

Dean beringsut. Kini ia berlutut di hadapan Andalusia hingga ia bisa leluasa melihat wajah ayu yang tengah menangis itu.

"Andalusia, maaf jika aku datang tiba-tiba. Aku ingin meminta maaf padamu atas segala rasa sakit yang kau derita. Maukah kau memaafkanku?" ucapnya. Mendengarnya, tangis Andalusia kian kentara.

"Aku akan tetap berlutut di hadapanmu hingga kau memaafkanku. Nathaniel benar. Aku memang sepengecut itu."

Andalusia bergeming. Ia tetap berkubang dalam kolam bulir bening.

Hening.

Namun beberapa saat kemudian, Andalusia mulai mengurai aksara, meski ia tetap bersimbah airmata.

"Aku ... aku sudah memaafkanmu. Aku ... sudah tahu semuanya. Aku ... sudah tahu kebenarannya."

Dean dan Andalusia, keduanya kini bersitatap dalam hening, dengan bulir bening yang menganak sungai di mata masing-masing.

"Maafkan aku. Aku sempat begitu membencimu tanpa tahu jika ternyata kau semenderita itu," ucap Andalusia, tanpa mengalihkan pandangan dari lelaki yang masih berlutut di hadapannya.

Terhenyak Dean mendengarnya, hingga menyalak gelora dalam dada. Sungguh. Rasanya ingin ia bangkit dan merengkuh Andalusia, membiarkannya menumpahkan segala rasa di dadanya.

Gadis muda.
Kau ini bodoh atau apa?
Aku yang menyakitimu.
Aku yang menyiramkan air garam di atas lukamu.
Namun alih-alih memakiku, kau justru turut meminta maaf padaku.
Terbuat dari apa hatimu?

Maka menit-menit selanjutnya, kau bisa bayangkan apa yang dilakukan keduanya. Tak banyak aksara terurai dari mulut mereka. Namun binar yang muncul dari tatapan mata, bulir bening yang terus mengalir tanpa jeda, juga senyuman yang tersungging di sela-sela derasnya airmata, sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan jika kini mereka sama-sama merenda sebuah perasaan yang terdefinisikan sebagai rasa lega.

Andalusia telah menemukan jawaban atas segala pertanyaannya, sebagaimana Dean yang telah mampu meletakkan beban yang memenuhi seluruh rongga dada.

"Maafkan aku. Aku lancang membaca buku diary-mu," ucap Andalusia, malu-malu, setelah episode keharuan itu berlalu.

Dean yang kini duduk di sebelah Andalusia, tersenyum sembari mengambil alih buku miliknya.

"Tak apa-apa. Aku justru bersyukur karena kau membacanya. Sebab karena itu kau jadi tahu alasanku menghindarimu. Andai aku bicara langsung padamu, mungkin aku tak akan mampu," jelasnya.

Dean lalu membuka lembar demi kembar bukunya. Diambilnya beberapa foto Aluna yang tersimpan di sana, lalu dirobeknya hingga foto-foto itu hancur bak bangunan yang runtuh karena gempa.

Aluna adalah masa lalu. Jika selama lima tahun ini Dean tak kunjung bisa melupakan Aluna, itu karena ia terus dihantui tanya tentang keberadaannya.

Tapi kini, semua sudah jelas. Hingga Dean bisa mulai melangkah bebas, tanpa bayang-bayang tak pasti yang menyebabkan sesaknya napas. Ya, segala tentang Aluna ingin ia tebas.

Dean benar-benar bertekad untuk ini. Mungkin memang sudah saatnya ia membuka hati.

"Kau ... tak akan lagi membenciku karena kemiripanku dengan mantan kekasihmu, kan?" Andalusia memberi tanggapan, setelah cukup lama ia melihat yang dilakukan Dean dalam diam.

"Tidak. Jika kau berjanji untuk tak lagi merobek novelku dan menghamburkan serpihannya ke wajahku," jawab Dean.

Andalusia tersipu. Semburat merah muda seketika memenuhi kalbu.

"Ini untukmu," kata Dean, sembari meraih plastik berukuran cukup besar yang memang ia bawa untuk Andalusia.

"Apa ini?" tanya Andalusia.

Dean tak menjawab. Ia justru mengeluarkan apa yang ada di dalam plastik itu dan meletakkannya di atas meja.

"Novel-novelku. Semua edisi pertama dan tentu saja, ada tanda tanganku di sana. Untukmu."

Andalusia menganga. Dibukanya satu persatu novel itu. Benar. Semua cetakan pertama. Ada tanda tangan Dean di sana dan juga ... pesan-pesan manis untuknya.

"Aku tahu ini tak sebanding dengan rasa sakit yang telah kutorehkan untukmu. Ini juga tak cukup untuk mengganti hari-hari menyedihkan yang kau lalui seorang diri. Tapi kuharap, ini jadi awal yang baik bagi kita, agar kita tak lagi sama-sama terluka," jelas Dean.

Keduanya kini kembali bertatapan. Gelora di dada keduanya menguar, bersamaan dengan salju yang kini mulai turun di luar.

****************

Chatsworth House, Derbyshire.

Chatsworth house, sebuah rumah super megah yang terletak di lembah hijau Derbyshire. Rumah megah ini adalah tempat tinggal Duke of Devonshire dan telah menjadi rumah keluarga Chavendish sejak 1549. Keluarga Chavendish adalah salah satu keluarga aristokrat yang paling berpengaruh di Inggris sejak abad ke-16.

Terletak di kaki bukit landai serba hijau yang dikelilingi pepohonan, Chatsworth House tampak begitu menawan. Warna keemasannya mencolok di antara warna hijau rumput dan dedaunan. Di depannya, ada Sungai Derwent yang airnya mengalir tenang.

Di atas jembatan Paine's Bridge yang melintasi Sungai Derwent, Andalusia berdiam tanpa kata. Namun senyum di bibirnya tak pernah ada jeda. Tarian angin musim panas sesekali membuat gaun panjangnya terkibas.

Chatsworth House memang menawan. Paine's Bridge dan Sungai Derwent juga tak kalah dalam menyajikan keindahan. Bukit landai dan pepohonan serba hijau, mereka turut berkolaborasi menyajikan pemandangan alam yang memukau. Namun bagi Andalusia, semua keindahan itu tak sebanding dengan apa yang kini tengah ia rasa.

Ia bahagia.
Andalusia tengah berada di puncak rasa.

"Apa kau bahagia, Andalusia?"

Sebuah suara mengagetkannya. Andalusia menoleh. Dean tengah berjalan ke arahnya dengan tatapan penuh cinta. Ya, tatapan yang selama beberapa minggu ini seolah hanya ditunjukkan untuknya.

"Tentu saja aku bahagia. Tak usah lagi kau tanya." Begitu jawabnya.

Dean dan Andalusia. Kini keduanya berhadapan.

"Apa kau siap untuk menghabiskan sisa hidupmu bersama lelaki tua ini?" tanya Dean.

Sudah beberapa bulan ini mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama. Bagi Dean, awalnya semua terasa biasa. Tapi lama-lama, ia merasa begitu nyaman setiap kali ia bersama Andalusia, si gadis muda yang 12 tahun lebih muda darinya.

Sempat meragu, sebab ia kira kenyamanan itu disebabkan karena miripnya wajah Andalusia dan Aluna. Rupanya tidak. Sebab ada banyak hal yang membedakan Andalusia dengan Aluna. Pun, selalu ada rindu menggebu andai sehari saja ia tak melihat gadis itu.

"Tentu saja. Gadis belia ini memang telah lama menyukai si lelaki tua, jauh sebelum ia bertemu langsung dengannya," jawab Andalusia. Dean tertawa mendengarnya.

Kini keduanya berjalan menyusuri jembatan Paine's Bridge. Nuansanya sama persis dengan mimpi Andalusia kala itu.

"Kau tahu, wahai lelaki penyulam aksara. Aku pernah bermimpi kita berdua berjalan bersama di jembatan ini. Tak kusangka kini semua benar-benar terjadi," ucap Andalusia. Dean menghentikan langkah karenanya.

"Kau apa? Pernah memimpikan ini?" Ia memastikan. Andalusia mengangguk penuh kepastian.

"Aku tidur dengan memeluk buku diary-mu, lalu aku memimpikanmu. Mimpi yang sama, dengan yang saat ini kita lalukan bersama," jelasnya.

Keduanya terus berjalan, membelah bukit hijau yang menghubungkan Chatsworth dengan Edensor, sebuah desa kecil yang pesonanya tak kalah menawan.

Di sebuah pohon rindang di tengah bukit, mereka berhenti. Ada sebuah kursi kayu di sana, tempat kini keduanya duduk bersama. Menara tinggi bangunan St. Peter's Church, sebuah gereja sekaligus bangunan iconik desa Edensor tampak dari sana.

Lagi. Keduanya saling bersitatap dalam sunyi. Namun semesta tahu, hati keduanya tengah dipenuhi bunga-bunga musim semi.

Sementara di tempat yang berbeda, Nathaniel, sang profesor muda, tampak gundah gulana. Ia baru saja membalas pesan Andalusia, namun ia tak yakin atas apa yang ditulisnya.

[Selamat, Andalusia. Setelah sekian lama kau berkubang dalam lumpur duka, kau memang berhak untuk bahagia. Aku yakin, bersama Dean, bahagiamu akan terasa sempurna.]

Begitu tulisnya.

Entahlah. Nathaniel sendiri tak mengerti kenapa ia tiba-tiba merasa gelisah. Ia kira ia akan turut merasakan kebahagiaan membuncah saat Andalusia memberitahunya jika Dean melamarnya. Rupanya salah. Yang terjadi, ia justru mendadak resah.

Di rerumputan hijau taman Peace Gardens yang berada di depan bangunan klasik Sheffield Town Hall, Nathaniel merebahkan badan, membiarkan sinar mentari yang jarang datang memberinya kehangatan.

Ia mendesah. Bayang Andalusia yang tengah bersama Dean mendadak datang dan tak mau enyah.

B E R S A M B U N G

****************

Akhirnya.
Luka hati Andalusia terbayar sudah.
Tapi, apakah benar semua akan berakhir indah?
Ataukah ...?
Satu yang kau harus tahu.
Bahagia tak pernah datang semudah itu.

Akan ada kejutan tak terduga di berikutnya ?

PART 7 :  Broken Proposal 

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram