PART 3 : A Painful Truth


A N D A L U S I A
By Fissilmi Hamida

Part sebelumnya :
Novel Andalusia Part 1
Novel Andalusia Part 2



PART 3 : A PAINFUL TRUTH 

"Anda ...."

Tenggorokan Andalusia tercekat. Ia tak bisa melanjutkan kalimatnya. Sosok berjas ini, bukankah ia ....

"Profesor Nathaniel? Anda ... Anda Profesor Nathaniel Lawrence, kan?" ucap Andalusia lagi, setelah ia bisa menguasai diri dan setelah ia menghapus airmata di pipinya hingga tak bersisa lagi.

Sosok berperawakan tinggi dan bertubuh kekar khas lelaki yang gemar melakukan olah tubuh itu tersenyum.

"May I sit here?" tanyanya, meminta izin agar ia diizinkan untuk duduk di sebelah Andalusia. Andalusia mengangguk dan sedikit bergeser.

"Kau mengenalku?" tanya lelaki itu, tanpa sedikit pun memudarkan senyumnya. Andalusia menganggukkan kepala.

"Tentu saja. Siapa yang tidak mengenal Profesor Nathaniel Lawrence? Profesor termuda di University of Sheffield yang menggondol gelar akademis dari tiga kampus top dunia. Bahkan dua tahun lalu, Anda juga meraih penghargaan Nobel Prize in Literature untuk karya Anda yang berjudul Wings Beneath My Feet," jelas Andalusia.

Matanya kini berbinar. Kesedihannya sejenak pudar, sebab Profesor Nathaniel juga merupakan sosok yang membuat mulutnya mengurai decak kekaguman.

"Oh, wow! I am impressed! Apa benar aku sepopuler itu?" tanya sang profesor, sedikit menggoda Andalusia. Ia sengaja. Ia ingin gadis di sebelahnya itu tertawa.

Ya, Nathaniel Lawrence namanya, lelaki keturunan Inggris-Rusia. Kau bayangkan saja bagimana rupa fisiknya. Jika kau tahu dr. Mikhael Varshavski alias dr. Mike yang juga berdarah Rusia, yang disebut-sebut sebagai dokter terseksi dengan jutaan pesona, maka ciri fisik Profesor Nathaniel tak kalah dengannya.

Latar belakang akademiknya juga luar biasa. Ia lulus sarjana dengan gelar BA English Language and Literature dari University of Oxford, lalu lulus S-2 dengan gelar MLitt English Literature dari University of Cambridge, dan ia juga meraih gelar doktoralnya dari Department of English, Graduate School or Arts and Sciences, Harvard University.

Sempurna!

Sayang, ia tak beragama. Eksistensi Tuhan bukanlah hal yang terlintas di benaknya. Hidupnya bebas, tanpa batas. Namun meski begitu, ia sangat menghormati mereka yang memeluk agama tertentu.

Dalam diam Andalusia memutar bola matanya, sebab ia tak tahu lagi harus berkata apa. Berada di sebelah orang hebat, entah mengapa bicaranya jadi tersendat.

Embusan angin membuat air di danau yang berada tepat di depan kursi yang diduduki Andalusia bergerak, menyajikan tarian air beriak.

"Siapa namamu? Kau mahasiswa di jurusan English Literature, kan?" tanya Nathaniel, memecah kesunyian. Andalusia mengangguk perlahan.

"Nama saya Andalusia, Profesor. La Alhamra Andalusia," jawab Andalusia. Ia masih memainkan bola matanya, tidak berani menatap sosok di sebelahnya.

"Hmm ... beautiful name. Nama yang Indah. Ada cerita di balik namamu itu?" tanyanya lagi. Andalusia melirik sejenak, lalu menunduk lagi.

"Iya, Profesor. Saya lahir dan besar di Spanyol, meski saya berdarah Indonesia. Saya lahir di taman Alameda de la Alhambra saat ibu saya yang sedang hamil tua melintas di sana. Saya sudah keburu lahir sebelum pertolongan datang. Karenanya saya dinamakan demikian," jelas Andalusia. Rasa kikuknya sudah sedikit berkurang. Nathaniel tampak berpikir sejenak.

"Jadi, Alhambra di namamu tertulis dengan huruf b? Atau Alhamra tanpa huruf b?" tanya Nathaniel. Andalusia mengerutkan dahi dan memicingkan mata.

"La Alhamra Andalusia, tanpa huruf b. Kenapa?" Andalusia ingin tahu.

Nathaniel tersenyum. Ia lalu menyandarkan punggung kukuhnya ke sandaran kursi taman, dan menyilangkan kedua tangannga untuk menghalau dingin yang tak tertahankan.

"Tidak apa-apa. Aku hanya bertanya saja. Kau tahu, secara etimologi, memang seharusnya tertulis tanpa huruf b karena kata itu berasal dari bahasa Arab, 'Al-hamra' yang artinya merah."

Andalusia seketika tercengang. Sementara Nathaniel, ia kembali melanjutkan penjelasan.

"Alhambra, dahulu ia bernama Al-Qal'at Al-Hamra yang berarti The Red Fortress, benteng merah. Konon, merupakan sebuah kompleks istana dan benteng para penguasa bangsa Moor dari Granada di Spanyol selatan yang dikenal sebagai Al-Andalus. Benteng itu dibangun pada sekitar pertengahan abad ke-14."

Andalusia kini menggerakkan kepala dan takjub menatap sosok di sebelahnya.

Nathaniel membalas tatapan Andalusia. Ia lalu kembali tersenyum lantaran melihat kesedihan di wajah Andalusia telah sirna.

Lagi, senyap sejenak menghampiri.

"Apa yang terjadi padamu, Andalusia?" Nathaniel kembali membuka suara. Andalusia sedikit terhenyak karenanya.

"Aku tak sengaja melihatmu keluar dari kelas Dean dengan menangis. Lalu aku mengikutimu dan ternyata benar. Kau sedang sendirian tergugu," sambung Nathaniel lagi.

Andalusia hanya bisa menunduk sambil meremas jemari. Haruskah ia ceritakan pada Profesor Nathaniel tentang kegalauan hatinya ini? Bukankah memalukan sekali?

"Novel yang kau robek tadi, itu novel A Farewel to Hazel karya Dean, kan? Kenapa kau merobeknya? Ada apa? Kau bisa bercerita padaku jika kau mau."

Nathaniel menggerakkan kepala dan menatap Andalusia, dengan tatapan serius untuk menunjukkan bahwa ia sungguh ingin tahu ada apa.

Andalusia yang ditatap, hanya bisa menunduk dalam senyap. Namun sejurus kemudian, baris demi baris kalimat mulai terucap.

"Memalukan sekali ya, Profesor. Betapa naifnya saya. Rela jauh-jauh dari Spanyol ke Inggris hanya demi seseorang yang entah kenapa ternyata begitu membenci saya."

Andalusia kembali berlinang airmata, sedang mulut Nathaniel menganga, seolah tak percaya atas apa yang telah dilakukan sahabatnya. Ya, Nathaniel dan Dean adalah sahabat. Keduanya cukup dekat.

"Tidak mungkin karena islamofobia, kan, Profesor? Karena Dean seorang muslim, sama seperti saya. Saya ... saya sangat sakit hati. Saya sungguh membencinya. Saya ingin pindah kuliah saja." Andalusia terus terisak. Dadanya terasa kian sesak.

Nathaniel sedikit terhenyak.

"Mungkin ini hukuman Tuhan bagi saya, karena niat saya yang salah. Saya tidak benar-benar tulus untuk menuntut ilmu. Niat utama saya adalah karena lelaki itu. Saya sangat malu." Andalusia terus tergugu.

"Hey, listen. Benar mungkin niat awalmu salah. Tapi, bukankah kau tinggal perbaiki niatmu agar baik juga perjalananmu?" hibur Nathaniel. Andalusia kian getir.

"Kau yakin akan berhenti setelah kau melangkah sejauh ini? Apa yang akan ibumu pikirkan nanti? Anaknya pulang ke Spanyol tanpa apa-apa hanya karena lelaki yang ia suka ternyata bersikap tak sesuai harapannya?" Ucapan Nathaniel begitu menohok.

"Saya ...."

"Hanya setahun, Andalusia. Setahun itu tak akan lama. Bertahanlah, lalu kau pulang ke Spanyol dengan gelar master dari salah satu kampus ternama. Lagipula ...."

"Lagipula apa, Profesor?"

"Kau tak ingin membuktikan pada Dean jika sikapnya tak bisa membuatmu menyerah begitu saja?" tanya Nathaniel.

Ditatapnya Andalusia lekat hingga Andalusia mendadak tercekat. Ucapan Nathaniel ada benarnya. Entah mengapa Andalusia tak berpikir ke arah sana.

Menyerah dan pulang menanggung malu, atau bertahan untuk menampar lelaki itu?

"Kau tenang saja. Aku akan bilang pada Dean jika ia harus perbaiki sikapnya," ucap Nathaniel lagi, setelah sejenak keduanya berteman sunyi.

"Tidak. Tidak perlu, Profesor. Saya sudah melaporkan Dean ke dewan universitas via pengaduan email resmi."

Nathaniel tercengang.

Dilaporkan ke dewan universitas? Oh, Dean. Kau dalam masalah. Apa yang membuatmu begitu membenci gadis manis tak bersalah ini?

Napas Nathaniel sedikit tersengal. Ia lalu memejamkan mata sejenak, mendongak menatap langit, seolah ia tengah berkhayal.

Lagi. Keduanya terjerembab sunyi.

"Baiklah, Profesor. Terimakasih sudah menemani dan mendengarkan keluh kesah saya. Sayang sekali ya, Anda tidak mengajar di kelas saya," ucap Andalusia sembari mengemasi barang-barangnya, termasuk memasukkan kembali novel Dean yang sudah tak karuan bentuknya ke dalam ransel warna cokelat tua.

Nathaniel tersenyum.

"Mungkin aku bisa jadi supervisor-mu jika kau nanti berniat melanjutkan S-3 di universitas ini," balas Nathaniel. Ia juga ikut bersiap.

"Sanggupkah saya, Profesor? Menjalani S-2 yang baru sebulan ini saja terasa begitu memberatkan. Apalagi ditambah oleh sikap Dean." Andalusia kembali dirundung kesedihan.

"Eh, sudahlah. Jangan dibahas lagi. Kau pulang ke mana? Mau kuantar?" tawar Nathaniel. Entah mengapa ia berkata demikian. Ia sendiri semacam tak sadar.

"Tidak perlu, Profesor. Saya tinggal dekat sini, di Bradley Street. Hanya sekitar 30 menit berjalan kaki," jelas Andalusia. Ia lalu berjalan beriringan dengan Nathaniel ke pintu keluar taman.

Bradley Street? Bukankah ... Dean juga tinggal di sana?

Nathaniel memicingkan mata. Andalusia langsung bisa menangkap apa maksudnya.

"Iya, Profesor. Menyedihkan sekali, ya. Rumah Dean berdekatan dengan rumah saya. Setiap pagi, saya harus melewati depan rumahnya dan harus melihat wajahnya yang seolah tampak begitu jijik jika melihat saya."

Sekuat tenaga Andalusia menahan airmata. Namun ia tak kuasa. Bulir bening itu jatuh tiba-tiba, hingga Nathaniel kembali menatapnya. Iba.

Dirogohnya saku jas, diambilnya sapu tangan berwarna biru muda dan diberikannya sapu tangan itu pada Andalusia.

"Terimakasih, Profesor."

Hanya itu yang bisa Andalusia ucapkan. Keduanya lalu kembali berjalan, dan berpisah di arah yang berlawanan. Namun sejurus kemudian ....

"Andalusia!" teriak Nathaniel. Andalusia tak mendengarnya.

"Andalusia!"

Nathaniel berteriak sekali lagi. Kali ini Andalusia mendengarnya, lalu berhenti dan menoleh ke arah sumber suara.

Nathaniel tampak setengah berlari, mendekat ke arahnya.

"Aku sampai lupa. Aku sengaja mengikutimu tadi karena kau menjatuhkan ini. Terjatuh dari saku mantelmu saat kau keluar dari kelas Dean," ucap Nathaniel sembari menyodorkan sebuah ponsel berwarna keemasan. Ponsel Andalusia.

"Ya Tuhan, saya sampai tidak sadar jika ponsel saya terjatuh. Sekali lagi terimakasih, Profesor," ucap Andalusia tulus, sambil membelai ponselnya dengan sentuhan halus.

Nathaniel tertawa melihatnya. Sebelum Andalusia kembali berjalan, Nathaniel menahannya dengan sebuah panggilan.

"Apa, Profesor?" tanya Andalusia. Sendu itu kini tak tampak lagi di kilat matanya.

"Jangan panggil aku profesor. Panggil aku Nathaniel saja. Kau pasti mengerti budaya di sini, kan? Cukup panggil nama, tak perlu embel-embel gelar akademis atau sejenisnya," pinta Nathaniel. Andalusia mengulum senyum mendengarnya, lalu menganggukkan kepala.

Kembali berjalan ke arah yang berlawanan, Nathaniel menoleh untuk memastikan Andalusia sudah tak tampak oleh pandangan. Segera, ia meraih ponselnya, lalu mencari kontak seseorang dengan sedikit tergesa.

"Dean, kita harus bicara. Sekarang juga!" ucapnya.

??????????????

Noodle Doodle, sebuah restoran yang menyajikan masakan khas Malaysia dengan berbagai pilihan makanan halal yang terletak di Trippet Lane, Sheffield. Hanya berjarak sekitar 0.7 miles atau kurang lebih 15 menit berjalan kaki dari The University of Sheffield.

Di sebuah sudut di pojok ruangan, Dean tampak menatap nanar ke arah jendela, mengabaikan semangkuk curry noodle di hadapannya. Sejenak ia memejamkan mata, juga menyesap teh hangat tanpa gula, sebelum ia bersuara.

"Lalu aku harus bagaimana, Nat?" tanyanya. Jemarinya memijat kening. Ia merasa teramat pusing.

"Bagaimana aku bisa memberimu saran jika kebenarannya saja tak kau ceritakan? Coba beritahu aku, kenapa kau membenci gadis itu," ucap Nathaniel, sebelum ia mengarahkan sendok berisi nasi goreng tak pedas yang dipesannya.

"Aku tidak membencinya, Nat. Hanya saja ....."

"Tak membencinya? Lalu sikapmu padanya itu apa? Kau membiarkannya menangis berhari-hari tanpa sebab yang pasti. Kau membuatnya ingin menyerah dan berhenti kuliah. Itu apa namanya?" Nathaniel sedikit meninggikan suara. Geram juga ia pada sahabatnya.

Dean urung menyuap makanannya. Netranya kembali nanar menatap jendela.

"Dan sekarang gadis itu sudah melaporkanmu pada dewan universitas. Kau bersiaplah untuk mendapat teguran keras," ucap Nathaniel lagi. Enteng sekali, namun bagi Dean, terasa bagai tusukan belati.

"Jujur sebagai seorang sahabat, aku kecewa berat, Dean. Kau ...."

"Dia mirip sekali dengan Aluna, calon pengantinku yang tak datang di hari pernikahan kami lima tahun lalu!" ucap Dean dengan suara keras, sembari menggebrak meja, hingga belasan pasang mata langsung mengarah pada mereka.

Nathaniel menganga. Sendok yang hampir menyentuh bibirnya, ia turunkan seketika.

Senyap. Keduanya terdiam tanpa suara.

"Kau ingat kan, Nat, saat aku pernah bercerita kalau aku pernah gagal menikah? Hingga detik ini aku masih terluka, Nat. Aku belum bisa memaafkannya, dan gadis muda itu ...."

Dean menghela napas perlahan. Ia tak melanjutkan kalimatnya. Ia justru meraih dompetnya dan mengeluarkan selembar foto yang tersimpan di sana. Foto Aluna. Biarlah Nathaniel menilai sendiri kemiripan mereka.

"Kau nilailah sendiri." Dean menyerahkan foto itu.

"Itu foto Aluna saat muda, saat kami masih jadi mahasiswa di University of St. Andrews, Skotlandia."

Nathaniel hanya bisa diam tanpa kata, demi melihat kemiripan Andalusia dengan Aluna muda. Bak pinang dibelah dua, hanya berbeda di jilbab saja.

"Begitulah, Nat. Lima tahun lamanya aku berusaha menyembuhkan luka. Hampir bisa. Tapi kehadiran gadis itu ... ia membuat rasa sakitku karena Aluna kembali terasa."

Nathaniel serius mendengarkan dengan tetap menatap foto yang masih ia pegang.

"Tapi ini tak adil untuk gadis itu, Dean. Andalusia tak mengerti apa-apa. Bukan salahnya jika ia terlahir dengan wajah mirip Aluna. Kau tak seharusnya bersikap seperti ini padanya." Nathaniel mulai kembali bersuara.

Dean menundukkan kepala. Jemarinya memainkan sendok dan garpu di atas mangkuk makanannya.

"Aku tahu, Nat. Hanya saja ... aku tidak tahu harus bagaimana ketika berhadapan dengannya. Inginku membalas sapaannya, tapi lidahku kelu tiba-tiba. Inginku membalas senyumannya, tapi bibirku kaku seketika. Aku pasti sudah gila," jelas Dean. Nathaniel menatap iba. Ia sendiri tak tahu harus memberi saran apa.

Lagi, keduanya berselimut sunyi, namun kesunyian itu pergi saat notifikasi email di ponsel Dean berbunyi. Dean segera membacanya. Raut wajah Dean yang berubah seketika membuat Nathaniel seolah mengerti apa isi emailnya.

"Dari dewan universitas?" tanya Nathaniel. Dean mengangguk lesu.

"Aku harus menghadap dewan universitas besok pagi." Dean kembali menatap jendela. Ia tak bisa berpikir apa-apa.

"Dean, saat ini aku tak bisa memberimu saran apa-apa. Tapi setelah ini, pulanglah segera. Beristirahatlah, agar kau bisa lebih siap menghadapi sidang dewan universitas," saran Nathaniel. Dean mengangguk perlahan, mengiyakan.

Sekitar sepuluh menit kemudian, keduanya keluar dari restoran. Sebelum berpisah di persimpangan, Dean sempat mengatakan sesuatu yang membuat Nathaniel kembali tercengang.

"Gadis itu ..., maksudku ... Andalusia, besok akan turut dihadirkan dalam sidang," ucap Dean pelan.

Angin berembus cukup kencang, diikuti gerimis yang tiba-tiba datang.

Dean keluar ruangan dengan wajah memanas, karena ia benar-benar menerima teguran keras. Dean memang tak memberitahu dewan universitas tentang alasan sebenarnya, namun di hadapan mereka, Dean mengakui kesalahannya. Saat ini, Dean dalam status on probation atau masa percobaan. Ia diberi waktu tiga bulan untuk memperbaiki sikapnya yang dianggap tak profesional. Sedang Andalusia diberi wewenang untuk secara periodik melaporkan perkembangannya pada dewan. Jika Dean masih bersikap sama, Dean bisa dikeluarkan.

Ya, harga yang mahal untuk apa yang telah ia lakukan.

Dari kejauhan, sepasang mata biru Dean menangkap sosok Andalusia yang tengah berjalan perlahan.

Apa yang harus kulakukan?

Dalam diam Dean bersenandika, bingung harus bagaimana. Namun entah, sebuah kekuatan muncul begitu saja, membuatnya berani memanggil Andalusia.

"Andalusia, tunggu sebentar," panggilnya. Jarak keduanya kini hanya tinggal beberapa jengkal.

Andalusia menoleh tanpa suara. Ia sendiri pun bingung harus bagaimana. Dean Edward Beazley, lelaki yang dicintainya sekaligus dibencinya. Meski begitu, Andalusia menghentikan langkahnya, membiarkan Dean berjalan mendekatinya. Ia ingin tahu Dean hendak berkata apa.

"Andalusia, beberapa saat yang lalu kau meminta tanda tanganku, namun aku mengabaikanmu. Jika kau mau, aku bisa menandatanganinya sekarang."

Susah payah Dean menyusun kalimat, karena di waktu yang sama, ia harus menahan gejolak hatinya yang menggeliat.

Andalusia tak menjawab. Wajahnya datar, namun jemarinya bergerak, meraih salah satu novel karya Dean yang memang ia simpan di ranselnya.

Dean bersiap menerimanya, namun yang dilakukan Andalusia selanjutnya sungguh di luar dugaan. Alih-alih memberikan novel itu pada Dean, Andalusia justru merobeknya dan menghamburkan robekan kertasnya tepat ke wajah Dean.

"Tanda tangan? Anda kira saya bisa disuap dengan tanda tangan Anda agar saya tidak mengawasi sikap Anda dan tak melaporkannya secara periodik pada dewan universitas?" Andalusia menatap Dean tajam.

Ya, airmata Andalusia hampir tumpah. Untuk pertama kalinya, Dean memanggil namanya. Sejujurnya ada buncah bahagia. Sayang, bersamanya juga tersusup lara.

Sementara Dean, ia tak bisa berkata apa-apa. Napasnya tersengal. Jemarinya mengepal. Beberapa orang yang melewati mereka pun mulai berbisik perlahan. Ya, kebanyakan dari mereka memang tahu siapa Dean. Yang baru saja dilakukan Andalusia, tentu saja akan jadi pembicaraan.

Kau sungguh membenciku ya, gadis muda?

Dean bersenandika, dengan menatap punggung Andalusia yang kian menjauh darinya. Sejenak ia memejamkan mata, lalu ikut berlalu, berjalan pulang dengan hati pilu.

Malamnya, Dean semakin nelangsa, sebab video saat Andalusia merobek dan melemparkan sobekan novel ke wajahnya beredar di dunia maya. Ia memejamkan mata. Nyeri seketika melanda. Bukan, bukan karena videonya, melainkan karena komentar-komentar di sana. Mereka semua membelanya dan menyudutkan Andalusia.

Dean berjalan perlahan, membuka jendela kamarnya di lantai dua hingga rumah Andalusia tampak dari kejauhan.

Gadis muda, apa kau baik-baik saja? Aku tahu kau sedang berlinang airmata.

Dean benar. Andalusia meringkuk di ujung pembaringan dengan tangis tak tertahankan. Ia hancur berantakan.

??????????????

Waktu berjalan, tak terasa sudah hampir dua bulan berjalan sejak Dean dilaporkan. Meski di luar kelas Dean tetap belum bisa bersikap sewajarnya pada Andalusia, tapi di dalam kelas, ia sudah lebih bisa membawa diri. Ya, meski sejujurnya itu menyiksa batinnya karena ia jadi semakin dihantui bayang Aluna yang tervisualiasi pada diri Andalusia.

Sementara Andalusia, ia mencoba untuk tak peduli, meski di hati rasanya masih sakit sekali. Dean masih menjadi sosok yang ia benci.

Bandara Heathrow London senja itu menjadi saksi bahwa Dean hendak pergi, terbang menenangkan diri. Christmas break atau libur natal, Dean menggunakannya untuk ke Jakarta. Mengunjungi keluarga dari garis ibunya, juga untuk menghadiri meet and greet di sana bersama pembaca novelnya dan juga dengan aktor Michael Fassbender dan si cantik Alicia Vikander, pemeran utama film A Farewel to Hazel.

Dean sengaja meminta sutradara untuk memilih mereka berdua sebagai pemeran utama setelah chemistry yang keduanya tunjukkan di film Light Between Oceans. Apalagi setelah keduanya menikah beberapa waktu lalu, hingga chemistry keduanya bisa sesempurna itu.

Acara yang sangat sukses di Jakarta membuat Dean sedikit terlupa pada masalah-masalahnya. Ia tak menyangka jika karyanya -yang sejatinya adalah pelariannya untuk menumpahkan rasa karena Aluna- bisa diterima di berbagai belahan dunia.

Ia tersenyum, sembari berjalan meninggalkan tempat acara setelah ramah menandatangani ratusan novel dan berfoto dengan para penggemarnya.

"Dean!"

Seseorang memanggilnya. Dean menoleh, mencari sumber suara. Ia celingukan, namun sumber suara itu tak ia temukan.

"Dean! Woy! Sebelah sini!"

Suara itu lagi.

Dean menoleh ke sebelah kiri. Di tengah kerumunan, tampak seseorang melambaikan tangan. Ia tampak ingin menyeruak, namun terhalang oleh petugas keamanan yang mengamankan acara.

Dean memicingkan mata, lalu sejurus kemudian senyumnya terkembang sempurna.

"Alfarez? Oh my God!"

Dean memekik bahagia, lalu meminta petugas membiarkan sosok itu mendekat padanya.

Alfarez namanya. Dokter Alfarez Akbar. Lelaki keturunan Indonesia - Pakistan dengan fisik mirip aktor Fahry Albar. Alfarez adalah sahabat Dean semasa mereka bersekolah di British School, Bintaro Jaya. Sebuah sekolah elit internasional yang didirikan pada tahun 1973 di bawah naungan kedutaan besar Britania Raya.

"Aku sudah bilang kan, kalau aku mengenalnya? Dean ini sahabatku saat kami SMA," ucap Alfarez pada salah satu petugas keamanan sebelum ia dan Dean saling berpelukan.

"Ya Tuhan, sudah lama sekali ya. Kukira kau menetap di New Zealand," ucap Dean, membuka percakapan.

"Iya, sudah sangat lama. Ke mana saja aku hingga aku tak tahu jika sahabatku rupanya seterkenal itu?" balas Alfarez, lalu keduanya beradu tinju. Kebiasaan lama yang mereka lakukan sejak dulu acapkali mereka bertemu.

"Aku memang menetap di New Zealand sejak kita lulus SMA. Di kota Wellington tepatnya. Tapi sekarang, sepertinya aku akan menetap di Indonesia. Di Surabaya," jelas Alfarez lagi.

Dean menatap Alfarez dengan pandangan menggoda.

"Surabaya? Hmm ... jangan bilang kau terpikat gadis Surabaya. Eh, kau ini sudah menikah atau belum, sih?" tanya Dean. Alfarez tertawa, lalu meninju bahu sahabatnya.

"Itu memang alasanku untuk menemuimu, Dean. Aku ingin mengundangmu ke resepsi pernikahanku. Minggu depan, di Surabaya. Kau bisa, kan?"

Dean menganga mendengarnya. Ia turut bahagia, meski terselip sedikit lara, teringat luka akibat gagal menikah yang dialaminya.

"Aku tak sengaja melihat iklan jika kau akan jumpa fans di sini. Namanya tak asing. Ternyata benar. Kau sudah menjadi penulis kenamaan. Ah, maafkan aku yang tak mengikuti perjalanan hidupmu," lanjut Alfarez. Dean mengulum senyum mendengarnya.

"Aku akan menghabiskan libur natal selama 4 minggu di Indonesia. Jadi, aku rasa aku bisa,"jawab Dean.

"Kau sendiri bagaimana? Sudah beristri, atau masih betah menyendiri? Tapi bagi lelaki sekeren dirimu, aku yakin banyak perempuan sekualitas dirimu yang mau menjadi istrimu," goda Alfarez. Mendengarnya, hati Dean menjerit. Sakit.

Kau tahu Alfarez. Bahkan perempuan yang teramat kucintai meninggalkanku di hari pernikahanku.

"Aku masih menikmati kesendirian. Untuk saat ini, rasanya lebih nyaman." Dean mencoba tersenyum untuk menghalau perih yang tiba-tiba saja menabuh genderang.

"Ah, yang benar saja. Usiamu sudah 35. Kau dua tahun lebih tua dariku, kan? Tapi, itu pilihan, termasuk tentang kesendirian. Apapun yang terbaik untukmu, aku mendukungmu."

Dean dan Alfarez, keduanya lalu berpelukan. Tanda persahabatan, penyalur kerinduan, juga salam perpisahan. Alfarez harus kembali ke Surabaya dan kembali disibukkan dengan persiapan pernikahan.

Kau tahu, Alfarez. Sejak dulu, aku selalu iri padamu. Kau selalu lebih beruntung bagiku. Keluargamu lengkap, tak sepertiku yang sejak kecil tak merasakan belaian ibu hingga hidupku terasa pengap. Ayahmu juga selalu ada, tak seperti aku dan ayahku yang hanya bisa bertemu mungkin setahun sekali saja. Kini kau akan segera menikahi ia yang kau cinta. Sedang aku? Masih sendiri, berteman sepi karena luka cinta. Namun meski begitu, aku turut bahagia. Aku masih ingat kala orang tuamu menganggapku seperti anak mereka sendiri, tepat di saat aku benar-benar membutuhkan figur seperti mereka.

Dalam mobil Dean terus bicara, meski tak ada siapa pun yang bisa mendengarnya. Ya, ia bicara sendiri, dalam hati. Sebuah letupan rasa yang ia pendam selama ini. Di balik kesuksesannya, ada hati yang hampa dan perjalanan hidup yang tak sempurna.

Dean memejamkan mata. Airmatanya luruh tiba-tiba.

Ibu ... mendadak aku rindu.

Ayah ... tak inginkah kau datang memelukku yang tengah tenggelam dalam lumpur gundah?

******************

The Empire Palace, sebuah gedung megah bergaya klasik di jantung kota Surabaya.

Ada empat ruang utama yang dioperasikan di gedung ini, mulai dari Birmingham Palace yang berkapasitas 1000-4000 orang, Kensington Palace, ruang berpilar yang bisa digunakan untuk meeting 50-100 orang, ruang Saint Mary yang berkapasitas sekitar 400 orang, dan juga ballroom maha luas yang bisa menampung hingga 5000 orang.

Ruang Birmingham Palace hari ini tersulap menjadi putih, bernuansa winter wonderland dengan hiasan kristal-kristal menyerupai salju, pepohonan serba putih yang juga seolah berselimut salju, juga lantai dengan salju buatan yang membuat dekorasi ini kian menawan. Sementara di langit-langit, terpasang lampu berbentuk kristal raksasa, dengan ratusan lampu kristal kecil mengelilinginya.

Sempurna. Menyihir siapa saja yang melihatnya, termasuk Dean, yang langsung terbuai keterpanaan saat ia memasuki ruangan.

Dean memakai tuxedo berwarna dark brown yang dikombinasikan dengan dasi dan juga slim vest berwarna light brown. Di saku dada sebelah kanan, sebuah pocket square yang juga berwarna light brown terpasang cantik sebagai hiasan. Dean benar-benar menawan, membuat ratusan pasang mata tak berhenti memandang begitu ia datang.

Menyadari sang sahabat datang, Alfarez segera menyambutnya, meninggalkan istri tercinta yang tengah asik bercengkerama dengan beberapa tamu kehormatan.

Tak kalah menawan, Alfarez tampak sempurna dengan setelan tailcoat (jas dengan bagian belakang memanjang) berwarna putih. Senada dengan gaun indah yang istrinya kenakan.

"Kurang ajar kau, Dean," bisik Alfarez saat keduanya berpelukan. Dean memicingkan mata, tak paham.

"Iya. Kau tampak sempurna. Seharusnya kau tampil biasa-biasa saja. Mana boleh tamu terlihat lebih menawan dari pada pengantinnya?" jelas Alfarez, pura-pura bermuram durja. Dean tertawa seketika.

"Mana bidadarimu? Kenalkan aku padanya, agar setelahnya aku bisa menikmati hidangan di resepsi ini tanpa rasa penasaran," kata Dean sambil menyenggol Alfarez dengan lengannya.

"Baiklah. Tapi berjanjilah jika kau tak akan jatuh cinta padanya. Istriku ini memang cantik sekali, bak bidadari. Awas saja kalau sampai kau jatuh hati," goda Alfarez. Dean benar-benar tergelak mendengarnya.

"Hey, bukan aku yang seharusnya kau khawatirkan. Dengan penampilanku yang menawan seperti ini, aku takut justru nanti istrimu yang akan jatuh hati," ucap Dean, sembari mengangkat alisnya, membuat Alfarez meninjunya hingga Dean mengaduh karenanya.

Keduanya lalu berjalan beriringan, melewati para tamu yang tampak duduk, mengobrol sambil menikmati hidangan yang disajikan.

"Sayang, kenalkan, ini sahabatku, kejutan yang kuceritakan padamu," kata Alfarez.

Jemarinya menyentuh pundak sesosok perempuan berambut hitam panjang, dengan gaun pengantin serba putih dengan pita di belakang, juga dengan bunga putih di kepalanya yang membuatnya menawan, meski tampak dari belakang.

Perempuan itu menoleh dengan menyunggingkan senyuman, namun sejurus kemudian, senyum itu hilang, bersamaan dengan hilangnya senyum Dean.

"Dean, ini istriku, Aluna. Aluna, ini Dean, sahabatku ketika SMA."

Alfarez memperkenalkan keduanya, namun yang diperkenalkan hanya diam tanpa suara. Saling menatap, tanpa satu pun kata terucap.

Sekuat tenaga Dean menghalau genderang dalam dadanya yang kian bertalu, kala ditatapnya wajah cantik di hadapannya itu. Ya, wajah yang sama dengan wajah seseorang yang meninggalkannya sendirian di hari pernikahan, lima tahun lalu.

Aluna Melodia Lee. Sosok yang ia cintai, sekaligus ia benci.

Allahu Rabbi ....
Skenario macam apa lagi ini?

Sementara Aluna, ia juga hanya bisa tertunduk saja, sekuat tenaga menahan airmata yang hendak melesak semaunya. Ada rasa rindu dan rasa bersalah menyeruak dalam dada.

Dean ... kenapa kita harus bertemu?

Aluna tertunduk pilu.

"Hey hey. Kenapa kalian berdua diam saja?"

Ucapan Alfarez menyentak keduanya.

"Ah, maafkan aku. Aku kurang fokus. Sepertinya karena aku agak lelah. Aku terbang dari Jakarta pagi tadi dan langsung ke sini," jelas Dean, mencoba menyapu kekikukan.

"Ah iya, siapa namanya tadi? A ... luna?" tanya Dean, pura-pura.

Alfarez menganggukkan kepala, lalu beringsut ke sebelah Aluna dan menggandengnya. Aluna hanya bisa menurut saja dengan perasaan yang ... entahlah. Ia sendiri tak mampu menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya. Ia sungguh tak menyangka jika Alfarez dan Dean saling mengenal. Semalam, Alfarez memang memberitahunya jika sahabatnya akan datang, namun Alfarez tak pernah menyebutkan nama Dean.

"Iya, Aluna. Aluna Melodia Lee. Nama yang indah, seindah sosoknya," jelas Alfarez. Ia lalu mengangkat jemari Aluna dan menciumnya. Dean tak kuasa melihatnya.

"Senang berkenalan denganmu, Aluna. Hmm ... maksudku, Nyonya Alfarez Akbar," kata Dean.

Aluna pura-pura tersenyum tanpa bisa menyusun perkataan. Hatinya bergemuruh tak karuan.

"Kau tahu, Alfarez. Nama istrimu mengingatkanku pada seseorang," kata Dean tiba-tiba, hingga Aluna terhenyak karenanya.

Tolong, Dean. Jangan beritahukan pada Alfarez tentang kisah kita. Kumohon.

Dalam hati Aluna menghiba, meski ia tahu Dean tak bisa mendengarnya.

"Benarkah?" Alfarez ingin tahu. Dean menganggukkan kepala.

"Iya, sosok dari masa laluku. Namanya juga Aluna. Tapi ... ia sudah mati. Sudah lama sekali," jelas Dean, sembari sekilas melirik tajam ke arah Aluna.

Ia memang sengaja. Ia ingin Aluna merasakan pedih yang ia rasa. Sementara Aluna yang dilirik, segera memalingkan muka.

"Jadi, ini alasanmu masih menyendiri hingga kini?" tanya Alfarez, dengan rasa terkejut yang tak kunjung sirna. Dean menganggukkan kepala.

Lalu sunyi menghampiri, hingga beberapa detik kemudian, Dean bersuara kembali.

"Piano di sebelah sana, bolehkah aku memainkannya? Anggap saja hadiah untuk pernikahan kalian berdua," pinta Dean. Alfarez langsung mengiyakan.

"Tapi, Dean. Sebelum itu, temuilah orang tuaku dulu. Mereka merindukanmu," kata Alfarez. Jemarinya bergerak, menunjukkan pada Dean di mana kedua orang tuanya.

Tanpa menunda, Dean segera ke sana. Memeluk keduanya, hingga ibu Alfarez berurai airmata. Setelahnya, Dean segera berjalan ke sudut ruangan, di mana sebuah piano putih menunggunya untuk dimainkan.

Tepat sebelum ia menyentuh pianonya, netranya tiba-tiba terpaku pada dua orang yang rupanya tengah menatapnya. Orang tua Aluna.

Mata Dean memerah. Ia memalingkan wajah untuk menahan amarah. Lima tahun lalu, mereka bilang tak tahu ke mana Aluna. Tapi kini? Mereka di sini. Mungkinkah hilangnya Aluna lima tahun lalu memang disengaja?

"Ladies and gentlemen. Sahabat saya ketika SMA. Dean Edward Beazley. Penulis kenamaan yang telah mendunia. Beberapa dari kalian mungkin sudah membaca novelnya atau menonton film yang diadaptasi dari novelnya. Sekarang ia di sini untuk bernyanyi."

Suara Alfarez yang terdengar melalui pengeras suara membuat semua tamu langsung riuh rindah. Beberapa berebut maju ke depan untuk mengambil foto Dean.

"Eits, tolong dikondisikan ya. Saya mohon, para tamu duduk kembali. Biarkan Dean menyumbangkan suara emasnya sebagai hadiah pernikahan untuk saya dan istri," ucap Alfarez lagi.

Meski sedikit kecewa, para tamu pun duduk kembali. Sedang Alfarez menggandeng Aluna untuk duduk di pelaminan, menunggu Dean untuk bernyanyi.

Pemanasan. Dean memainkan beberapa nada sebagai permulaan. Aluna tak berani menatap. Gemuruh di hatinya kian meluap-luap.

Semua kini terdiam, seiring dengan alunan piano yang mulai terdengar. Belum, Dean belum mulai bernyanyi. Namun intro indah yang ia mainkan mampu membuat para tamu tersihir melodi.

Dean memejamkan mata, sebelum bibirnya mengurai lirik lagu untaian rasa.
....

Speak softly, love and hold me warm against your heart.
I feel your words, the tender trembling moments start.
We're in a world, our very own.
Sharing a love that only few have ever known.
.....

Para tamu saling pandang, demi mendengar suara Dean yang begitu indah dan menggetarkan. Sementara Aluna, ia menunduk perlahan. Airmatanya mulai berlinang. Lagu ini ... tentu saja ia mengenalnya, sebab ini adalah lagu yang Dean nyanyikan untuknya saat Dean menyatakan cinta.

....

Wine-colored days warmed by the sun.
Deep velvet nights when we are one.

....

Suara Dean terus membahana, mengikuti musik yang keluar dari tuts-tus piano yang dimainkannya.

Ya, Dean memang sengaja, agar Aluna ingat kenangan mereka.

Bertahun-tahun silam di Cafe Laurent, sebuah kafe romantis berinterior klasik di daerah Rue Dauphine, Paris, Dean memainkan lagu ini untuk menyatakan cinta pada Aluna, sebuah rasa yang ia tak lagi mampu menyembunyikannya sejak ia dan Aluna dipasangkan dalam drama Phantom of the Opera.

....
Speak softly, love so no one hears us but the sky.
The vows of love we make will live until we die.
My life is yours and all because ....
You came into my world with love, so softly love.
....

Dean terus menyihir semua orang dengan suara dan permainan pianonya. Sedang angannya berkelana, mengenang hari-hari manisnya bersama Aluna.

Saat itu, ia dan teman-teman club drama dari University of St. Andrews Skotlandia mendapatkan undangan untuk tampil di Folies Bergère, sebuah rumah opera di daerah Rue Richer, Paris. Ya, performa sempurna mereka saat memainkan Phantom of the Opera rupanya membuat mereka mendapat undangan untuk tampil di beberapa negara. Prancis salah satunya.

Tak tanggung-tanggung. Mereka mendapat tantangan untuk menampilkan drama musikal Notre Dame de Paris yang diadaptasi dari novel The Hunchback of Notre-Dame karya penulis asal Prancis, Victor Hugo.

Dean berperan sebagai Quasimodo, seorang lelaki yang terlahir dengan bongkok dan ditakuti oleh penduduk kota. Sedang Aluna berperan sebagai Esmeralda, seorang gadis muda yang selalu menggoda para pria dengan tarian menggoda.

Tak ternyana, drama Notre-Dame de Paris yang pada awalnya mereka takut tak bisa menampilkan dengan sempurna, rupanya mampu membuat para penonton berdiri dan bertepuk tangan semua. Dean Aluna, nama mereka semakin bersinar sebagai raja dan ratu pentas drama. Tak hanya di Skotlandia, namun juga di beberapa negara.

Karenanya, Dean mengajak Aluna untuk merayakan keberhasilan mereka di kafe romantis ini, sekaligus untuk menyatakan rasa cinta yang sudah cukup lama terpatri dalam hati.

....
Wine-colored days warmed by the sun.
Deep velvet nights when we are one.
....

"Aluna, kamu baik-baik saja?" Alfarez menatap istrinya yang mendadak pucat pasi. Padahal ia baik-baik saja sejak tadi.

Aluna bingung, bak orang linglung. Sekuat tenaga ia mencoba menjawab pertanyaan Alfarez dengan sikap biasa, agar Alfarez tak curiga.

"Aku baik-baik saja, Mas. Aku hanya sedikit lelah," jawabnya. Alfarez kembali menatapnya, lalu mengeratkan genggamannya pada jemari Aluna.

Dean terus bersuara, menyalurkan lara hati yang selama lima tahun ini membelenggunya.

Aluna, Sayang.

Mengertikah kau jika lara hati yang kau sebabkan sungguh tak tertahankan?

Ya, kau benar-benar jelmaan sosok Hazel di novel A Farewel to Hazel, yang tega meninggalkan kekasihnya di hari pernikahan demi lelaki lain yang lebih menawan.

Tapi ... hey Aluna Sayang.

Di antara milyaran lelaki di dunia ini, kenapa harus Alfarez yang kau jadikan tambatan?

Kau koyak hatiku dengan ribuan duri sembilu lima tahun lalu. Lalu kini kau taburkan garam di atas luka itu dengan kau menikahi sahabatku.

Dalam hati Dean bersenandika, meski jemarinya tetap lincah bergerak dan bibirnya tetap bersuara.

Ditatapnya sejenak Aluna yang tampak tak tenang, sebelum baris-baris terakhir lagu ia dengungkan.

....

Speak softly, love so no one hears us but the sky.
The vows of love we make will live until we die.
My life is yours and all because ....
You came into my world with love, so softly love.

....

Lirik terakhir telah usai Dean nyanyikan. Tepat saat nada terakhir ia mainkan, Aluna tiba-tiba hilang kesadaran.

"Good bye, Aluna," gumam Dean, perlahan.

***********************

B E R S A M B U N G

Huhuhu nyesek ya :(
Kira-kira kenapa Aluna dulu tega meninggalkan Dean?
Bagaimana kelanjutannya? Nantikan ya, di :

PART - 4 : Honeymoon In Hell

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram