A N D A L U S I A
By Fissilmi Hamida
Part sebelumnya :
Novel Andalusia Part 1
Novel Andalusia Part 2
Novel Andalusia Part 3
Novel Andalusia Part 4
Novel Andalusia Part 5
Novel Andalusia Part 6
Novel Andalusia Part 7
PART 8 : PLEASE, COME BACK TO ME.
Dean Edward Beazley?
Kim Edward Beazley?
Nama tengah dan nama belakang yang sama?
Kenapa aku tak menyadarinya?
Andalusia kembali bersenandika sembari memegang kepalanya yang mendadak sakit luar biasa.
Sungguh, selama beberapa detik, gerak dunia serasa terhenti. Namun sejurus kemudian, saat ia sedikit bisa menguasai diri, ia beringsut dan memungut potongan koran lama yang luruh dari genggaman ibunya. Ada foto seorang lelaki di sana. Ya, foto sang pengacara. Diamatinya saksama. Benar, jika diperhatikan, sekilas mirip Dean wajahnya. Ia baru menyadarinya.
Tubuhnya bergetar hebat, bak tersengat aliran listrik maha dahsyat.
Dean Edward Beazley.
Kim Edward Beazley.
Ia kembali menggumamkan kedua nama itu dalam diam. Hatinya luruh redam.
"Ibu ...," panggilnya. Ia lalu jatuh di pelukan sang ibu yang juga tengah berselimut pilu.
Keduanya tersedu, saling berpelukan hingga beberapa menit berlalu.
"Ibu ... jelaskan padaku. Kenapa Ibu seyakin itu?" Andalusia kian pilu dalam rengkuhan sang ibu.
"Awalnya ... Ibu tak tahu jika ia anak pengacara itu. Ibu pun tak menaruh rasa curiga saat beberapa kali membaca namanya tersemat di novel-novel yang kau baca, karena nama tengah dan nama belakang sama bukan berarti ada hubungan darah. Tapi ...."
Sekuat tenaga mencoba kuat untuk menjelaskan pada putri tercinta, rupanya ibu Andalusia tetap tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia kembali tersedu. Ada gergaji yang tengah mengoyak kalbu hingga menjadi serpihan-serpihan kecil.
Terbayang wajah sang suami yang telah pergi untuk selamanya, terbayang senyum dan hangat rengkuhannya yang sejak 7 tahun lalu tak lagi bisa ia rasa.
"Tapi apa, Bu?"
Andalusia yang tak kalah lara kembali bertanya. Digenggamnya jemari sang ibu, berharap beberapa ampere kekuatan tersalur dengan cara itu.
"Ibu memang tak melek pada berita. Tak paham soalan selebriti dunia. Hingga hari itu, ibu melihat videomu muncul di berita, saat kau melempar serpihan-serpihan kertas ke wajah lelaki itu."
Lagi, sang ibu menjeda kalimatnya, hingga semakin memuncak riuh gemuruh di dada Andalusia. Ia ingin kalimat sang ibu tuntas segera, namun ia tahu, segala hal menyangkut sang ayah adalah hal yang teramat menyakitkan bagi sosok yang telah melahirkannya itu.
Andalusia mencoba untuk sabar, meski gemuruh di hatinya kian ingar.
"Entah. Wajah pengacara biadab itu langsung terbayang begitu Ibu melihat wajahnya. Dean Edward Beazley. Begitu nama yang tertera di berita. Saat itu, Ibu baru ingat jika itu nama penulis novel-novel yang kau baca."
Andalusia memejamkan mata. Sakitnya kian tak terperi. Rasanya bak ingin menenggelamkan diri ke dasar bumi.
Tak lagi berpelukan, kini Andalusia dan sang ibu duduk bersebelahan, dengan jemari yang saling erat menggenggam.
"Hati Ibu mendadak tak tenang saat sadar jika nama tengah dan nama belakang keduanya sama. Karenanya, Ibu mencari info segera. Benar. Lelaki itu rupanya penulis terkenal, kan? Dan nama ayahnya adalah Kim Edward Beazley, pengacara itu."
Sang ibu kembali tersedu. Andalusia kian hanyut dalam pilu.
"Kemudian Ibu tahu jika lelaki itu ternyata pengajar di kampusmu. Saat itu, Ibu hanya berharap kau baik-baik saja, tak mendapatkan masalah karenanya."
Lagi, kalimat sang ibu berjeda. Andalusia menundukkan kepala. Rasanya sulit untuk mencerna ini semua.
Hening. Mereka bergeming dalam kubangan bulir bening.
Namun tiba-tiba, sang ibu tertegun. Ia lalu beringsut, menghadap Andalusia dan memegang erat bahunya. Ditatapnya Andalusia tajam.
"Jawab Ibu, Nak. Apa itu alasanmu sebenarnya untuk bersikeras ke Inggris? Untuk bertemu penulis idolamu yang ternyata adalah putra dari pengacara yang menjadi penyebab kematian ayahmu?" tanyanya. Andalusia terhenyak.
"Ibu ... aku ...." Ah, sial. Lidah Andalusia seketika kelu.
"Jawab Ibu, Andalusia."
Sang ibu menghiba. Andalusia semakin tak kuasa menahan airmata.
Oh, Allah.
Mengapa serumit ini?
"Maafkan aku, Ibu. Memang benar itu alasan utamaku. Maafkan aku ... maafkan aku ...." Andalusia terus tersedu.
Sang ibu mendesah. Hatinya seolah pecah. Begitu pun Andalusia. Hatinya perih oleh rasa yang tak terarah.
"Dan sekarang kau bawa lelaki itu ke sini dan kau perkenalkan ia pada Ibu sebagai calon suamimu. Rasanya ternyata semenyakitkan itu. Ya Allah ...."
Sang ibu melepas jemarinya dari genggaman Andalusia. Ia lalu menangis sejadi-jadinya sembari memegang dada sebelah kiri. Nyeri. Tak terperi. Sakit sekali.
Andalusia pun sama. Ada nyeri teramat luar biasa. Namun, besarnya cinta membuat pikirannya mencoba mencari celah bahwa pendapat sang ibu itu salah.
"Bu, bisa jadi ayah Dean adalah Kim Edward Beazley yang berbeda dengan Kim Edward Beazley pengacara itu, Bu. Bisa jadi Ibu salah," ucapnya.
Sang ibu kembali menatap putrinya. Ada rasa tak tega, namun sungguh, ia tak bisa menerima ini semua.
"Buka ponselmu dan carilah sendiri!" sentak sang ibu.
Maka bersegera Andalusia meraih ponselnya. Jemarinya bergetar saat menuliskan nama Dean Edward Beazley di sana. Di laman Wikipedia, ia baca data Dean dengan saksama. Benar, ada nama Kim Edward Beazley sebagai nama ayahnya.
Ia ragu untuk meng-klik sebaris nama berwarna biru itu.
"Kenapa ragu? Buktikan sendiri kebenaran ucapan Ibu!"
Andalusia memejamkan mata ketika jemarinya menekan nama Kim Edward Beazley. Saat ia membuka mata, lemaslah dirinya. Kian luruh pertahanannya.
Kim Edward Beazley.
Data diri termasuk fotonya ada di sana, tertulis sebagai pengacara yang kiprahnya sudah mendunia. Nama Dean Edward Beazley tertulis sebagai nama anaknya. Sedang fotonya, sama persis dengan lelaki yang fotonya terpampang di potongan koran lama yang teronggok di sebelahnya.
Kini giliran Andalusia yang menangis sejadi-jadinya. Cukup keras, hingga Dean bisa mendengarnya. Ia semakin bertanya-tanya ada apa.
"Demi Ibu, tolong tingalkan ia. Ibu tidak akan sanggup melihatmu bersanding dengan anak pengacara itu," pinta sang ibu.
Andalusia tak bisa berkata apa-apa.
Tangisannya kini terhenti, tak ada airmata lagi. Lalu kemudian ia tertawa, menertawakan kebodohannya yang terbutakan cinta. Namun saat sang ibu mendekat dan merengkuhnya, suara tawanya tak lagi menggema. Terus memelan, dan kembali berganti menjadi isakan.
Terbayang jelas kejadian 7 tahun lalu, saat ia sampai tak sadarkan diri ketika mendengar kabar memilukan itu.
************
SMA IES Beatrize Galindo, sebuah SMA negeri dual bahasa (Spanyol dan Prancis) di Calle de Goya, Madrid, tak jauh dari rumah Andalusia.
Kala itu Andalusia tak bisa berkonsentrasi mengerjakan project science-nya. Ya, sejak sang ayah dinyatakan bersalah dan dipenjara dua bulan lalu, hidup Andalusia terasa berbeda. Semangat hidupnya seolah sirna. Belum lagi, beberapa hinaan yang ia terima lantaran kini ayahnya seorang narapidana.
"Ayahku tidak bersalah! Pengacara itu yang memutarbalikkan fakta sehingga ayahku dipenjara!"
Begitu selalu pembelaannya acapkali ada yang mengolok dirinya. Bahkan pagi tadi, ia hampir memukul salah satu siswa karena mengatakan bahwa ia anak narapidana yang bahkan seisi Madrid tahu tentang kejahatan ayahnya.
"Señorita Josefina?"
Andalusia yang tengah menatap jendela menoleh saat seseorang menyentuh pundaknya. Josefina, salah satu gurunya. Ada dua guru yang lain yang datang bersamanya. Andalusia curiga, sebab mereka memasang ekspresi wajah tak biasa.
Josefina mendudukkan diri di sebelah Andalusia dan menggenggam jemarinya. Andalusia semakin bingung ada apa.
"Sé fuerte, Andalusia," ucapnya, meminta Andalusia untuk kuat. Hati Andalusia bak tersengat.
"Qué está pasando, Senorita? Ada ... apa?" tanya Andalusia. Josefina semakin mengeratkan genggaman pada jemari Andalusia.
"Senorita?" Andalusia kembali bertanya. Salah satu guru beringsut, lalu memegang kedua pundak Andalusia, seolah ingin menguatkannya.
"Lo siento Andalusia. Tu padre es encontrado muerto en la cárcel," jelas Josefina, lirih.
Andalusia tak bisa berkata apa-apa.
Ayah ... ditemukan meninggal di dalam penjara?
Napasnya sesak seketika. Menangis pun ia tak bisa. Jiwanya seketika melayang. Ia hilang kesadaran. Saat ia sadar, barulah ia histeris. Alcala, sang kakak yang berusaha menenangkannya pun tak digubris.
Ya, selain karena ia tak bisa menerima kabar kematian sang ayah, hubungannya dengan Alcala memang telah lama pecah. Bermula sejak vonis bersalah ayahnya dijatuhkan. Alih-alih merasa berduka, Alcala justru terlihat penuh kelegaan.
Andalusia tak bisa menerimanya. Pun, Alcala selalu meyakinkannya jika ayah mereka memang bersalah dan pantas menerima hukuman. Sedang Andalusia selalu percaya jika sang ayah tak pernah melakukan perbuatan yang dituduhkan.
"Puas, Kak? Puas? Kakak selalu bilang jika Ayah memang pantas dipenjara, kan? Apa sekarang Kakak juga bahagia melihat Ayah meregang nyawa di sana?"
Andalusia mengamuk. Setelah mencabut paksa selang infus yang terpasang di tangan kirinya, Andalusia melempar semua benda pada kakaknya. Sementara Alcala yang kala itu sudah berusia 28 tahun, hanya bisa mematung, membiarkan adik tercinta melampiaskan kekesalan padanya.
Namun di satu titik, Andalusia luruh juga. Di pelukan sang kakak kini ia meluapkan tangisnya.
Kau tidak akan mengerti karena kau masih terlalu muda, Andalusia. Tapi suatu saat nanti, kau pasti akan mengerti.
Begitu Alcala bersenandika, sembari merengkuh erat tubuh Andalusia yang bergetar hebat. Ia sendiri pun tersayat, namun ia mencoba untuk kuat. Apalagi saat sang ibu mengalami guncangan jiwa, hingga selama beberapa bulan harus dirawat di rumah sakit jiwa di daerah Calle Visitacion.
Ya. Perjuangan yang tak mudah hingga akhirnya baik sang ibu, atau pun Andalusia bisa bangkit dan kembali menemukan semangat hidup mereka. Siapa sangka jika 7 tahun kemudian Andalusia menjalin hubungan dengan anak dari pengacara yang telah membuat hidupnya tak lagi sama.
************
"Apa yang terjadi, Andalusia?" tanya Dean saat melihat Andalusia muncul dan mendekatinya.
Jutaan tanda tanya memenuhi kepalanya. Percakapan Andalusia dan ibunya yang terasa janggal, isakan ibu Andalusia yang masih terdengar, hingga wajah Andalusia yang mendadak muram.
Andalusia diam saja, sembari menghapus sedikit bulir bening yang masih membekas di pelupuk matanya.
"Andalusia, ada apa? Please, jangan buat aku bertanya-tanya," ucap Dean lagi demi melihat Andalusia yang tetap bergeming tanpa suara.
"Kita ke hotel sekarang," jawab Andalusia singkat.
Ia menarik koper ke dekat pintu tanpa sedikit pun memandang Dean, membuat Dean kian kebingungan.
"Ke hotel? Sekarang? Tapi kenapa?" Dean masih terus bertanya.
Memang, selama di Madrid, ia akan menginap di hotel Antonina Monasterio Martinez, tak jauh dari tempat tinggal Andalusia. Tapi, bukankah seharusnya ia berbincang-bincang dulu dengan ibu Andalusia untuk mengutarakan maksud hatinya?
"Kita ke hotel sekarang!" kata Andalusia, cukup keras.
Dean terhenyak. Tapi, ia pun hanya bisa menurut, mengikuti keinginan Andalusia.
Sepanjang perjalanan menuju hotel, keduanya saling diam. Ingin rasanya Dean bertanya pada Andalusia tentang apa yang tengah terjadi sebenarnya. Tapi ia urung setelah melihat sosok yang dicintainya itu beberapa kali menghapus airmata.
"Apa ini?" tanya Dean sembari menerima selembar potongan koran yang diberikan Andalusia, begitu mereka sampai di kamar hotel.
"Bacalah," kata Andalusia pelan. Ia lalu mendudukkan diri di tepi ranjang dengan bulir bening yang kembali menggenang.
Sambil berjalan ke arah jendela, Dean membaca Koran itu dengan saksama. Apalagi setelah ia melihat foto sang ayah terpasang di sana.
Di potongan koran itu, ada berita tentang kasus kejahatan yang dilakukan oleh Mahmoud Husein, seorang senior project manager di perusahaan raksasa Airbus.
Di sebuah paragraf, Dean memicingkan mata. Ada nama ayahnya, Kim Edward Beazley, tertera sebagai pengacara yang berhasil mengungkap dan menuntaskan kasus ini.
Segera, Dean mendekati Andalusia yang kian kentara suara tangisnya.
"Apa maksud semua ini, Andalusia?"
Dean masih belum bisa memahami maksud ini semua.
Mahmoud Husein?
Ayahku?
Andalusia yang terus menangis?
Apa hubungannya?
"Dean ... apa ... benar jika kau adalah ... putra dari pengacara Kim Edward Beazley, yang fotonya ada di potongan koran ini?"
Terbata Andalusia bertanya. Dadanya sesak hingga rasanya untuk bernapas pun ia tak bisa.
"Iya, benar. Aku memang putra tunggal pengacara Kim Edward Beazley, meski kami sangat jarang bertemu. Kau kenal Ayahku?" tanya Dean.
Mendengarnya, Andalusia seketika menelungkupkan kedua telapak tangan di wajahnya. Lalu tangisannya menggema memenuhi seisi ruangan. Dean semakin kebingungan.
"Tolong Andalusia, jelaskan padaku, apa yang sebenarnya terjadi. Tolong jangan buat aku kebingungan seperti ini."
Dean menghiba, Andalusia tak mempedulikannya. Ia tetap bergeming dalam tangis yang kian kentara.
Dean menghela napas.
"Baiklah, menangislah jika memang itu bisa membuatmu lebih tenang. Menangislah sepuasmu. Tapi setelah itu, tolong ceritakan semuanya padaku agar aku mengerti apa masalahmu," kata Dean lembut. Andalusia mengangguk.
Sayang, hingga beberapa menit berlalu, Andalusia tetap tergugu. Iba, Dean memandang kekasih hatinya. Hatinya turut lara. Sedih lantaran tak bisa melakukan apa-apa.
"Ini, minumlah."
Dean menyodorkan sebotol air putih setelah Andalusia tampak lebih tenang.
"Mahmoud Hussein yang ada di koran itu ... ia ... ia adalah ayahku, dan pengacara yang sudah membuatnya dipenjara hingga meregang nyawa di sana adalah ... adalah ... ayahmu."
Tangis Andalusia kembali pecah.
Dean mengelus dada. Benar-benar bagai disambar petir ia mendengar ini semua.
“Gara-gara ayahmu, aku jadi kehilangan ayahku. Saat itu, ibuku sampai harus mengalami depresi cukup lama. Ia tak lagi bisa bekerja dan harus dirawat di rumah sakit jiwa."
Andalusia terus bersuara. Dean benar-benar tak tahu harus menanggapi apa.
"Aku ... aku tidak bisa lupa bagaimana aku yang masih SMA harus belajar di rumah sakit jiwa. Aku harus menunggui ibu karena kakak bekerja di Sevilla. Meski aku tak akur dengannya, ia bekerja keras untuk membiayai kami sekeluarga."
Sejenak berjeda. Tangis Andalusia tak mereda. Dean memberi ruang pada Andalusia untuk menumpahkan segala rasa, meski ia sendiri bak tak bisa mencerna. Semua terlalu tiba-tiba. Mimpi indah yang hendak ia bangun bersama Andalusia, runtuh seketika. Ia seolah telah mengerti bagaimana akhir dari ini semua.
"Dulu aku sempat berniat untuk masuk sekolah hukum agar kelak aku menjadi pengacara yang hebat, yang akan mengalahkan kebejatan Kim Edward Beazley, pengacara pembunuh itu!"
Memanas mata Dean, bersamaan dengan bara yang menjalari sekujur badan. Ia merasa begitu iba pada nasib tragis yang menimpa ayah Andalusia, tapi, salah satu sisi hatinya juga merasa tidak rela jika Andalusia menyebut ayahnya sebagai pengacara pembunuh.
"Bahkan ... andai saja tak berdosa, aku akan dengan senang hati membunuh Kim Edward Beazley." Andalusia tak mampu lagi mengontrol diri. Ia dipenuhi letupan emosi.
"Andalusia ...."
Dean bermaksud menanggapi perkataan Andalusia, tapi gadis itu sudah lebih dulu memotongnya.
"Kenapa ayahmu begitu jahat, Dean? Kenapa ayahmu tega membuat ayahku dihukum mati karena kesalahan yang tak ia lakukan? Kenapa?"
Andalusia kembali menelungkupkan tangan di wajahnya. Ia sudah tidak mampu lagi berkata-kata.
Dean memukul dahinya cukup keras, sedikit berusaha untuk menghilangkan pening yang tiba-tiba mendera.
"Andalusia, aku tahu siapa ayahku. Ia tak mungkin menuntut ayahmu jika memang ayahmu tidak bersalah," ucap Dean, membela ayahnya. Entah. Ia sendiri tak mengerti. Kalimat itu seolah muncul begitu saja.
Andalusia mendongak. Kali ini, ia menatap Dean dengan tatapan yang begitu tajam. Bak singa lapar yang siap menerkam.
"Aku juga sangat tahu siapa ayahku. Ayah adalah orang yang sangat baik yang tidak mungkin melakukan perbuatan senista itu!" Andalusia tak mau kalah.
"Perlu kamu tahu, Andalusia. Ayahku adalah pengacara yang sangat jujur. Aku tahu reputasinya. Ia tak sembarangan membela orang. Ia hanya mau membela orang yang benar-benar menjadi korban." Dean masih terus membela ayahnya. Andalusia tak terima.
"Bisa saja, kan, pihak lawan memberikan bayaran yang begitu besar pada ayahmu? Aku yakin, uanglah yang membuat ayahmu tega memenjarakan ayahku sampa ia meninggal di sana!"
Andalusia meninggikan suara. Ia tak lagi duduk di tepi peraduan. Ia dan dan Dean kini saling berhadapan.
"Jaga bicaramu, Andalusia. Ayahku tidak seperti itu!" Emosi Dean ikut memuncak.
"Tapi kenyataannya, ayahmu memang seorang pembunuh! Entah sudah berapa banyak orang tak bersalah yang harus dihukum karena ulah pengacara licik sepertu ayahmu!"
Andalusia mengacungkan telunjuknya tepat di hadapan wajah Dean.
"Ayahku bukan pembunuh!" Kali ini, emosi Dean benar-benar sudah merambat sampai ubun-ubun.
"Pembunuh!" teriak Andalusia.
Mendengarnya, Dean reflek mengayunkan tangan kanan ke arah gadis di hadapannya dan ...
"Plak!"
Tangan kanan Dean sukses mendarat di pipi kiri Andalusia.
"Dean ...."
Andalusia benar-benar tak percaya atas apa yang baru saja dialaminya. Dean, lelaki yang begitu ia cinta, berani menamparnya?
"Ya Allah. Maaafkan aku, Andalusia. Aku khilaf. Aku tak sengaja. Aku reflek melakukannya. Aku ...."
“Cukup, Mr. Beazley! Ini, kukembalikan cincin darimu. Aku tak bisa lagi memakainya!" ucap Andalusia sembari melepas cincin dari jari manisnya, lalu melemparnya pada Dean.
Dean kembali terhenyak. Cincin itu tepat mengenai wajahnya. Ia tak sempat mengelak. Ia juga tertegun. Dengan memanggilnya Mr. Beazley, jelas Andalusia sengaja menciptakan jarak. Bukti bahwa emosinya benar-benar memuncak.
"Tenang dulu, Andalusia. Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Saat ini kita masih sama-sama emosi," pinta Dean.
Andalusia menggeleng. Ia justru bersiap-siap untuk meninggalkan kamar hotel itu.
"Maaf, Mr. Beazley. Semuanya memang harus berakhir di sini. Aku tak mungkin menikah dengan anak pengacara yang sudah membuat ayahku dipenjara sampai mati. Maaf, aku harus pergi," kata Andalusia yang masih berurai airmata.
"Andalusia, tunggu, Andalusia!"
Dean berusaha menarik lengan Andalusia yang sudah hampir menggapai pintu keluar.
"Sudahlah, Mr. Beazley. Mungkin kita memang tidak berjodoh. Lupakan aku. Aku juga akan melupakanmu. Kisah kita sudah tutup buku," ucap Andalusia sembari melepaskan lengannya dari tangan Dean, sebelum ia berlalu dan meninggalkan Dean dalam kesendirian.
Dean hanya bisa menatap kepergian Andalusia dengan perasaan yang ... entah. Bagaimana ia harus menggambarkannya. Nanar, ditatapnya cincin yang kini sudah berada di genggamannya.
Allah ....
Apa semua memang harus berakhir seperti ini? Kenapa semua menjadi begitu rumit?
Dean berjalan lunglai menuju peraduan, merebahkan diri yang luar dalam terasa luruh redam.
Kerapuhan kembali menjalari jiwa, kerapuhan yang sama dengan yang pernah ia rasakan saat ia harus ia harus melihat Aluna bersanding dengan Alfarez, sahabatnya.
Dean memejamkan mata. Tetes demi tetes mutiara bening mulai membasahi pipinya.
Dipandanginya lagi cincin yang tadi dikembalikan Andalusia. Perlahan, digenggamnya kembali cincin itu, sampai ia terlelap di tengah kerapuhan hati yang perihnya tak terperi.
Di suatu sudut kamar di tempat yang berbeda, seorang gadis juga tengah merasakan kerapuhan yang sama. Ia terus tergugu di pangkuan ibunya.
************
The University of Sheffield, setelah tiga purnama berlalu, sejak Dean dan Andalusia dihadapkan pada sebuah kenyataan pilu yang membuat hubungan mereka menemui jalan buntu.
Nathaniel urung mengetuk pintu ruangan Dean saat dilihatnya Dean sedang menengadahkan tangan, merendahkan diri, memohon pada Rabb sang penguasa kehidupan.
Nathaniel tertegun. Ia sudah sering melihat Dean salat, membaca Qur'an, juga berdoa. Namun entah, kali ini rasanya berbeda.
Ia tahu Dean tengah menghadapi masalah berat soal kandasnya hubungannya dengan Andalusia. Dean sudah menceritakannya.
Jujur, ada sedikit bahagia terpercik di sudut hati terdalamnya kala mendengarnya. Tapi, melihat Dean dan Andalusia sama-sama terluka, Nathaniel memilih untuk mengabaikan perasaannya.
Lagi, Nathaniel terus mengamati Dean yang masih menengadahkan tangan. Sesekali terlihat bahunya terguncang.
Nathaniel menghela napas. Selama ini hidupnya bebas, tanpa batas. Ia tak mengenal eksistensi Tuhan. Baginya, hidup tak perlu aturan. Namun saat melihat Dean bersimpuh seperti ini, rasanya ada gelora menyeruak dalam hati.
Hampa.
Ya, Nathaniel merasa hampa, sebab saat ia gundah gulana, saat ia terkungkung kecewa, ia selalu melampiaskannya dengan minuman keras, atau bercinta sepuasnya. Dengan Helena, atau one night stand dengan siapa pun yang mau ia ajak bercinta.
Tapi Dean?
Ia berbeda. Ia melampiaskan rasa sakitnya dengan menangis di hadapan penciptanya. Bersimpuh, berdoa, juga membaca ayat-ayat-Nya. Dean bilang, itu membuatnya tenang.
"Segala yang terjadi di dunia ini adalah skenario Tuhan. Maka ketika aku merasa skenario-Nya terlalu berat, aku memohon pada-Nya agar skenario ini diringankan, dan aku diberi kemudahan untuk menjalani apa yang sudah tertuliskan."
Begitu kata Dean. Jawaban yang selama beberapa ini Nathaniel pikirkan. Sepertinya ... ia mulai merindukan keberadaan Tuhan.
"Nat? Hey, kenapa melamun?"
Nathaniel terhenyak. Tiba-tiba saja Dean sudah berdiri di sebelahnya.
"Masuklah."
Dean mempersilakan. Kini keduanya duduk berhadapan.
"Apa kau ... baik-baik saja?" tanya Nathaniel, membuka percakapan. Pertanyaan bodoh sebetulnya, sebab terlihat jelas, Dean tak baik-baik saja.
Dean menghela napas panjang.
"Entah, Nat. Rasanya tak mungkin ayahku memenjarakan orang yang tak bersalah. Meski jarang bertemu dengannya, aku sangat tahu ayahku seperti apa."
Dean mulai bercerita sambil melipat sajadah yang tadi dipakainya, yang beberapa saat tadi hanya teronggok di atas meja. Nathaniel tampak mendengarkan dengan saksama.
"Tapi di sisi lain, bagaimana mungkin ayah dari gadis sebaik Andalusia tega melakukan perbuatan sejahat itu?
Dean menyandarkan punggung di sandaran kursi. Sementara jemarinya memijat dahi.
“Banyak orang baik di dunia ini yang memiliki orang tua yang berkelakuan tak baik. Mungkin inilah yang terjadi pada Andalusia. Ia memang baik. Tapi orang tuanya belum tentu, kan?" kata Nathaniel.
Dean mengernyitkan dahi.
"Tapi bagaimana jika ternyata ayahku yang salah? Aku benar-benar tidak ingin kehilangan Andalusia. Sakit sekali rasanya. Gagal untuk kedua kali? Bahkan yang ini jauh lebih sakit dari kegagalanku bersama Aluna. Beritahu aku, Nat. Aku harus bagaimana?" Dean tampak semakin putus asa.
"Kau sudah menghubungi ayahmu?" tanya Nathaniel. Dean menggeleng.
"Kau harus menghubunginya. Ceritakan ini padanya dan cari tahu kebenarannya. Jika memang ayahmu yang benar, itu akan jadi kesempatan untukmu kembali mendapatkan Andalusia," saran Nathaniel, meski sejujurnya ada perih menyayat saat mengatakannya.
Dean sejenak menundukkan kepala, lalu menegakkannya lagi.
"Baiklah. Akan kucoba," ucapnya.
Ia memang belum menghubungi sang ayah dan menceritakan apa yang dialaminya. Saran Nathaniel benar. Mungkin saatnya ia mencari kebenaran. Pun, cinta Andalusia memang layak untuk ia perjuangkan.
Benar, kan?
"Satu lagi, Dean. Apapun kebenarannya nanti, tolong bujuklah Andalusia untuk kembali ke kampus ini. Proyek penelitian akan dimulai sebentar lagi. Sayang jika ia melepaskan kesempatan prestisius ini," pinta Nathaniel.
Dean mengangguk perlahan, semacam tak yakin jika permintaan Nathaniel dapat ia kabulkan.
Sebelum bertolak ke Spanyol bersama Dean, sambil menunggu wisuda, Andalusia melamar untuk S-3. Ia mengirimkan lamaran untuk PhD position yang akan disupervisi oleh Nathaniel.
Nathaniel dan beberapa profesor dari universitas lain mendapatkan funding dari Research Council untuk melakukan penelitian di Chatsworth House, bertajuk Work, Play, Space, and Identity : Making and Remaking the North Wing at Chatsworth. Ada tiga proyek utama dalam penelitian ini.
Dari tiga proyek yang ada, Nathaniel akan membawahi proyek Plays and Performance in the Country House : The Victorian Theathre at Chatsworth. Andalusia melamar untuk proyek ini dan aplikasinya lolos.
Tidak, jangan salah kira.
Nathaniel menerima aplikasi Andalusia bukan karena ia menaruh rasa padanya, tapi karena Andalusia memang layak untuk diterima. Pun, penilainya tak hanya Nathaniel saja. Karenanya, ia sangat ingin Andalusia kembali ke kampus ini. Sejak wisuda, Andalusia kembali ke Spanyol dan sangat sulit untuk dihubungi.
Serupa Dean, kini Nathaniel berteman sunyi. Sejujurnya, ia pun merindui Andalusia. Setengah mati.
************
Sedikit tergesa, Dean turun ke lantai bawah untuk membuka pintu rumah. Bel pintu rumahnya berbunyi saat ia tengah bersiap untuk menjemput mimpi.
Siapa yang bertamu semalam ini?
Gerutunya dalam hati.
"Pa ... pa?"
Mulut Dean menganga, mendapati siapa sosok yang kini tengah berada di depannya. Kelu seketika menyapa.
"Papa sudah tahu semuanya, Dean. Papa datang untuk memberitahukan kebenaran," ucap sang papa, begitu kebekuan di antara keduanya sirna.
Dean menatap sang papa, yang masih tampak begitu gagah dan rupawan di usianya yang tak lagi muda.
"Papa sedang menyelesaikan kasus yang melibatkan klien papa, seorang pengungsi Syiria di Manchester. Karenanya Papa menyempatkan diri untuk ke sini. Maaf jika Papa datang semalam ini," jelas ayah Dean, seolah menangkap tanda tanya sang putra.
"Lalu, bagaimana Papa tahu soal masalahku? Seingatku, aku sama sekali belum memberitahu." tanya Dean. Ia sungguh penasaran.
Ayah Dean menyesap kopinya hingga tak bersisa sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan putra semata wayangnya.
"Alcala menghubungiku. Ia memberi tahu semuanya," jawabnya.
"Alcala?" Dean memicingkan mata.
"Ya. Alcala. Kakak kandung Andalusia, gadis yang kau suka."
Dean semakin membelakakkan mata.
"Bagaimana Papa bisa mengenal Alcala?" Kepala Dean kian dipenuhi sejuta tanya.
"Tujuh tahun lalu, Alcala menghubungi Papa. Ia meminta Papa menjadi pengacara untuk membela korban kejahatan ayahnya. Alcala ingin melawan ayahnya sendiri."
Lagi, Dean terhenyak untuk kesekian kali.
"Jadi, ayah Andalusia memang bersalah?" Dean memastikan. Sang ayah mengangguk, mengiyakan.
"Jelasnya seperti apa, kau akan tahu minggu depan."
"Minggu depan?" Dean semakin tak mengerti yang ayahnya bicarakan.
"Iya. Minggu depan kita ke Sevilla. Kita datangi korban ayah Andalusia agar kau tahu kebenarannya. Andalusia akan datang juga. Alcala tadi menghubungi Papa jika Andalusia akhirnya mau untuk ikut datang ke Sevilla. Ia juga ingin tahu kebenarannya."
Dean benar-benar kehabisan kata.
Sunyi menyapa. Sejenak keduanya diam tanpa kata. Namun sejurus kemudian, sebelum beranjak ke peraduan, Dean kembali terhenyak atas apa yang ayahnya ucapkan.
"Nak, ini cincin ibumu. Berikan ini pada Andalusia. Jika memang kau mencintainya, perjuangkan ia. Buat ia bahagia. Papa tahu, gadis itu sudah lama menderita sejak ayahnya tiada."
Airmata Dean luruh seketika.
??????
Carretera de Carmona, Sevilla, tak jauh dari tempat tinggal Alcala di Calle Asuncion.
Di sebuah apartemen berukuran 65 meter persegi, tampak lima orang tengah duduk, berteman sunyi.
Ada pengacara Kim (ayah Dean), Dean, Andalusia, Alcala (kakak Andalusia), dan si tuan rumah, seorang wanita seusia ibu Andalusia.
"Andalusia, kemarilah. Ikut Kakak." Alcala buka suara. Andalusia yang dipanggil hanya menurut saja.
Perlahan, Alcala membuka pintu sebuah kamar yang terletak di depan ruang tempat mereka duduk berlima. Andalusia mendekat. Tenggorokannya seketika tercekat.
Tampak di sana, seorang gadis tengah nanar menatap jendela. Wajahnya menawan, hasil percampuran Spanyol-Maroko. Sekilas, ia tampak baik-baik saja. Fisik, penampilan, semua tampak normal. Satu yang berbeda. Ada kekosongan di sorot matanya.
"Siapa ... dia, Kak?"
Pintu semakin terbuka lebar. Rasa ingin tahu Andalusia kian menguar.
"Namanya Ameria Azabal, gadis berdarah Spanyol-Maroko, kekasih Kakak. Jika kau bertanya kenapa sampai sekarang Kakak belum menikah juga, itu karena dirinya. Kakak sangat mencintainya."
Alcala menjeda penjelasannya. Dadanya sesak seketika.
"Cinta kami bersemi saat Ameria internship di kantor Kakak. Kakak yang jadi pembimbingnya. Saat itu, Ameria adalah mahasiswi S-1 tingkat akhir di jurusan Aerospace Technology Engineering di kampus UPC (Universitat Politècnica de Catalunya) di Girona, Barcelona. Ia internship untuk penelitian tugas akhirnya."
Alcala terus menjelaskan. Andalusia menyimak dalam diam. Ia belum bisa menebak arah penjelasan sang kakak.
"Sampai suatu hari, musibah itu ... terjadi."
Alcala menundukkan kepala. Serasa tak bisa melanjutkan kalimatnya.
"Musibah ... apa?" tanya Andalusia.
Kini ia mulai tak tenang. Sebab raut wajah sang kakak jelas kini tampak menegang.
"Saat itu, tujuh tahun lalu, ayah ... ayah ...."
Alcala membuang napas. Ia benar-benar tak sanggup untuk berkata-kata. Namun, Andalusia terus mendesaknya.
"Ayah? Maksudnya ayah kita? Ayah ... kenapa?" tanyanya.
Alcala menundukkan kepala. Jemarinya mengepal. Matanya sejenak terpejam. Ia berusaha mengumpulkan kekuatan.
"Saat itu ... tujuh tahun lalu ... ayah ... menodai Ameria, saat kami semua ada acara gathering di Girona ... dan ... dan Kakak yang memergokinya."
Airmata Alcala luruh, bersamaan dengan Andalusia yang seketika rubuh.
B E R S A M B U N G
************
Ya Allah sedihnya.
Nggak tahu mau ngomong apa ??
Aku menangis atas alur cerita yang kubuat sendiri.
PART 9 : Secrets From The Past